Keluargaku

Keluargaku

Rabu, 27 Juli 2011

Catatan Pinggir

Srebrenica

Senin, 25 Juli 2011
Di sebuah tempat yang dulu tak dikenal dunia, sekitar 8.000 muslim dibunuh. Sejak itu Srebrenica, sebuah kota kecil pegunungan di sebelah timur Bosnia dan Herzegovina, jadi sebuah nama yang menakutkan. Atau menjijikkan. Atau memalukan.

Di situlah selama tujuh hari di pertengahan kedua Juli 1995, Jenderal Ratko Mladic, panglima tentara yang berdarah Serbia, menjalankan apa yang jadi kehendak dan rencananya. Mungkin baginya inilah penyelesaian final untuk persoalan masa depan Bosnia, seperti endgültige Lösung Hitler untuk masalah Yahudi: orang-orang Bos­nia yang bukan Serbia, terutama yang muslim, harus dihabisi.


Mladic memang perwujudan klise tokoh algojo dalam cerita picisan: tambun dan kasar, ia pernah diceritakan membunuh seseorang dengan tangan telanjang—setelah ia meyakinkan si korban bahwa tak akan terjadi apa-apa, sambil ia melatih otot-otot tangannya untuk membinasakan si tahanan. Ketika pasukannya mengepung Kota Sarajevo, ia perintahkan pasukannya untuk meningkatkan gempuran artileri secara ber-"irama" sampai pikiran penghuni kota itu "terpelintir".

Dalam salah satu sajaknya, penyair Bos­nia Abdullah Sidran menyebut Mladic sebagai "monster dengan epaulet". Orang lain menamainya "jagal dari Srebrenica".

Semula Srebrenica adalah wilayah yang terlindung: orang-orang muslim menemukan tempat yang aman di sana. Ada pasukan PBB yang menjaga orang-orang yang melarikan diri dari perang etnis di Yugoslavia yang pecah itu. Terutama mereka yang melarikan diri dari pembantaian, yang tahu bahwa kaum "nasionalis" Serbia akan menghabisi mereka.


Tapi Juli itu keadaan berubah. Sejak pekan pertama bulan itu, pasukan Serbia mengepung. Berangsur-angsur Srebrenica kehabisan bahan bakar. Persediaan makanan menipis. Dalam Postcards from the Grave Emir Suljagic mengisahkan bagaimana ratusan orang dengan tali dan kapak mendaki tebing yang terjal di atas kota, menuju hutan untuk mencari kayu buat menyalakan api, jauh sebelum kabut hilang….


Di tengah pengepungan itu, pasukan PBB yang bertugas di sana, satu kontingen tentara Belanda yang terdiri atas 600 personel dan tak bersenjata berat, mencoba bertahan. Komandan mereka, Letkol Karremans, meminta ke Panglima Pasukan PBB, Jenderal Bernard Janvier dari Prancis, agar mendapat dukungan dari udara. Tapi yang terjadi adalah kecelakaan prosedur: permintaan Karremans untuk mendapat bantuan udara ternyata ditulis di formulir yang salah. Akhirnya memang dipenuhi, tapi terlambat.


Karremans memang mendapatkan bantuan lain. Dua pesawat tempur F-16 Belanda menjatuhkan dua bom di atas posisi pasukan Serbia yang mengepung. Tapi tentara di bawah Mladic telah berhasil memiliki kartu kuat tersendiri: sebelumnya mereka telah menyerang satu pos pasukan PBB dan menahan 30 prajurit Belanda. Jenderal Serbia itu mengultimatum: jika pengeboman diteruskan, tahanan itu akan mereka bunuh.

Sekitar dua jam setelah itu, menjelang sore hari 11 Juli, Mladic dan tentaranya memasuki Srebrenica. Malamnya ia memanggil Karremans untuk menemuinya dan mendengarkan sebuah tuntutan: orang-orang muslim harus menyerahkan senjata mereka atau dihabisi. Direkam oleh juru kamera Serbia, di malam itu Karremans mengangkat gelas, bersulang dengan Mladic. Terdengar suaranya: "Saya seorang pemain piano. Jangan tembak sang pianis." Dan Mladic menjawab, entah bergurau entah tidak: "Tuan seorang pianis yang buruk."


Yang mungkin bisa dikatakan: opsir Belanda itu komandan pasukan yang buruk. Pasukannya meninggalkan Srebrenica, membiarkan orang-orang muslim mulai ditembaki. Tanggal 13 Juli, pembunuhan mulai dilakukan di sebuah gudang dekat Desa Kravica. Di hari yang sama, Karremans menyerahkan 5.000 muslim ke tangan Mladic, untuk dipertukarkan dengan 15 prajurit Belanda yang ditahan di Nova Kasaba. Tiga hari kemudian, mulai masuk laporan pembantaian….

Dan Karremans tak melaporkan peristiwa itu ke atasannya. Seorang wartawan Belanda, Frank Westerman, pengarang buku Srebrenica: Het zwartste scenario, menulis: di saat perpisahan resmi, Karremans bahkan menerima sebuah cendera mata dari Mladic: "Yang ini buat istri saya?" tanyanya, tersenyum.

Tapi mereka yang jadi korban tak diam. Dua muslim Bosnia yang keluarganya dibantai Mladic berusaha mengajukan kasus itu ke pengadilan negeri Den Haag. Persis 16 tahun setelah kebuasan di Srebrenica itu, para hakim Belanda memutuskan: Negara Belanda memang bertanggung jawab atas kesalahan tindakan tentaranya yang membiarkan ribuan orang tak bersenjata dibantai.

Persis 16 tahun juga dunia menyaksikan Mladic bisa dibawa ke Den Haag, untuk diadili di Mahkamah Internasional.


Hari-hari ini, sebuah negeri sedang merasa malu dan menebus kesalahan di masa lalu: kesalahan bangsa sendiri terhadap mereka yang datang dari negeri jauh, dengan iman dan sejarah yang berjarak. Di saat seperti itu, "liyan" tak hanya berarti mereka yang bukan-kami, tapi juga "sesama" yang tak berbeda dari kami. Di wajah-wajah yang tak berdaya di depan para algojo, di deretan kepala yang berlubang ditembak, di tumpukan jasad yang dibantai hanya karena asal-usul yang janggal dan biodata yang beda, seorang muslim di Srebrenica menyerupai seorang Yahudi di kamp Auschwitz.

Srebrenica berlumur darah karena orang macam Mladic tak hendak mengakui bahwa mereka yang paling lemah dan paling dianiaya yang justru mengingatkan apa yang menakjubkan dalam manusia: sebuah pertalian yang tak tampak.

Goenawan Mohamad

Minggu Biasa XVIII A

INJIL MINGGU BIASA XVIII A 31 Juli 2011 (Mat 14:13-21)

BEKAL YANG TAK BAKAL HABIS
Peristiwa memberi makan lima ribu orang dalam Injil Minggu Biasa XVIII A (Mat 14:13-21), menurut ayat 13, terjadi setelah berita mengenai dibunuhnya Yohanes sampai kepada Yesus. Ia berperahu menyingkir ke sebuah tempat terpencil. Orang banyak mengikutinya lewat jalan darat. Ketika berlabuh kembali, didapatinya orang banyak sudah menunggu. Tergeraklah hatinya. Dikerjakannya banyak penyembuhan. Ketika malam hampir tiba, murid-muridnya usul agar orang-orang itu disuruh pergi mencari makan di perkampungan sekitar. Tetapi Yesus malah menyuruh murid-murid memberi mereka makan walau hanya tersedia lima roti dan dua ikan. Apa yang terjadi? Setelah mengucapkan doa syukur, Yesus membagi-bagi roti dan memberikannya kepada para murid agar diteruskan kepada orang banyak. Sisa roti terkumpul sebanyak 12 bakul penuh, padahal ada lima ribu orang lelaki tak terhitung perempuan dan anak-anak. Apa makna peristiwa ini?

MENYINGKIR KE DALAM KESUNYIAN
Matius sengaja menghubungkan menyingkirnya Yesus ke sebuah tempat sepi dengan berita kematian Yohanes Pembaptis. Markus dan Lukas menceritakan dua kejadian ini secara berurutan tanpa menyarankan hubungannya. Meski tidak jelas-jelas dikatakan, boleh diduga Matius mengajak pembaca menyadari bahwa mulai saat itu selesailah sudah masa Yohanes Pembaptis, tokoh besar yang mengantar masuk Yesus ke dalam kehidupan umat. Kini perhatian utama hendaknya dipusatkan pada Yesus. Ikutilah dia ke mana saja ia pergi. Dialah yang sekarang mengantar perjalanan umat.
Dapat dicatat dua hal lain. Pertama, dalam menyepi Yesus menghadapi dirinya sendiri yang sesungguhnya. Ketika dicobai di padang gurun ia menemukan diri sebagai abdi Yang Mahakuasa sendiri. Kini ia menyepi dan mendapati diri sebagai yang datang untuk melayani orang banyak yang sedemikian menaruh kepercayaan dan harapan kepadanya. Ia merasa bertanggungjawab akan kesejahteraan mereka. Kedua, orang banyak terlihat semakin membutuhkannya. Mereka mengikutinya. Seperti umat Tuhan yang dulu mengikutiNya di padang gurun dan hidup dari manna, makanan yang turun dari langit hari demi hari dari Dia sendiri. Yesus kini tampil sebagai manna bagi umat yang baru.

PELBAGAI KISAH MEMBERI MAKAN ORANG BANYAK
Ada tiga kelompok kisah Yesus memberi makan orang banyak menurut jumlah orang dan sisanya:  lima ribu orang dengan sisa 12 bakul, Mrk 6:30-44 // Mat 14:13-21 // Luk 9:10-17; orang banyak tanpa perincian tapi sisanya juga 12 bakul, Yoh 6:1-15; dan empat ribu orang dengan sisa 7 bakul,  Mrk 8:1-10 // Mat 15:32-39 (tanpa paralel dalam Injil Lukas).
Kisah-kisah itu tumbuh dalam pelbagai kalangan Gereja Awal sebelum Injil-Injil sendiri ditulis. Kisah-kisah itu berkembang di dalam pengajaran dan katekese mengenai ekaristi, yakni perayaan syukuran memperingati kurban penebusan oleh Yesus. Peristiwa memberi makan lima ribu orang tumbuh di antara pengikut Yesus dari kalangan Yahudi sebagaimana dapat diduga antara lain dari ungkapan 12 bakul, angka lambang suku-suku Israel. Yang menyangkut empat ribu orang hidup di lingkungan orang bukan asal Yahudi, seperti kentara dari sisanya yang 7 bakul. Kedua-duanya diolah Markus dan hasilnya dipakai dalam Injil Matius. Lukas hanya menggunakan bahan yang pertama. Mengapa justru dia yang lebih bergerak di kalangan bukan Yahudi tidak merekam dari lingkungan yang bukan Yahudi? Boleh jadi karena perkembangan ekaristi di kalangan bukan Yahudi digarap Lukas secara khusus dalam Kisah Para Rasul. Oleh karena itu ia merasa tidak perlu menyertakan kisah yang kedua tadi dalam Injilnya. Bagaimana dengan Yohanes? Ia memakai tradisi yang menggarisbawahi sisanya yang 12 bakul. Juga ada kesan Yohanes hendak meyakinkan pembaca bahwa ia mengalami sendiri peristiwa itu sebagai salah satu dari Yang Duabelas. Ia bahkan mengingat nama murid yang berbicara dengan Yesus, yakni Filipus dan Andreas dan beberapa seluk beluk khas yang hanya bisa diberikan oleh saksi mata. Pengisahan Yohanes mengajak pembaca semakin mempercayai kebenaran peristiwa itu.

BERKAITAN DENGAN EKARISTI
Kisah pemberian makan orang banyak itu tumbuh dari pendalaman iman serta katekese bagi umat pada umumnya. Mereka diajak mendalami makna perayaan syukuran atas penebusan - yakni ekaristi - sebagai sisi yang amat penting dalam hidup mengikuti Yesus. Dia yang mereka cari sehari-hari itu memberi kekuatan hidup yang melimpah. Mereka yang letih dan lesu akan mendapat penyegaran darinya, seperti umat Tuhan yang dulu berkelana di gurun.
Bagi para pemimpin? Tentunya mereka juga ikut berbagi makanan. Namun secara khusus mereka diminta agar ikut bertanggungjawab bagi keadaan umat yang mereka layani. Yesus menyuruh mereka memberi makan orang banyak. Para pemimpin diharapkan kreatif dan tidak menyerah pada keadaan. Mereka hendaknya menyertai Yesus dalam menjalankan pelayanannya dan memungkinkannya terlaksana.
Begitulah tampak kaitan kisah pemberian makanan ini dengan perayaan ekaristi yang sudah hidup di kalangan umat muda waktu itu. Tumpuannya satu dan sama, yakni Yesus sendiri. Dialah penopang hidup yang datang dari atas sana. Hari demi hari ia menunjang para pengikutnya. Dan bukan ini saja, ia semakin mendekatkan kernyataan Kerajaan Surga kepada manusia Ia membawa orang agar dekat pada hadirat Yang Mahakuasa yang ingin mengubah jagat ini menjadi kawasan damai, bebas dari ketakutan. Juga dalam konteks kejadian-kejadian mengerikan di pelbagai tempat akhir-akhir ini, warta Kerajaan Surga tetap bisa menumbuhkan sikap percaya.
Apa arti sisa yang sedemikian banyak itu? Bagi siapa saja yang mau datang, baik dari kalangan umat dulu atau umat yang baru, roti - makanan - tetap tersedia. Namun mengapa semua ini disebutkan? Tentunya bukan sekadar menunjukkan bahwa sisanya melimpah dan cukup bagi siapa saja. Ada saran halus bagi mereka yang telah memperolehnya agar juga membawakan bagi mereka yang belum ikut menikmati, baik yang berasal dari umat Tuhan dulu maupun orang-orang yang belum mendengar tentang kebaikanNya. Diajarkan oleh Gereja Awal, kekuatan rohani ekaristi yang mereka rayakan itu juga bisa disampaikan kepada semakin banyak orang, lewat mereka yang telah memperolehnya.

MAKANAN HARI DEMI HARI?
Dipakai kata "roti" untuk menyebut ujud kelihatan dari ekaristi, kerap dalam hubungan dengan "anggur". Sering dijelaskan bahwa bagi orang yang hidup di dunia Alkitab dulu atau dalam kebudayaan sana, roti dan anggur ialah makanan dan minuman sehari-hari. Seperti nasi dan teh bagi orang sini. Masuk akal, tapi tidak seluruhnya tepat. Malah keterangan itu tidak mengajarkan yang penting. Roti dan anggur yang dipakai dalam ekaristi Gereja Awal terasa sama "tak biasa"-nya juga bagi mereka kendati kata "roti" bagi mereka merujuk pada makanan sehari-hari.. Persembahan yang dibawa ke dalam perayaan menjadi hal yang tidak biasa lagi. Bentuknya, apalagi peran-perannya, sudah berubah. Maka di kemudian hari untuk "roti" dipakai kata Latin "hostia" yang artinya bahan yang dipersembahkan sebagai kurban. Bukan lagi roti yang dimakan untuk pada waktu bersantap, juga anggur bukan lagi yang biasa diteguk selama makan. Perjamuan malam terakhir Yesus bersama murid-muridnya kiranya juga bukan resepsi perpisahan dengan makan malam, melainkan doa bersama yang dilakukan dengan khidmat. Ekaristi dengan roti dan anggur itu ibadat yang dirayakan untuk memperingati dia yang telah wafat untuk menebus kemanusiaan dan telah bangkit - telah berhasil. Oleh karenanya ikut dalam ibadat ini membuat orang berbagi pengampunan dosa.
Sisi yang "luar biasa" itu selayaknya diakui sepenuhnya. Yang luar biasa itu kini justru menjadi makanan dan minuman. Kita diajak masuk ke dalam hidup yang bukan sehari-hari dan memperoleh bekal kekuatan rohaninya bagi hidup di dunia nyata ini. Karena itu liturgi ekaristi dapat menghadirkan yang keramat di dalam yang sehari-hari.

Kisah Yesus memberi makan lima ribu orang ini mengisahkan kejadian yang tidak biasa. Namun ketakwajaran ini disampaikan untuk membuat orang semakin memahami ekaristi yang biasa mereka lakukan. Jelas bukan kisah untuk membangkitkan rasa ingin melihat mukjizat yang ada di sana Pembaca diminta menengok kehidupan mereka sebagai pengikut Yesus - yang waktu itu sudah lazim menjalankan ekaristi - dengan bantuan kisah Yesus memberi makan orang banyak ini. Dan mereka akan semakin menemukan yang luar biasa, yakni hadirnya yang ilahi di tengah-tengah umat Kehadiran yang dapat mengisi ruang batin ini akan menjadi sumber kekuatan yang dapat diteruskan kepada siapa saja dan tak bakal habis.

Salam hangat,
A. Gianto

Rabu, 20 Juli 2011

Kembang

Senin, 18 Juli 2011

Mao Zedong tiba-tiba berbicara tentang kembang krisan. "Tahukah tuan, apa sebutan kembang krisan di Pameran Hangzhou belakangan ini? Sang penari mabuk, kuil tua di bawah matahari senja, sang pencinta yang membedaki sang kekasih."
André Malraux mencatat kata-kata itu dalam Antimémoires, di bagian ketika ia mengenang pertemuannya dengan para pemimpin Cina pada tahun 1960-an.
Hari itu Mao rupanya hendak mengumpamakan masyarakat sebagai kembang krisan, sebuah organisme yang tak sederhana. Masyarakat adalah wilayah di mana "penari" dan "mabuk", dua hal yang tak pas, bisa terjadi di satu wadah: "Bukan mustahil kedua tendensi itu hadir, dan banyak konflik yang tersimpan," katanya.
Perumpamaan, atau kiasan, adalah bagian yang wajar dalam percakapan Mao; ia penyair. Dengan kiasan, satu ide ("masyarakat") ditampilkan sebagai sesuatu yang bisa ditangkap pancaindra, dalam wujud imaji: "penari mabuk", "kuil tua". Dengan kiasan, satu ide dianggap akan bisa lebih terbayangkan.
Tapi puisi dan kiasan juga bisa membuat sebuah konsep tak stabil acuannya. "Penari mabuk, kuil tua di bawah matahari, sang pencinta yang membedaki kekasih…". Mao memilih imaji-imaji itu (jika kita percaya kepada kutipan Malraux), dan dengan itu memang orang bisa tak pasti tentang bagaimana seharusnya memahami sebuah "masyarakat".
Mungkin karena Mao tahu: sebuah masyarakat memang sesuatu yang tak mudah dirumuskan. Sebuah masyarakat selamanya kompleks, rumit hubungan-hubungannya, beraneka tendensinya, dan tak mandek. Hanya pikiran kita yang menangkapnya sebagai satu organisme yang tersusun.
Mao seorang Marxis. Ia bisa melihat, dalam tiap hal yang bisa diidentifikasikan—"masyarakat Cina" atau "kembang krisan"—ada yang luput dari identifikasi itu. Katanya kepada Malraux: "Tuan telah melihat satu sisi. Sisi yang lain mungkin lepas dari penglihatan."
Ia memang berakar dalam tradisi Materialisme; ia menampik pemikiran Idealis. Materialisme melihat dunia, apalagi sejarah, sebagai arus yang tak konsisten, yang bahkan tak cuma punya dua sisi. Sisi itu tak terhingga. Manusia kemudian memberinya bentuk, merumuskan, dan mengarahkan. Tapi dialektika ini tak pernah tuntas.
Sebaliknya, bagi filsafat Idealis, dunia adalah perwujudan dari Ide yang utuh dan abadi. Apa yang ada ("masyarakat Cina") dianggap sudah dicetak dengan esensi yang tetap. Idealisme percaya bahwa kesadaran manusia yang rasional, seakan-akan didukung oleh kekuatan sabda yang transendental, bisa membentuk apa-yang-ada. Bentuknya konsep-konsep. Dengan konsep itu aku merengkuh dan memasukkan dunia ke dalam diriku. Idealisme mirip kegairahan pikiran yang mengremus dunia: "Idealismus als Wut," kata Adorno, pemikir yang menunjukkan cacat besar filsafat ini.
Dalam menampik pemikiran Idealis, kecenderungan puitik Mao bertemu dengan pandangan Marxisnya. Seorang Idealis akan mengatakan, "Aku berpikir, maka aku ada." Seorang Marxis, "Aku ada, maka aku berpikir." Pikiran lahir dari hidup yang dialami, dari tubuh, benda, dan bahasa. Maka Marxisme Mao bersentuhan dengan realitas yang konkret. Malraux mengutipnya: "Tak ada Marxisme yang abstrak. Hanya ada Marxisme yang konkret, yang disesuaikan dengan kenyataan Cina, dengan pohon-pohon yang telanjang, sebagai telanjangnya rakyat yang sibuk memakannya."
Pohon-pohon yang telanjang….
Tapi, apa boleh buat, Mao bukan hanya penyair. Ia pemimpin revolusi yang harus menaklukkan: mengalahkan musuh, gua-gua Yenan, arus Sungai Yangtze, kemiskinan dan ketidakadilan di dusun-dusun—bahkan, kemudian, dalam "Revolusi Kebudayaan", menghancurkan markas besar Partai Komunis Cina sendiri. Ia harus mengukuhkan diri sebagai Subyek (dengan "S") yang mengremus obyek-obyek, melulur liyan.
Untuk itu, Mao membuat doktrin yang mengukuhkan dirinya. Cetusan pikirannya dicetak dalam "Buku Merah". Berjuta-juta orang harus menghafalkannya. Di masa "Revolusi Kebudayaan", para "Pengawal Merah" bahkan berlomba menghafal buku itu terbalik dari huruf terakhir ke pagina depan. Ada petani yang percaya, dengan membaca "Buku Merah" di dekat pohon limaunya, tanaman itu akan berbuah cepat.
Di situ semangat Materialisme mati. Benda-benda konkret dianggap bisa dikuasai pikiran sang Ketua. Sang Ketua seakan wujud transendental, di luar dunia yang rumit, di atas organisme apa pun.
Mao wafat 1976. Tapi ia roh agung yang tak bisa mati. Minggu ini Partai Komunis Cina berumur 90 tahun. Partai itu tetap mengutip Sabdanya—seakan-akan untuk menebus dosa Cina yang kini menempuh jalan kapitalisme yang dulu dikutuk. Marxisme jadi agama. Seperti agama lain, ia punya penafsir baru dan juga kaum munafik. Seperti agama lain, Marxisme Cina yakin: "Pada mulanya adalah Sabda," dan dari sabda terjadilah dunia.
Dengan kata lain, hidup bergantung pada Sabda, tunduk pada Kata. Kata tak lagi datang dari hidup yang dijalani, hidup yang kompleks, yang berubah dan tak terumuskan—sesuatu yang dulu bisa dicitrakan sebagai "penari mabuk, kuil tua di bawah matahari". Kini, Kata seakan-akan berdiri sendiri. Berwibawa, tapi beku. Ia mantra, juga berhala.
Tak mengherankan bila kini penguasa Cina bisa cemas dengan "melati". Setelah "Revolusi Melati" merebak di dunia Arab, dan kata itu muncul di kalangan mereka yang menuntut demokrasi di Cina, kata "melati" dihapus bahkan dari lagu Mo Li Hua. Tak cuma itu: para petani Daxing tak bisa menjual kembang yang disebut demikian.
Syahdan, ada yang berubah. Dulu "krisan" terbit dalam jiwa kreatif yang berpuisi. Kini "melati" jadi teror bagi jiwa yang takluk, yang menganggap Kata makhluk sakti, asing, tanpa bumi.
Goenawan Mohamad

Selasa, 19 Juli 2011

Kisah-kisah Inspiratif

HARI INI DIA, ESOK SIAPA?
Dari kejauhan Jack terus menekan kuat pedal gas kendaraannya. Ia tidak mau terlambat. Apalagi lampu merah di wilayah yang dilaluinya menyala cukup lama. Lampu lalu lintas berganti kuning. Sekitar tiga meter menjelang garis putih horisontal di jalan, lampu merah menyala. Jack bimbang. Haruskah ia berhenti atau terus saja. "Ah, aku tidak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak,"pikirnya, sambil terus melaju.   PRIIIT!!! Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Jack menepikan kendaraan sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Hey, itu kan Bob, teman semasa SMA dulu. Hati Jack agak lega.   Ia melompat keluar dari dalam mobil sambil berkata: "Hai, Bob! Senang sekali ketemu kamu lagi!". "Hai, Jack," sapa Bob tanpa senyum.   "Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri saya sedang menunggu di rumah. Hari ini dia ulang tahun, jadi dia dan anak-anak sudah menyiapkan pesta di rumah. Tentu aku tidak boleh terlambat dong," kata Jack.   Bob berkata, "Saya mengerti. Tapi sebenarnya saya sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini." Jack mulai gelisah. Ia harus ganti strategi. "Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah. Sewaktu aku lewat tadi lampu kuning masih menyala kok." Aha.. terkadang berdusta sedikit tentu bisa memperlancar situasi.   "Jack, kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIM-mu," ujar Bob dingin. Dengan wajah ketus, Jack menyerahkan SIM-nya ke Bob lalu masuk ke dalam mobilnya dan menutup kaca jendela. Sementara Bob menulis sesuatu di buku tilangnya.   Tak lama berselang, Bob muncul dan mengetuk kaca mobil Jack. Jack yang kadung kesal dan marah hanya membuka kaca jendela sedikit. Ujarnya mengumpat di dalam hati, "Ah, masa lima senti sudah cukup untuk memasukkan surat tilang?" Sesudah Jack menerima surat tilang itu dia langsung menekan kembali pedal gas, memacu mobilnya dan cepat berlalu dari tempat tersebut. Tanpa berkata-kata Bob pun kembali ke posnya.   Setelah agak jauh dari tempat kejadian, Jack hendak memasukkan SIM-nya ke dompet. Saat itu ia terkaget-kaget setelah melihat selembar surat tapi bukan surat tilang. "Surat apa ini? Ini bukan surat tilang! Kenapa ia tidak memberiku surat tilang?" tanya Jack. Seketika itu juga ia langsung meminggirkan mobilnya dan membaca surat dari Bob tadi.   Begini isi surat tersebut:   Halo, Jack. Tahukah kamu aku mempunyai seorang anak perempuan. Anakku satu-satunya. Ia sangat cantik dan lincah. Aku dan istriku sangat menyayanginya. Sayang, ia sudah meninggal karena tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah, saat ia melintas bersama ibunya di zebracross. Anakku langsung meninggal di tempat. Istriku sampai saat ini mengidap depresi hebat. Pengemudi yang sembrono tadi hanya dihukum penjara selama tiga bulan saja. Begitu bebas, ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan aku? Aku kehilangan malaikat kecil kesayanganku. Aku dan istriku masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengaruniai seorang anak lagi, agar dapat kami peluk. Tapi, kondisi istriku tidak memungkinkan. Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Oh.. betapa sulitnya! Begitu juga kali ini.   Maafkan aku, Jack. Doakan agar permohonan kami mempunyai anak terkabulkan.   Berhati-hatilah saat menyetir.   Dari temanmu, Bob     Jack kaget sekali saat ia membaca surat Bob. Ia langsung memutar balik mobilnya dan pergi ke pos jaga Bob. Namun, Bob sudah meninggalkan pos itu, entah ke mana. Sepanjang jalan pulang Jack mengemudi dengan hati-hati dan ia berjanji dalam dirinya untuk menahan diri agar tidak ngebut dan menyetir ugal-ugalan. Kali ini Ia teringat akan anak-anaknya.   Seorang gadis kecil, di tepi jalan..Rambut melambai, berpita merah..   Senandung kecil ..la la la.. di bibirnya..Dalam langkah kecil, seirama kakinya..   Satu perempatan jalan, dilewat sudah..Si gadis kecil masih berjalan riang..   Di antara roda-roda, yang berputar di jalan..Setengah batu lagi, sampailah di rumah..   Ketika si gadis melintas di jalan.. Matanya yang manis, mendadak menyala.. Sebuah kereta mesin yang ganas..Menerjang dan... melindasnya..   Gadis kecil terkapar di aspal panas..Tinggal menatap ibu bapa, memungutnya..   Sebuah permata keluarga hilang sudah..Hari ini dia, esok lagi siapa.........   Hari ini dia, esok lagi siapa.........Hari ini dia, esok lagi siapa.........   Memang, tak selamanya orang harus mengerti kita. Bisa jadi kesukaan kita adalah kedukaan orang lain. Hidup ini sangat berharga, karena itu jalanilah dengan penuh hati-hati dan saling menghargai.   sumber: unknown

Rabu, 13 Juli 2011

Juli

Senin, 11 Juli 2011 Juli 1776 dan Juli 1789: penanda waktu yang penting dalam sejarah, ketika kita mengingat sebuah optimisme yang mungkin berlebihan. Revolusi Amerika dan Prancis (dan satu abad lebih kemudian Revolusi Rusia) tak akan tercetus andai kata sejumlah orang tak yakin penuh bahwa mereka, sebagai layaknya manusia, mampu mengubah sejarah.

Tapi setelah itu—

Setelah Juli dan tahun itu berlalu, lewat satu periode lain, optimisme pun tergerus. Revolusi ternyata tak membuat manusia sepenuhnya bebas, berkeadilan, berpunya, berbahagia—dan orang tak jarang melihat kembali perubahan besar itu dengan muram. Sinisme beredar. Revolusi seakan-akan berawal dengan sebuah ilusi di cermin. Revolusi seakan-akan bermula dari anggapan yang berlebihan tentang kehebatan manusia dan sebab itu kemerdekaan adalah hak dan kemerdekaan itu mungkin.

Napoleon, opsir pasukan Revolusi Prancis yang hebat itu, kemudian meninggalkan cita-cita Juli 1789. Pada suatu hari ia mengangkat diri jadi maharaja dan mengatakan bahwa bukan hasrat kemerdekaan yang mendorong manusia menggerakkan revolusi. Yang membuat revolusi, katanya, adalah "kekenesan", la vanité. Kemerdekaan, itu hanya dalih.

Kadang-kadang sinisme memang terdengar cerdas, seperti gugatan yang menusuk: benarkah kita sebenarnya tak cuma sedang berpose, kenes, mengira kita bisa berubah, bisa berbuat baik untuk orang banyak, dengan atau tanpa revolusi? Padahal tidak?

Harus saya tambahkan: pertanyaan itu (kita juga sering mendengarnya di Indonesia pasca-Reformasi) tak hanya ungkapan sinisme. Pertanyaan ini menandai zaman yang konservatif kini. Dalam beragama, dalam perilaku dan hubungan berkeluarga, banyak orang melihat perubahan sebagai langkah ke malapetaka.

Harus pula saya tambahkan: tak semuanya cuma karena konservatisme. Ada sebab lain: semacam relativisme. Bila perempuan ditindas di sebuah tempat, sikap ini akan menerima penindasan itu dengan mengatakan bahwa nilai-nilai orang lain tak bisa kita ubah dengan nilai-nilai kita. Politik dewasa ini sering mendesakkan agar kita menghargai kearifan lokal, identitas-identitas yang berlainan, atau keunikan sebuah kaum. Yang tak disadari, sikap ini bisa berakhir dengan politik yang, seperti sikap konservatif, tak menghendaki transformasi.

Seakan-akan tak ada konflik dalam sejarah. Seakan-akan tak ada dialektik, seakan-akan perbedaan dalam hidup ibarat dua sisi rel kereta api yang sejajar, tak bertaut, maka tak akan bertabrakan.

Dengan pandangan itu orang lupa, bahkan sebatang rel pun sebuah entitas yang tak permanen. Ia terdiri atas zat yang berubah. Dalam tiap perubahan terjadi konflik.

Terutama ini berlaku pada manusia. Mereka yang percaya manusia tak berubah adalah mereka yang percaya bahwa manusia dibentuk oleh kodrat yang tetap—sementara dalam tubuh, tiap saat sel berganti, napas tak pernah menghirup oksigen yang sama, ingatan baru selalu datang menumpuk mengubah apa yang ada di bawah sadar.

Kita memang perlu diingatkan bahwa, untuk meminjam dari Alain Badiou, yang ada hanyalah "tubuh dan bahasa-bahasa". Dengan kata lain, diperlukan satu pendekatan seorang materialis yang menampik bahwa ada ide abadi yang membentuk dunia, seorang materialis yang melihat perubahan sebagai hal yang niscaya: tubuh tak bisa tetap. Juga bahasa—yang terbentuk dari interaksi sosial di suatu masa di suatu tempat dan diungkapkan melalui badan—bukanlah bangunan yang selesai dalam satu gramatika.

Tapi persoalannya: apa yang terjadi dalam perubahan?

Kita ingat kaum konservatif. Mereka akan mengatakan bahwa yang terjadi hanya ilusi yang riskan. Tapi sebaliknya ada kaum antikonservatif yang mengatakan bahwa perubahan tak ada jika bukan sesuatu yang radikal. Revolusi dipertentangkan dengan evolusi. Dunia harus diciptakan baru—dan tiap sisa dari dunia yang lama akan dilihat sebagai tanda kesia-siaan ikhtiar transformasi. Walhasil: sejenis gugatan yang mirip sinisme lama, yang mungkin akan menghalalkan sinisme setua Napoleon: para pembaharu hanya dianggap orang-orang kenes, selama tak ada reformasi yang radikal.

Tapi yang tragis, atau mungkin juga tak tragis, dalam sejarah adalah bahwa manusia tak bisa membangun dunia dari nihil. Yang berbicara "kun fayakun" hanya Tuhan. Saya suka mengulang Marx: manusia membuat sejarah, tapi membuatnya dalam kondisi yang tak ditentukannya sendiri. Transformasi sosial, sebagaimana transformasi tubuh, tak datang dari simsalabim transendental. Langkah baru adalah langkah baru, tapi dengan bekas lumpur, pasir, dan debu yang menempel pada kaki dari pergulatan kemarin petang.

Yang penting adalah, dengan bekas-bekas itu, kita tak lupa bahwa ada subyek yang membawa kabar lain: bukan kekenesan yang mendorong perubahan, melainkan rasa sakit manusiawi yang dicekik ketidakadilan—yang membuat keadilan begitu jelas meskipun tak datang dari wasiat purba ataupun dari ensiklopedia.

Di saat itu, perubahan bisa disebut membawa sesuatu yang radikal baru—satu "instan" ala Bachelard: hasil dari penampikan total yang tergerak untuk menjangkau yang mustahil. Yang mustahil itu adalah kebaruan yang menggugah. Ia membangkitkan kita di malam gelap yang tanpa tidur.

Ketika fajar tiba, kita memang akan melihat yang tak tercapai masih banyak. Yang masih harus dihancurkan akan selalu ada. Namun yang telah tercapai bukannya tanpa makna. Revolusi yang melahirkan emansipasi—betapapun tak utuh dan tak stabilnya itu—memberi bekal untuk mengilhami transformasi baru. Revolusi Juli, Oktober, Agustus, dan lain-lain yang tak tercatat: masing-masing isyarat bahwa sinisme adalah putus asa. Putus asa yang keliru.


Goenawan Mohamad

Selasa, 12 Juli 2011

Libur & cuti bersama th. 2012

 Pemerintah telah meneken Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri tentang hari libur nasional dan cuti bersama tahun 2012. Hari libur nasional ada 14 hari dan cuti bersama 5 hari. Atur cuti Anda!

SKB diteken oleh Menteri Agama Suryadharma Ali, Menakertrans Muhaimin Iskandar, dan Menpan EE Mangindaan di kantor Kementerian Koordinator dan Kesejahteraan Rakyat, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (13/7/2011).

"Hari libur nasional pada tahun yang akan datang ada 14 hari dan cuti bersama 5 hari," kata Menko Kesra Agung Laksono.

Hari libur nasional tahun 2012 terdiri dari:

1 Januari 2012 Tahun Baru Masehi
23 Januari Tahun Baru Imlek
5 Februari Maulid Nabi Muhammad SAW
23 Maret Hari Raya Nyepi
6 April Wafat Yesus Kristus
6 Mei Hari Raya Waisak
17 Mei Kenaikan Yesus Kristus
17 Juni Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW
17 Agustus Hari Kemerdekaan Indonesia
19 dan 20 Agustus Hari Raya Idul Fitri
26 Oktober Hari Raya Idul Adha
15 November Tahun Baru Hijriah
25 Desember Hari Raya Natal.

Sedangkan Cuti bersama jatuh pada:

18 Mei 2012 cuti bersama kenaikan Yesus Kristus
21 dan 22 Agustus cuti bersama Idul Fitri
16 November cuti bersama Tahun Baru Hijriah
24 Desember cuti bersama Hari Raya Natal.

"Kita tidak menggunakan istilah-istilah hari kejepit tetapi memang hari-hari tersebut umumnya ada di antara hari-hari libur sehingga supaya lebih efektif kita gunakan sebagai cuti bersama dan pada hari lainnya, bisa dioptimalkan
hari kerja yang ada," ujar Agung. (detik.com)