Keluargaku

Keluargaku

Rabu, 18 Januari 2012

Di Biara


Di Biara
Senin, 16 Januari 2012

Barangkali ini kisah cinta yang paling dalam dan mencemaskan, dimulai dengan tujuh kepala manusia yang ditemukan di tepi jalan di dekat Médéa, Aljazair, 90 kilometer dari ibu kota. Di antaranya dibungkus plastik dan tergantung di pohon-pohon. Akhir Mei 1996.
Tujuh kepala itu berasal dari tujuh biarawan dari bukit Tibhirine. Tak diketahui di mana tubuh mereka.
Dua bulan sebelumnya, lewat tengah malam, sekitar 20 orang bersenjata memasuki Notre Dame de l'Atlas, sebuah biara Trappis. Mereka bangunkan penghuninya, lalu dengan paksa mereka angkut orang-orang tua itu dalam sebuah konvoi mobil yang segera pergi. Dari sembilan biarawan, hanya dua yang luput.
Kemudian diketahui, para rahib warga negara Prancis itu diculik "Grup Islam Bersenjata" sebagai sandera. Grup itu menuntut agar pemimpin mereka yang ditangkap pasukan pemerintah Aljazair dibebaskan. Kalau tidak, para sandera akan mati.

Dan rupanya tak ada perundingan. Ketujuh biarawan itu pun disembelih, 21 Mei 1996.
Perang akhirnya juga memusnahkan para rahib Trappis di Tibhirine yang khusyuk berdoa, rajin bertani, dan rukun bertetangga itu: Perang Saudara Aljazair sejak 1991, ketika kaum "Islamis" melawan pemerintah yang menindas mereka dengan gerilya yang garang dan ganas. Kebrutalan kedua pihak akhirnya menjalar; grup-grup "Islamis" itu sendiri malah baku bunuh. Pembantaian kian sering. Sampai dengan tahun 2000, 150 ribu orang tewas.
Mengapa, dalam ketakutan, para rohaniwan itu tak mau meninggalkan bukit itu, bahkan menolak perlindungan pasukan pemerintah?
Tujuh tahun kemudian terbit sebuah buku John Kiser, The Monks of Tibhirine: Faith, Love, and Terror in Algeria. Dalam satu wawancara Kiser menawarkan sebuah jawab: kisah para padri itu adalah "sebuah kisah cinta". Kata "cinta", love, dalam bahasa Indonesia bisa juga berarti "kasih", dan agaknya itulah kaitan dan getar hati yang dalam yang membuat kesembilan rahib itu tak pergi dari Tibhirine.

Film Des hommes et des dieux, yang disutradarai Xavier Beauvois ( 2010), dengan takzim mengisahkan kembali hari-hari terakhir di biara itu. Tanpa menyimpulkan. Tapi satu adegan kecil agaknya menjelaskan. Biarawan tua Luc Dochier, yang jadi dokter bagi dusun kecil itu, tampak duduk di bawah pohon di samping seorang anak perempuan yang curhat kepadanya karena sedang jatuh cinta.
"Apakah Romo pernah jatuh cinta juga?" tanya remaja itu. Pernah, beberapa kali, jawab sang pastor, "Sampai akhirnya aku menemukan cinta yang lebih besar."
"Cinta yang lebih besar" itu tentu saja cinta kepada Tuhan. Juga cinta dalam Tuhan: kasih yang tak terlarai, tapi yang tak mudah, sebab kasih itu membuat iman tak berdiri sendiri, bahkan merapat dan bersentuhan dengan dunia yang berdosa, berbeda, dan tak terduga. Juga kasih itu tak mudah karena mampu mengubah seseorang hingga bersedia, seperti tulis Luc kemudian, menempuh "kemiskinan, kegagalan, dan kematian".
Di Tibhirine kegagalan dan kematian tegak di ambang pintu hari-hari itu. Dunia kesembilan orang itu ditodong: bisakah mereka, dengan kasih, menyelamatkan kegembiraan memanen ladang, menyapa tetangga, mempercayai orang lain, melagukan kidung syukur untuk sang Pencipta? Bukankah justru untuk itu mereka harus meninggalkan Tibhirine, membangun tempat lain? 

Bimbang mencekam. "Kita di sini bukan untuk bunuh diri kolektif," kata seorang padri yang ingin pergi, meskipun kemudian ia tinggal—dan mati.
Suatu malam, menjelang Natal, sepasukan gerilyawan menggedor pintu Notre Dame de l'Atlas. Komandannya, Ali Fayyatia, meminta agar para rahib itu memberi mereka obat atau mengobati temannya yang luka. Kepala biara, Christian de Chergé, menolak: persediaan obat terbatas dan orang dusun membutuhkannya.
Suasana tegang. Tapi di saat itu Christian menunjukkan harapannya kepada muslim yang memegang bedil di depannya itu. Dikutipnya ayat Quran, bahwa yang dekat di hati muslim adalah mereka yang menyatakan diri Nasrani—dan dalam Surah Al-Maidah memang disebut contoh orang Kristen yang baik itu: "para pendeta dan rahib".
Sejenak Ali tercengang mendengar seorang pastor mengutip Quran, tapi segera ia menyelesaikan ayat itu: "Karena sesungguhnya mereka tak menyombongkan diri." Dan Christian pun menyambung: "Kami bersahabat dengan penduduk dusun ini."
Komandan gerilya itu pun menyalami Christian, lalu pergi meninggalkan tempat itu. Mungkin ia tahu, mungkin tidak, biara itu sudah di sana sejak 1938 dan Islam dihormati.

Di satu makan malam bersama Christian mengatakan, kejadian menjelang Natal itu—Ali datang dengan senjata, Ali pergi dengan salam—baginya meneguhkan kembali makna hidup dan kelahiran Kristus. Maka ketika Ali tertangkap tewas, mungkin disiksa, dan Christian melihat jenazahnya di pos militer, ia mendoakannya dengan intens sampai ia diusir opsir penjaga.
Kasih memang tak mudah dipahami. Ada semacam wasiat yang ditemukan di meja Christian (di mana terdapat juga Quran). Bila satu hari ia jadi korban terorisme, demikian di sana tertulis, jangan terlalu gampang menyamakan Islam dengan fundamentalisme penganutnya yang ekstremis. Sebab, "Aljazair dan Islam lain; mereka satu tubuh, satu sukma."
Saya tak tahu bagaimana di hari-hari itu iman yang begitu dalam bisa membuka hati begitu luas. Mungkin karena wajah-wajah ramah di Tibhirine, bukit hening, dan ladang yang akrab. Mungkin juga "sukacita rahasia" di hati Christian dalam meneguhkan la communion, memulihkan la ressemblance ("persamaan"), dan "bermain dengan perbedaan". 

Di akhir wasiatnya, padri yang kemudian disembelih itu menulis, dalam huruf Arab, "Insya Allah."
Ada harapan yang bisa dicemooh tapi tak takut gagal.

Goenawan Mohamad

Kamis, 05 Januari 2012

Epifania

InjMg 8 Jan 12 - Epifania (Mat 2:1-12)

HARI RAYA PENAMPAKAN TUHAN (Mat 2:1-12)

Pada Hari Raya Penampakan Tuhan - Epifania - dibacakan Mat 2:1-12. Dikisahkan kedatangan orang-orang bijak dari jauh untuk menyatakan penghormatan mereka kepada raja yang baru dilahirkan. Siapakah mereka ini? Di wilayah Babilonia dan Persia dulu, sekarang Irak & Iran utara, ada orang-orang bijak yang mahir dalam ilmu perbintangan. Mereka biasanya juga berperan sebagai ulama agama setempat. Matius menyebut mereka sebagai "orang-orang majus". Dalam kisah ini mereka mewakili orang-orang bukan Yahudi yang datang dari jauh untuk menghormati dia yang lahir di Betlehem yang bakal menjadi pemimpin umat manusia. Kebijaksanaan para majus ini membawa mereka ke sana. Para ulama Yahudi sendiri sebenarnya juga mengetahuinya lewat nubuat Nabi Mikha (Mat 2:6, kutipan dari Mikha 5:1).

ORANG-ORANG BIJAK
TANYA: Cerita mengenai orang majus ini menarik. Dapatkah dikatakan bahwa Tuhan berbicara kepada umat manusia tidak hanya lewat wahyu Alkitab saja? Seperti di sini, lewat kebijaksanaan manusiawi juga?

JAWAB: Ya! Memang itulah yang diungkapkan Matius dengan kisah ini. Ia menunjukkan bagaimana kebijaksanaan dapat juga menuntun orang mengenali kehadiran Tuhan.

TANYA: Bila begitu, luas benar pandangan Matius.

JAWAB: Malah dengan kisah ini Matius juga bermaksud mengatakan bahwa Tuhan justru berbicara kepada umat-Nya lewat orang-orang bukan dari kalangan itu sendiri! Orang-orang di Yerusalem mendengar tentang kelahiran Yesus dari orang-orang bijak itu. Setelah itu barulah mereka mulai sibuk mencari dalam khazanah teks keramat mereka sendiri. Matius mau membangunkan orang sekaumnya yang kurang mendalami tradisi keramat mereka sendiri.

TANYA: Wah, keberanian berpikir seperti Matius itu langka, juga pada zaman ini. Orang biasanya merasa aman dengan apa-apa yang sudah biasa, yang dapat diperhitungkan. Akan tetapi jalan Tuhan tidak terbatas. Apakah Matius juga bermaksud agar orang-orang Yahudi sadar bahwa mereka bukan satu-satunya umat yang diperhatikan Tuhan?

JAWAB: Beberapa bagian dalam Perjanjian Lama sebenarnya sudah mengatakan hal ini walaupun caranya agak berbeda. Misalnya, Yes 60:1-6 (bacaan pertama pada Hari Raya Penampakan Tuhan ini) menegaskan bahwa bangsa-bangsa bukan Yahudi akan berduyun-duyun ke Sion, yakni tempat Tuhan bertakhta, tempat Ia menyinarkan terang-Nya (terutama ay. 3). Maksudnya, kini Tuhan bukan hanya bagi orang Yahudi.

TANYA: Jadi juga cocok dengan yang diutarakan dalam bacaan kedua (Ef 3:6), yaitu berkat "Injil" orang-orang bukan Yahudi dapat turut menikmati janji Tuhan yang kini diberikan dalam ujud manusia, yaitu Yesus.

JAWAB: Benar. Dalam surat Efesus itu "Injil" ialah Kabar Gembira yang sama bagi semua orang, berarti juga bagi orang bukan Yahudi dan orang-orang yang bukan termasuk umat Perjanjian Lama.

PERSEMBAHAN
TANYA: Sering kita dengar mengenai "Tiga Raja", Gaspar, Baltasar, dan Melkhior. Tapi dalam Injil Matius ini jumlah serta nama-nama mereka kok juga tidak disebutkan? Juga tidak dikatakan mereka itu raja.

JAWAB: Memang Matius hanya menyebut "orang-orang majus dari Timur" dan tiga macam persembahan, yakni "emas, dupa, dan mur". Tiga persembahan itu kemudian menumbuhkan gagasan adanya tiga orang. Bahwasanya mereka kemudian dianggap raja boleh jadi didasarkan pada tradisi umat Yahudi sendiri seperti ada dalam Mzm 72:10 ("Kiranya raja-raja dari Tarsis dan pulau-pulau membawa persembahan; kiranya raja-raja dari Syeba dan Seba membawa upeti"). Nama-nama Gaspar, Baltasar, dan Melkhior itu dikenal di wilayah kekaisaran Romawi sebelah Barat. Di wilayah lain nama mereka berlainan, juga jumlah mereka berbeda-beda, dari dua hingga dua belas orang.

TANYA: Bisakah diterangkan sedikit mengenai persembahan yang dibawa para majus itu?

JAWAB: Matius boleh jadi teringat akan Yes 60:6 ("... mereka semua akan datang dari Syeba, akan membawa emas dan kemenyan, serta memberitakan perbuatan masyhur Tuhan"). Dalam tradisi Gereja awal, emas dihubungkan dengan kedudukan mulia Yesus sebagai raja, dupa dengan martabat ilahinya, dan mur dengan wafatnya sebagai manusia nanti. (Mur dipakai dalam merawat jenazah sebelum dikuburkan).

TANYA: Apa ada makna yang lebih dalam?

JAWAB: Persembahan itu menandai terjalinnya hubungan antara orang-orang yang bukan dari kalangan Yahudi dengan pemimpin umat Tuhan yang baru lahir ini. Iman dan berkatnya mengatasi ikatan-ikatan bangsa dan kedaerahan.

BERSUKA CITA

TANYA: Dapatkah dijelaskan perihal bintang yang dilihat para majus (Mat 2:2) dan yang berhenti di tempat Yesus lahir (Mat 2:9)?

JAWAB: Pembaca akan teringat pada bintang yang disebutkan dalam Bil 24:17. Balaam, seorang ahli nujum bangsa Aram, menubuatkan bahwa sebuah bintang akan muncul dari keturunan Yakub. Selain itu, di kalangan Yahudi ada juga nubuat mengenai kelahiran seorang pemimpin di Betlehem, seperti terdengar dalam Mikha 5:1 dst. yang bahkan dikutip dalam Mat 2:6. Matius menerapkan kedua nubuat tadi pada kelahiran Yesus.

TANYA: Masih mengenai bintang. Setelah mereka berangkat dari tempat Herodes, para majus tadi melihat kembali bintang yang mereka lihat di Timur. Dan dikatakan bahwa mereka "sangat bersuka cita" (Mat 2:10). Bagaimana penjelasannya?

JAWAB: Mereka mengikuti petunjuk yang diungkapkan para ulama Yerusalem kepada Herodes mengenai raja yang baru lahir itu. Herodes kemudian meminta para majus agar mencarinya di Betlehem. Isyarat bintang yang mereka lihat di Timur cocok dengan pemahaman para ulama di negeri yang mereka datangi. Mereka bersuka cita karena mendapatkan jalan yang benar-benar akan membawa mereka kepada dia yang mereka cari.

CARA TUHAN BERBICARA
Dalam Injil Lukas, orang-orang pertama yang menyadari makna peristiwa kelahiran Yesus ialah para gembala (Injil Misa Fajar hari Natal.) Dalam Injil Matius, peran yang sama dijalankan orang-orang majus tadi. Baik para gembala maupun orang-orang majus mendapat bimbingan langsung dari langit tetapi dengan "bahasa" yang sesuai dengan cara berpikir masing-masing. Kepada para gembala, Tuhan berbicara lewat penampakan malaikat dan bala tentara surgawi. Kepada para ulama yang ahli ilmu pengetahuan itu, Ia berbicara lewat isyarat bintang dan pemikiran. Ia bahkan dapat berbicara kepada mereka lewat orang yang memiliki niat yang kurang lurus seperti Herodes yang meminta mereka agar ke Betlehem.

Baik para gembala maupun orang-orang majus itu sama-sama mencari dia yang baru lahir. Mereka membuat orang-orang yang mereka jumpai tidak dapat tinggal diam. Menurut Luk 2:18, orang-orang pada "keheranan" ketika mendengar para gembala bercerita mengenai kata-kata malaikat mengenai anak yang baru lahir itu. Dalam Mat 2:3, dikisahkan bahwa Herodes dan seluruh isi Yerusalem "terkejut" ketika mendengar kata-kata para majus. Ironisnya, mereka yang heran dan yang terkejut itu adalah orang-orang yang sebenarnya sudah berada di dekat dengan dia yang baru lahir. Dalam Injil Lukas, mereka itu sudah ada di tempat Maria baru saja melahirkan. Ahli-ahli Taurat di Yerusalem dan Herodes yang disebut Matius sudah dekat dengan kelahiran Yesus lewat kitab-kitab keramat mereka. Namun mereka tidak menginsafi apa yang sedang terjadi di dekat mereka.

Seperti jelas dari Mat 2:5, para ulama di Yerusalem itu sebenarnya juga dapat mengetahui peristiwa itu. Tetapi mereka tidak memahami maknanya. Juga di antara orang-orang yang mendengar kata-kata para gembala, hanyalah Maria sajalah yang berusaha mengerti. Disebutkan dalam Luk 2:18 bahwa Maria "menyimpan semua perkataan itu dalam hatinya dan memikir-mikirkannya." Artinya, ia bersikap mau memahami misteri yang ada dalam kehidupannya. Orang-orang lain tetap terheran-heran saja.

Nanti para majus diperingatkan "dalam mimpi" supaya jangan kembali ke Herodes. Para majus ini kini sudah akrab dengan isyarat-isyarat dari atas. Mereka kini sudah berada di pihak raja yang baru lahir. Karena itu mereka juga menyadari muslihat Herodes yang ingin melacak di mana persisnya tokoh yang dianggapnya bakal menjadi saingannya itu. Kebijaksanaan kini menuntun para majus kembali ke negeri mereka. Mereka pulang membawa kegembiraan yang akan mereka bagikan kepada orang-orang lain. Bagaimana dengan mereka yang ada di Yerusalem, yaitu Herodes dan orang-orang seperti dia? Mereka akan tetap "terkejut" dan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka kehilangan kepekaan akan cara-cara Tuhan berbicara kepada manusia, malah menganggapnya sebagai ancaman!

IKUT BERGEMBIRA
Pada perayaan Hari Raya Penampakan Tuhan kita mensyukuri saat-saat Dia membiarkan diri dapat dikenali oleh orang-orang yang tidak atau belum mengenal-Nya. Dalam Mat 2:11, dikatakan bahwa para majus melihat Yesus bersama Maria dan baru setelah itu mereka menyembahnya. Dia yang ilahi itu membiarkan diri dipandangi oleh orang yang tidak biasa melihatnya. Dan bukan hanya dalam panganan belaka melainkan ada bersama dengan manusia lain, bersama dengan dia yang melahirkannya. Para majus bersuka cita karena dapat melihat Tuhan sungguh ada di dalam kehidupan manusia. Dan sukacita seperti ini boleh juga kita alami.

Salam hangat,
A. Gianto