Di Biara
Senin, 16 Januari 2012
Barangkali ini kisah cinta yang paling dalam dan
mencemaskan, dimulai dengan tujuh kepala manusia yang ditemukan di tepi jalan
di dekat Médéa, Aljazair, 90 kilometer dari ibu kota. Di antaranya dibungkus
plastik dan tergantung di pohon-pohon. Akhir Mei 1996.
Tujuh kepala itu berasal dari tujuh biarawan dari bukit
Tibhirine. Tak diketahui di mana tubuh mereka.
Dua bulan sebelumnya, lewat tengah malam, sekitar 20 orang
bersenjata memasuki Notre Dame de l'Atlas, sebuah biara Trappis. Mereka
bangunkan penghuninya, lalu dengan paksa mereka angkut orang-orang tua itu
dalam sebuah konvoi mobil yang segera pergi. Dari sembilan biarawan, hanya dua
yang luput.
Kemudian diketahui, para rahib warga negara Prancis itu
diculik "Grup Islam Bersenjata" sebagai sandera. Grup itu menuntut
agar pemimpin mereka yang ditangkap pasukan pemerintah Aljazair dibebaskan.
Kalau tidak, para sandera akan mati.
Dan rupanya tak ada perundingan. Ketujuh biarawan itu pun
disembelih, 21 Mei 1996.
Perang akhirnya juga memusnahkan para rahib Trappis di
Tibhirine yang khusyuk berdoa, rajin bertani, dan rukun bertetangga itu: Perang
Saudara Aljazair sejak 1991, ketika kaum "Islamis" melawan pemerintah
yang menindas mereka dengan gerilya yang garang dan ganas. Kebrutalan kedua
pihak akhirnya menjalar; grup-grup "Islamis" itu sendiri malah baku
bunuh. Pembantaian kian sering. Sampai dengan tahun 2000, 150 ribu orang tewas.
Mengapa, dalam ketakutan, para rohaniwan itu tak mau
meninggalkan bukit itu, bahkan menolak perlindungan pasukan pemerintah?
Tujuh tahun kemudian terbit sebuah buku John Kiser, The
Monks of Tibhirine: Faith, Love, and Terror in Algeria. Dalam satu
wawancara Kiser menawarkan sebuah jawab: kisah para padri itu adalah
"sebuah kisah cinta". Kata "cinta", love, dalam
bahasa Indonesia bisa juga berarti "kasih", dan agaknya itulah kaitan
dan getar hati yang dalam yang membuat kesembilan rahib itu tak pergi dari
Tibhirine.
Film Des hommes et des dieux, yang disutradarai
Xavier Beauvois ( 2010), dengan takzim mengisahkan kembali hari-hari terakhir
di biara itu. Tanpa menyimpulkan. Tapi satu adegan kecil agaknya menjelaskan.
Biarawan tua Luc Dochier, yang jadi dokter bagi dusun kecil itu, tampak duduk
di bawah pohon di samping seorang anak perempuan yang curhat kepadanya
karena sedang jatuh cinta.
"Apakah Romo pernah jatuh cinta juga?" tanya
remaja itu. Pernah, beberapa kali, jawab sang pastor, "Sampai akhirnya aku
menemukan cinta yang lebih besar."
"Cinta yang lebih besar" itu tentu saja cinta
kepada Tuhan. Juga cinta dalam Tuhan: kasih yang tak terlarai, tapi yang tak
mudah, sebab kasih itu membuat iman tak berdiri sendiri, bahkan merapat dan
bersentuhan dengan dunia yang berdosa, berbeda, dan tak terduga. Juga kasih itu
tak mudah karena mampu mengubah seseorang hingga bersedia, seperti tulis Luc
kemudian, menempuh "kemiskinan, kegagalan, dan kematian".
Di Tibhirine kegagalan dan kematian tegak di ambang pintu
hari-hari itu. Dunia kesembilan orang itu ditodong: bisakah mereka, dengan
kasih, menyelamatkan kegembiraan memanen ladang, menyapa tetangga, mempercayai
orang lain, melagukan kidung syukur untuk sang Pencipta? Bukankah justru untuk
itu mereka harus meninggalkan Tibhirine, membangun tempat lain?
Bimbang mencekam. "Kita di sini bukan untuk bunuh diri
kolektif," kata seorang padri yang ingin pergi, meskipun kemudian ia
tinggal—dan mati.
Suatu malam, menjelang Natal, sepasukan gerilyawan menggedor
pintu Notre Dame de l'Atlas. Komandannya, Ali Fayyatia, meminta agar para rahib
itu memberi mereka obat atau mengobati temannya yang luka. Kepala biara,
Christian de Chergé, menolak: persediaan obat terbatas dan orang dusun
membutuhkannya.
Suasana tegang. Tapi di saat itu Christian menunjukkan
harapannya kepada muslim yang memegang bedil di depannya itu. Dikutipnya ayat
Quran, bahwa yang dekat di hati muslim adalah mereka yang menyatakan diri
Nasrani—dan dalam Surah Al-Maidah memang disebut contoh orang Kristen yang baik
itu: "para pendeta dan rahib".
Sejenak Ali tercengang mendengar seorang pastor mengutip Quran,
tapi segera ia menyelesaikan ayat itu: "Karena sesungguhnya mereka tak
menyombongkan diri." Dan Christian pun menyambung: "Kami bersahabat
dengan penduduk dusun ini."
Komandan gerilya itu pun menyalami Christian, lalu pergi
meninggalkan tempat itu. Mungkin ia tahu, mungkin tidak, biara itu sudah di
sana sejak 1938 dan Islam dihormati.
Di satu makan malam bersama Christian mengatakan, kejadian
menjelang Natal itu—Ali datang dengan senjata, Ali pergi dengan salam—baginya
meneguhkan kembali makna hidup dan kelahiran Kristus. Maka ketika Ali
tertangkap tewas, mungkin disiksa, dan Christian melihat jenazahnya di pos
militer, ia mendoakannya dengan intens sampai ia diusir opsir penjaga.
Kasih memang tak mudah dipahami. Ada semacam wasiat yang
ditemukan di meja Christian (di mana terdapat juga Quran). Bila satu hari ia
jadi korban terorisme, demikian di sana tertulis, jangan terlalu gampang
menyamakan Islam dengan fundamentalisme penganutnya yang ekstremis. Sebab,
"Aljazair dan Islam lain; mereka satu tubuh, satu sukma."
Saya tak tahu bagaimana di hari-hari itu iman yang begitu
dalam bisa membuka hati begitu luas. Mungkin karena wajah-wajah ramah di
Tibhirine, bukit hening, dan ladang yang akrab. Mungkin juga "sukacita
rahasia" di hati Christian dalam meneguhkan la communion,
memulihkan la ressemblance ("persamaan"), dan "bermain
dengan perbedaan".
Di akhir wasiatnya, padri yang kemudian disembelih itu
menulis, dalam huruf Arab, "Insya Allah."
Ada harapan yang bisa dicemooh tapi tak takut gagal.
Goenawan Mohamad