Rekan-rekan,
Pada perayaan Salib Suci, Minggu tgl. 14
September ini dibacakan Injil Yohanes 3:13-17. Petikan ini bagian dari
percakapan antara Yesus dan Nikodemus. Tokoh ini ingin mendapat pencerahan
mengenai makna kejadian-kejadian luar biasa yang dilakukan Yesus. Ia ingin
mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Sebagai orang yang berpengalaman dan
bijaksana, ia sudah dapat menyimpulkan bahwa Allah Yang Maha Kuasa kini sedang
mendatangi umat-Nya dan mukjizat yang dilihat orang itulah tanda-tanda
kedatangan-Nya. Nikodemus mulai menyadari bahwa Yesus datang dari Dia. Semua
ini disampaikannya kepada Yesus sambil mengharapkan pencerahan lebih jauh (Yoh
3:2). Dikatakan oleh penginjil, ia menemui Yesus malam hari. Malam adalah saat
kegelapan dan kuasanya terasa mencengkam.
Pembaca diajak Yohanes mengingat bahwa yang kini
ditemui Nikodemus ialah Terang yang diwartakannya pada awal Injilnya. Bagaimana
kelanjutannya? Marilah kita catat beberapa pokok dalam pembicaraan itu terlebih
dahulu sebelum menghubungkan bacaan Injil kali ini dengan misteri Salib.
PERCAKAPAN DENGAN NIKODEMUS
Injil Yohanes mengajak pembaca ikut mengalami
yang dirasakan Nikodemus dan dengan demikian dapat ikut masuk ke dalam
pembicaraan dengan Yesus sendiri. Dalam ay. 3 Yesus menegaskan bahwa hanya
orang yang dilahirkan kembali – dan dilahirkan dari atas sana – akan melihat
Kerajaan Allah. Semakin disimak, jawaban Yesus ini semakin membawa kita kepada
pertanyaan yang sebenarnya ada dalam hati Nikodemus dan boleh jadi juga dalam
diri kita: “Apa maksud macam-macam mukjizat yang dilakukan Yesus, yang tentunya
disertai Allah itu?” Tentunya tak lain tak bukan ialah…kenyataan apa itu
Kerajaan Allah! Itulah yang dibawakan Yesus kepada orang banyak. Dan inilah
yang semestinya dicari orang. Nikodemus tentu akan bertanya lebih lanjut: kalau
begitu bagaimana caranya bisa ikut masuk ke dalam Kerajaan ini. Ay. 3 tadi
ialah jawabannya.
Jawaban tadi semakin membuat Nikodemus bertanya-tanya.
Boleh jadi juga kita demikian. Bagaimana bisa orang setua dia, setua kita,
dapat lahir kembali. Tentu Nikodemus tidak berpikir secara harfiah belaka. Ia
tahu yang dimaksud ialah lahir kembali secara rohani. Tapi justru itulah
soalnya, bisakah orang yang sudah jauh melangkah di jalan lain mendapatkan
hidup baru. Berangkat dari nol lagi? Apakah hidup dalam roh sepadan dengan
pengorbanan yang perlu dijalani? Menanggalkan hidup badaniah, menisbikannya
demi hidup dalam roh? Inilah maksud pertanyaan dalam ay. 9, “Bagaimana itu bisa
terjadi?”
Penjelasan Yesus tidak diberikan dalam ujud
serangkai pernyataan teologi, melainkan dalam ujud kesaksian mengenai dirinya:
ia datang dari atas sana. Karena itulah ia dapat membawakan Kerajaan Allah
kepada orang banyak. Dalam hubungan dengan yang diperkatakan sebelumnya, Yesus
ialah orang yang sudah mengalami apa itu lahir kembali dari atas sana, dan yang
kini hidup dalam roh. Untuk mengalami bagaimana lahir dalam roh, jalannya ialah
berbagi hidup dengan dia yang sungguh sudah ada dalam keadaan itu. Ini jawaban
bagi Nikodemus, juga jawaban bagi kita.
Hidup kekal itu berarti masuk kembali ke asal
kehidupan sendiri. Tapi yang sungguh mengenal kehidupan kekal itu hanyalah dia
yang datang dari sana. Menurut Yoh 3:13, hanya “Anak Manusia” sajalah. Dan
jalan yang ditempuhnya ialah salib. Ia dinaikkan ke salib untuk membawa orang
ke kehidupan kekal. Pokok ini dibicarakan lebih lanjut dalam petikan yang
dibacakan hari ini, dari ayat 13 hingga 17.
ULAR TEMBAGA?
Ayat 14 memperkenalkan pengalaman umat Perjanjian
Lama di padang gurun seperti dirujuk dalam Yoh 3:14. Umat mengalami macam-macam
bahaya. Salah satu yang paling mengerikan ialah “ular-ular tedung” yang
mematikan itu (Bil 21:4-9). Ular-ular itu dapat memagut secepat kilat dan bisanya
membakar. Tak ada kemungkinan selamat. Malapetaka tadi digambarkan sebagai
akibat kekurangpercayaan mereka sendiri. Mereka memang akhirnya meminta agar
Musa memohonkan belas kasihan Yang Maha Kuasa. Begitulah, Musa diperintahkan
Allah membuat ular dari tembaga dan memancangnya pada sebuah tiang. Yang
dipagut ular akan tetap hidup bila memandangi ular tembaga tadi. Memandangi
ular tembaga itu menjadi ungkapan kepercayaan pada Sabda Allah yang menjadi
harapan satu-satunya untuk dapat terus hidup menempuh perjalanan di padang
gurun sampai ke Tanah Terjanji.
Bagi pembaca Injil Yohanes, Tanah Terjanji kini
ialah Kerajaan Allah yang dibawakan Yesus ke dunia kepada semua orang, bukan
hanya kepada umat Perjanjian Lama. Tanah Terjanji ini tempat hidup kekal, bukan
sekadar negeri yang dapat didiami di muka bui. Untuk mencapainya, jalan
satu-satunya ialah tetap mengarahkan pandangan kepada salib, menaruh
kepercayaan dan harapan kepada dia yang disalib – diangkat seperti ular tembaga
tadi. Mengapa? Jawaban dari Injil Yohanes didapati dalam ay. 16
INTI WARTA INJIL
“Karena Allah begitu mengasihi dunia ini,
sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang
percaya kepadanya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Tidak
meleset bila dikatakan bahwa ay. 16 ini berisi ringkasan seluruh Kabar Gembira.
Kalimat ini menegaskan bahwa Allah bukan hanya
hasil kesimpulan akal budi, yakni bahwa segala sesuatu yang ada ini mestinya
ada yang mengadakan, yakni Allah. Bukan ke sana arah ayat ini. Justru
kebalikannya. Tidak lagi dirasakan kebutuhan menunjukkan bahwa Ia ada. Yang
diwartakan justru perhatian-Nya yang membuat jagat ini terus berlangsung. Dia
itu Allah yang dihadirkan oleh orang-orang yang dekat dengan-Nya. Dan kali ini
bahkan Dia diperkenalkan oleh orang yang paling dekat dengan-Nya, yang
menyelami dan hidup dari Dia. Inilah arti kata “anak” yang diterapkan kepada
Yesus oleh Injil Yohanes. Pemakaian kata “tunggal” di situ dimaksud untuk
memperjelas bahwa tiada yang lebih dekat dengan-Nya daripada Yesus sendiri.
Karena itulah ia dapat membawa kemanusiaan berbagi kehidupan kekal dengan Yang
Ilahi sendiri tadi.
Ay. 16 dst. berisi kesaksian Yohanes Penginjil
akan siapa Allah dan siapa Yesus itu. Allah sedemikian mengasihi dunia ini sehingga
ia memberikan Anak-Nya yang tunggal. Dalam teks Yunani Injil Yohanes, kata
“mengasihi” dan “memberikan” itu diungkapkan dalam bentuk yang jelas-jelas
mengungkapkan tindakan yang dibicarakan betul-betul sudah terjadi. Sudah jadi
kenyataan, bukan hanya sedang atau bakal dikerjakan. Tentunya pengarang Injil
berpikir akan peristiwa penyaliban Yesus di Golgota. Injil memang ditulis
sebagai kesaksian peristiwa yang sudah dialami dan kini dibagikan kepada orang
banyak. Penyaliban Yesus yang dari luar tampak sebagai hukuman, kegagalan, dan
kematian itu kini mendapat arti baru. Yang Maha Kuasa mau menerima penderitaan
manusia Yesus itu sebagai ungkapan kepercayaan utuh kepada-Nya. Dan karena
itulah Yesus menjadi Anak-Nya, menjadi orang yang paling dekat dengan Allah
sendiri dan bahkan dengan demikian membawakan Dia ke dunia ini. Penyerahan diri
sepenuhnya kepada Allah itu membuka jalan kehidupan kekal. Itulah ungkapan lain
dari peristiwa kebangkitan. Inilah yang dibagikan Yesus kepada orang-orang yang
mau mempercayai arti penyerahan dirinya kepada Allah tadi. Dan baru dengan
demikian orang dapat ikut mengalami apa itu dikasihi Allah.
IMPIAN ATAU KENYATAAN
Yang diutarakan di atas ialah pengalaman iman
dari para pengikut Yesus yang pertama yang kemudian dituliskan dalam bentuk
Injil. Tidak segera dapat dicerna orang pada zaman kemudian di tempat lain.
Kita boleh bertanya, bila benar Allah sungguh telah memberi perhatian khusus
kepada dunia, bagaimana bisa dijelaskan kok masih ada saja yang tak beres, dan
rasanya malah kekacauan semakin menjadi-jadi. Sekarang kekerasan,
ketidakadilan, kematian terasa semakin mewarnai pengalaman sehari-hari.
Retorika sajakah yang diutarakan Injil hari ini? Kerajaan Allah yang sudah
datang itu impian atau kenyataan?
Injil Yohanes memecahkannya bukan dengan uraian
moralistis atau pengajaran. Yang ditampilkan ialah sebuah kesaksian, yakni
bahwa Allah tidak menghendaki kebinasaan. Yang dimaui-Nya ialah kehidupan kekal
bagi semua orang. Bagi dunia. Yang perlu dilakukan manusia ialah berani menerima
kebaikan-Nya. Mempercayai-Nya. Yang meragukan atau bahkan menolak akan tetap
berada di dalam kegelapan, dalam ancaman kebinasaan, dan jauh dari kehidupan
yang berkelanjutan. Tentu saja Yohanes memaksudkan kehidupan setelah kehidupan
badani ini. Bagi Yohanes, yang kekal itu ialah kehidupan yang berbagi kedekatan
dengan Yang Ilahi sendiri nanti. Inilah yang ditawarkan kepada Nikodemus. Dari
pembicaraan dalam ay. 1-13 yang menjadi konteks petikan hari ini juga terasa
betapa beratnya penyerahan seperti ini bagi Nikodemus. Ia masih bergulat agar
membiarkan diri dan ikhlas dirasuki terang yang sudah ditemukan dan dilihatnya
sendiri itu. Kisahnya bisa juga menjadi riwayat kita masing-masing.
Injil memberi penjelasan lebih jauh. Yang menolak
arah itu sudah menghakimi diri. Inilah yang dikatakan dalam ay. 19 yang tidak
termasuk petikan kali ini, tapi baik didalami pula. Di situ malah dipakai lagi
gambaran terang lawan gelap. Yang menyukai kegelapan dan menolak terang sudah
melepaskan diri dari anugerah ilahi tadi dan terhukum untuk hidup dalam
kegelapan. Terang datang ke dunia untuk menyingkirkan kegelapan. Tak usah orang
berbuat banyak. Tinggal ikhlas membiarkan diri diterangi, maka kehidupan akan
berubah dengan sendirinya. Tak usah lari berusaha ke sana. Nanti malah hangus.
Bila menunggu, maka akan mendapat terang sesuai dengan yang dapat diterima.
Tapi ada yang lari menyingkir mengikuti kegelapan, menjauh dari terang itu.
Mereka itu menghakimi diri. Inilah pesan Yohanes hari ini.
Salam.
A. Gianto