Keluargaku

Keluargaku

Selasa, 28 Juni 2011

Pembusukan Kolosal

Pembusukan Kolosal

http://rezaantonius.files.wordpress.com/2011/06/corruption-affects-everyone1.jpg?w=300&h=192
bhagwad.com
Kompas, Selasa,
28 Juni 2011
Oleh B Herry Priyono

Korupsi bukan hanya pencurian dan penggelapan uang negara, melainkan juga pembusukan kehidupan bersama. Rupanya itulah yang menggerakkan Kompas belakangan ini menurunkan banyak laporan utama mengenai ”kerusakan moral” hidup berbangsa.
Istilah bisa berubah, tetapi intinya sama: pembusukan pada skala kolosal. Korupsi sebagai pencurian uang negara hanya salah satu bagian. Pengertian korupsi sebatas ciri finansial-ekonomistik ini biasanya tanda masyarakat yang begitu rusak oleh pembusukan pada tingkat yang sangat ganas. Justru karena sangat ganas, langkah kalap koreksi terpaksa hanya berkutat pada aspek material, finansial, dan tolok ukur uang.
Itu juga berarti ciri ekonomistik definisi korupsi menunjukkan fase evolusi kebudayaan kita belum sanggup melihat apalagi memecahkan luasnya pembusukan di luar perkara yang dapat diuangkan. Rupanya itu yang membuat mengapa soal korupsi tampak terpisah dari masalah ”kerusakan moral”.
Apa pentingnya soal ini? Tentu itu bukan karena mengejar uang negara/rakyat yang dijarah para koruptor tidak penting. Namun, pengertian ekonomistik korupsi mudah patah sebab gerakan mengejar uang negara/rakyat hanya akan menjadi urusan hukum. Korupsi memang mesti diproses melalui hukum, tetapi celakanya korupsi pertama bukan soal hukum.
Korupsi bukan pula hanya soal mencuri uang negara. Seorang akademikus yang melakukan plagiat atau siswa yang mencontek tak mencuri uang negara, tetapi plagiat dan mencontek adalah korupsi. Begitu pula mahasiswa yang memalsukan tanda tangan kehadiran atau polisi yang memalsu bukti kejahatan tidak mencuri uang rakyat, tetapi semua itu korupsi.
Definisi ekonomistik korupsi mudah patah oleh alasan lain. Simaklah literatur ilmu ekonomi bisnis tentang korupsi sejak dasawarsa 1970-an. Di situ ditemukan debat tentang korupsi sebagai ”minyak pelancar” dan ”kerikil pengganjal” pertumbuhan ekonomi.

Pelancar atau pengganjal
Pertama, pandangan korupsi sebagai ”minyak pelancar” investasi dan pertumbuhan ekonomi sangat luas di kalangan pelaku bisnis dan ekonom. Titik tolaknya adalah fakta keluasan praktik suap-menyuap dalam suatu masyarakat. Dalam timbangan untung-rugi, menyuap pejabat akan mempercepat pengurusan administrasi bisnis. Tanpa suap, urusan administrasi memakan waktu lama, padahal waktu lama adalah kerugian. Itulah mengapa korupsi dilihat sebagai pencipta efisiensi. Korea Selatan, Thailand, Filipina, dan Indonesia sebelum krisis finansial 1997 biasanya dipakai sebagai contoh pertumbuhan ekonomi tinggi meskipun, atau justru karena, tingkat korupsi tinggi.
Pandangan ini tentu terdengar ganjil sebab dampak menguntungkan hari ini mudah menjadi kerugian ganas dalam jangka panjang. Namun, pelaku bisnis bukanlah makhluk yang terkagum-kagum pada pembedaan konseptual yang elok tentang ”jangka pendek” dan ”jangka panjang”, tetapi tidak mendatangkan laba.
Kedua, pandangan tentang korupsi sebagai ”kerikil pengganjal” roda investasi dan pertumbuhan ekonomi mengandaikan korupsi tidak hanya menciptakan biaya tambahan untuk bisnis, tetapi juga merusak kapasitas regulasi dan pendapatan pemerintah sebagai barang/jasa publik yang persis disyaratkan bagi iklim investasi.
Di tahun 1998, misalnya, andai saja Indonesia yang ada pada peringkat ke-80 negara terkorup (dengan indeks korupsi 2,00) dapat mengurangi korupsi setingkat Brasil (peringkat ke-46, indeks korupsi 4,00), tingkat investasi Indonesia dapat tumbuh 4 persen per tahun. Dalam pandangan ini, akibat ganas korupsi bukan hanya menjarah anggaran pendidikan atau kesehatan rakyat, melainkan juga seluruh etos tata pemerintahan dan pejabatnya jadi hancur.

Statistik itu bukan rekaan meskipun mirip sulap. Andai statistik yang saya pinjam dari Country Guide Risk itu peristiwa nyata, tentulah sangat mengharukan meskipun juga menggelikan. Prestasi statistik itu mengandaikan sangat banyak hal, yaitu berkurangnya pembusukan di bidang lain, seperti pendidikan, peradilan, bahkan dunia olahraga yang secara langsung tak terkait dengan pertumbuhan ekonomi. Keluasan korupsi di banyak bidang lain tak sepenuhnya berciri ekonomistik, tetapi berpengaruh mendalam terhadap perluasan aspek ekonomistik korupsi. Itu karena korupsi bukan kejahatan sektoral, melainkan pembusukan kolosal trans-sektoral dengan rantai sebab-akibat seperti domino.
Jadi, korupsi itu memiskinkan atau tak memiskinkan? Dua garis pandangan di atas masih bisa diperumit lagi dengan kajian tiap bidang yang akan menunjukkan aneka kadar daya merusak atau tidak-merusak korupsi. Namun, perumitan itu tidak menambah apa-apa sebab soalnya tak terletak dalam pertanyaan apakah korupsi memiskinkan atau tak memiskinkan. Luasnya korupsi tetap bisa bergandengan erat dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi tetap saja merusak etos tata pemerintahan dan kehidupan bersama. Uang negara/rakyat yang dijarah memang mesti segera dikembalikan, tetapi kembalinya uang itu tetap dapat berjalan bersama ganasnya korupsi.
Apabila soalnya bukan hanya apakah korupsi memiskinkan atau tak memiskinkan, lalu apa masalah pokoknya? Soalnya adalah pembusukan kinerja seluruh gugus kelembagaan yang menjadi syarat mutlak kemungkinan hidup bersama. Di sinilah kita menemukan arti korupsi yang sebenarnya: pembusukan moral pada skala kolosal.

Bangsa yang membusuk
Mengapa korupsi membusukkan hidup bersama? Apa yang sebenarnya dibusukkan? Untuk memudahkan, mungkin baik diajukan contoh. Apa yang dibusukkan petaruh yang menyuap kiper pertandingan sepak bola agar timnya mengalah? Yang dibusukkan bukan hanya integritas pemain bola, tetapi standar moral institusi olah raga itu sendiri: sportivitas. Korupsi proses peradilan membuat hakim busuk dan mungkin ia lebih pantas disebut copet ketimbang hakim. Lebih ganas lagi pembusukan peradilan membuat proses dan kinerja peradilan lebih tepat disebut akal-akalan copet ketimbang peradilan.
Orgi percaloan dan penggelapan anggaran yang luas terjadi di DPR adalah salah satu puncak pembusukan kolosal itu. Persekongkolan institusional melawan koreksi Wa Ode Nurhayati adalah akibatnya. Anggota DPR yang sibuk menjadi calo dan memburu suap tentu lebih pantas disebut tikus daripada legislator. Dan keluasan gejalanya membuat kinerja lembaga itu lebih tepat disebut sarang tikus daripada DPR.
Yang membusuk bukan hanya watak dan tindakan para pelakunya, melainkan juga tujuan, proses, dan kinerja kelembagaan institusi. Entah itu institusi pendidikan, hukum, politik, budaya, kepolisian, bahkan olahraga. Mengapa pembusukan tujuan, proses, dan kinerja lembaga-lembaga itu fatal? Sebab, kinerja jaringan kelembagaan institusi-institusi itu adalah penyangga mutlak hidup bersama. Namun, tugas menyangga itu dapat terjadi jika dan hanya jika setiap lembaga berkinerja sesuai alasan adanya. Tanpa integritas kinerja lembaga-lembaga itu, hidup kita hanya berupa kerumunan atau kekacauan.
Contohnya, alasan adanya pendidikan- sekolah adalah mendidik, bukan propaganda dinasti politik. Begitu pula lembaga peradilan ada untuk pengelolaan kesamaan akses hukum dan bukan jual-beli putusan. Alasan adanya lembaga DPR adalah mewakili kepentingan seluruh rakyat, bukan bisnis percaloan serta makelar anggaran. Itulah standar moral. Standar moral ini berlaku bukan hanya bagi lembaga pemerintah, melainkan juga swasta. Sebab, korupsi sebagai pembusukan tak hanya terjadi di lembaga negara, tetapi juga luas dilakukan oleh dan melalui swasta.

Karena itu, proses peradilan disebut korup bukan hanya karena makhluk yang disebut hakim telah membusukkan karakter dirinya dan orang-orang lain, terlebih karena maksud, proses, dan kinerja institusi peradilan (pengelolaan kesamaan akses hukum) telah dijungkirbalikkan.
Silakan juga mencermati berbagai praktik gelap yang telah lama berlangsung di banyak lembaga negara. Biaya listrik, telepon, air, berbagai perabot, serta fasilitas pribadi rumah-tangga pegawai dibayar dengan uang rakyat. Namun, karena rumah- tangga mereka juga berbisnis salon atau katering makanan, segala biaya listrik, telepon, dan air untuk bisnis itu dibayar dengan uang rakyat. Maka, bukan hanya uang negara/rakyat yang telah dijarah secara kolosal melalui mekanisme institusi, tetapi standar moral institusi juga telah dijungkirbalikkan dan dibusukkan.
Apa yang terjadi bila penjungkirbalikan tujuan, proses, dan kinerja institusional itu menggejala pada berbagai lembaga pemerintah dan swasta di Indonesia? Tidak terkecuali pembusukan lembaga-lembaga agama yang bahkan sering terjadi pada tingkat yang lebih ganas. Hasilnya tentu kehancuran hidup bersama yang sering diungkapkan dengan istilah ”kerusakan hidup berbangsa” atau ”bernegara”.
Itulah yang menjelaskan mengapa ”kerusakan hidup berbangsa” sebenarnya berisi pembusukan kolosal kinerja seluruh jaringan institusi yang menyangga hidup bersama kita. Maka, istilah ”moral” juga bukan soal kesalehan pribadi atau menonton film porno, tetapi menyangkut integritas kinerja kelembagaan yang tentu terkait erat dengan kelakuan para penghuni lembaga itu. Dengan itu juga gugurlah pembenaran yang bilang hanya beberapa oknum yang melakukan. Satu-dua orang sudah cukup membuat tujuan, proses, dan kinerja institusi membusuk.
Ciri kolosal pembusukan ini telah mencapai tahap ketika suasana kehidupan bersama kita luluh lantak menjadi jaringan benalu kolosal. Kita tak tahu lagi dari mana mengurainya. Namun, ada satu kementerian negara yang dibiayai uang rakyat untuk tugas ini: Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Meski ibarat mencari-cari harapan dalam luasnya keputusasaan, dapatkah kementerian itu bekerja sebagai penggerak revitalisasi?
Barangkali dapat dimulai dengan meninjau ulang alasan adanya lembaga-lembaga negara. Misalnya, lembaga pendidikan-sekolah ada untuk mendidik, bukan berbisnis. DPR ada untuk mewakili rakyat, bukan untuk percaloan dan pemburuan suap. Pendayagunaan aparatur dan reformasi birokrasi hanya mungkin dimulai dengan peninjauan ulang ini.
Revitalisasi standar moral institusi-institusi negara tentu pekerjaan amat besar. Saya sadar sepenuhnya perubahan nyata selalu simpang siur, tidak seperti logika rapi di atas kertas. Perangkapnya juga berlaksa-laksa, serumit dan selicin gerak-gerik hasrat manusia. Maka, harapan pada suatu kementerian untuk menjadi penggerak proses ini mungkin juga terdengar kosong menganga.
Namun, jika mencari badan penggerak pun mustahil, mungkin yang tersisa tinggal napas perkabungan dan kerinduan menangkap angin untuk menyapu langit yang muram. Itu pertanda betapa kita kehabisan akal untuk melahirkan kembali Indonesia.

B Herry Priyono
Dosen Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Tahu dan Politik

Tahu dan Politik
tahu-tofuOleh Goenawan Mohamad
Parlemen yang terbaik sekalipun bisa seperti sebuah pabrik tahu. Ia berbau bacin.
Kita bayangkan pabrik tahu itu: dalam dapurnya beberapa onggok kedelai diinjak-injak dengan kaki telanjang (siapa tahu dengan tungkak yang berkudis), diinjak-injak agar lumat, kemudian dicampur dengan air yang kian lama kian mirip lendir. Tak mengherankan bila kata “tahu” berasal dari bahasa Cina, “toufu”, dan kata “fu” berarti “busuk”.
Tapi dari pabrik yang berbau busuk itu lahirlah beratus-ratus bentuk kubus yang kemudian menjadi tahu pong atau tahu sumedang. Dan kita menikmatinya.
Parlemen yang terbaik sekalipun seperti sebuah pabrik tahu. Ia adalah tempat lahirnya pelbagai undang-undang—dan setiap undang-undang pada dasarnya adalah pernyataan harapan bahwa hidup dapat dibuat lebih baik. Lihatlah hukum yang mengatur perawatan lingkungan atau hukum yang melindungi nasib buruh. Undang-undang adalah sebuah alat konstruktif. Tapi bagaimana ia diproses sampai lahir adalah suatu perkara yang tak selamanya cocok dengan selera kesucian para nabi.
Seorang wakil rakyat pernah berbisik: jika pada suatu hari kau datang, dari perpustakaan yang ruangnya bersih dan lampunya terang, dan kau masuk ke sebuah gedung parlemen untuk menyaksikan bagaimana undang-undang diproduksikan, kau bisa muak.
Kau akan melihat bahwa di sekitar sebuah rancangan undang-undang para anggota parlemen bukan cuma berdebat, tapi juga saling menyikut atau saling mengelus. Partai-partai yang dulu saling memaki pada saat yang dibutuhkan pada menjilat ludah sendiri. Para politisi tak lelah-lelahnya tawar-menawar posisi, dengan wajah pura-pura manis atau pura-pura galak—sebelum akhirnya sebuah rancangan undang-undang disahkan.
Parlemen yang terbaik sekalipun mirip sebuah kombinasi antara pabrik tahu dan teater. Proses yang bekerja di sana, seperti proses membuat tahu, tak berada dalam tabung yang steril. Tak ada yang 100 persen sudah jadi. Semua berkembang dari babak ke babak, melalui dialog dan permainan topeng. Usul untuk melahirkan aturan hukum, betapapun adilnya aturan itu, tak bisa di-imla-kan.
Di parlemen yang demokratis, tak ada hal yang bisa diputuskan sepihak. Kompromi senantiasa terjadi. Aku memberikan X kepadamu, kamu memberikan Y kepadaku. Tentu saja ada akal sehat dan rasa keadilan yang bekerja di sana, tapi juga kepentingan. Yang tak selamanya luhur.
Ada yang mengatakan—melihat parlemen yang mirip pabrik tahu itu—bahwa “politik itu kotor”. Tetapi sebuah catatan perlu ditambahkan di sini. Ada yang mengatakan “politik itu kotor” dengan rasa jijik kepada proses demokrasi, karena demokrasi memang bisa mirip seperti jual-beli, dan jual-beli adalah pekerjaan kasta saudagar yang di pasar itu, bukan kasta aristokrat.
Bukankah para politisi itu dipilih rakyat, dan sebab itu harus pintar memasarkan dirinya untuk memperoleh dukungan—termasuk harus bisa omong kosong bila para pemilihnya ingin dengar omong kosong? Tak mengherankan ketika orang suci mengambil alih kekuasaan, seperti Calvin di Jenewa pada abad ke-16 atau Ayatullah Khomeini di Iran pada abad ke-20, mereka menampik demokrasi.
Demokrasi adalah proses penawaran: “tawar” dalam arti hilangnya sesuatu yang 100 persen kental, dan “tawar” dalam arti mengutarakan kemungkinan lain.
Sebab itu, Machiavelli, yang mengatakan bahwa di wilayah publik orang “harus belajar bagaimana untuk tidak menjadi baik”, bisa dianggap sebagai pemikir politik demokrasi.
Ia mengucapkan itu, mungkin dengan sedikit cemooh dan provokasi, ketika apa yang dianggap “baik” telah diselewengkan oleh Gereja. Diselewengkan menjadi sesuatu yang mutlak. Padahal, baginya, yang mutlak tak termasuk dalam kehidupan orang ramai di dunia. Machiavelli tidak percaya kepada politik yang bergerak dengan iman yang teguh—yang melahirkan perang ideologi atau “politik batin” yang tegar. Ia melihat, dengan mata tajam realisme, bahwa di dunia orang ramai, yang suci murni tak pernah terjadi.
Di manakah yang dianggap “baik” jadinya? Tak perlukah nilai itu? Kita, yang baru beringsut-ingsut keluar dari periode yang penuh korupsi, kekerasan, dan kebohongan, akan berteriak, “Perlu! Perlu!” Dan memang perlu.
Tapi setiap rasa lapar mengaburkan batas antara kebutuhan dan maya—yang, seperti disebut dalam sebuah sajak Usmar Ismail, adalah “bayangan… waktu fajar mendatang”. Maya bergerak antara terang dan gelap, antara kelam dan harapan. Ia mudah jadi obsesi. Dan obsesi kita kini adalah untuk melihat proses politik sebagai proses pemurnian, bahkan sebuah proses kemurnian.
Tapi yang maya bisa menyesatkan. Jika kita butuh sesuatu yang “baik”, yang “baik” itu tentu merupakan bagian yang wajar dari dunia kita. Wajar berarti bermula dari asumsi bahwa ia bisa tersentuh oleh proses penawaran. Sebab, ketika yang “baik” dianggap tak bisa tawar dan ditawar, ia pun jadi kekerasan.
Bagi saya, sebuah parlemen yang diakui berbau bacin seperti pabrik tahu lebih baik ketimbang kekerasan macam itu. Toh pabrik tahu akhirnya melahirkan sesuatu yang murah, enak, dan tanpa kolesterol, sebagaimana parlemen melahirkan legislasi yang pasti, tapi tak menyumbat hidup manusia.
Dari Majalah Tempo di 1999.

Sabtu, 25 Juni 2011

Tuhan Menjamin Hidup Kita

Inspirasi Hari Ini

Tuhan Menjamin Hidup Kita

Ada seorang arsitek yang meninggalkan kehidupan kota. Ia merasa bosan dengan hingar bingar kota. Baginya, kehidupan kota sudah terkontaminasi. Ia menjual seluruh harta miliknya untuk membuat sebuah padepokan di kaki gunung. Di sana ia hidup damai dan tenteram bersama istri dan beberapa anaknya yang masih kecil.

Ia juga membuat beberapa padepokan yang bisa dipakai untuk penginapan. Banyak keluarga yang mendatangi padepokannya untuk menikmati istirahat di akhir pekan. Melihat suasana yang begitu damai dan tenang, banyak keluarga merasakan damai dan bahagia. Hasilnya adalah mereka menjadi semakin giat dalam bekerja. Suasana akhir pekan itu memotivasi mereka untuk bekerja dengan sungguh-sungguh.

Kepada para pengunjung, ia meminta mereka untuk menikmati apa yang disediakan oleh alam di sekitarnya. Ia menganjurkan agar mereka mau makan singkong atau umbi-umbian, makan dengan lauk ikan dari kolam yang ada di padepokan itu. Ia juga mengharapkan mereka mandi air dingin yang ada di sekitar situ.

Namun para pengunjung itu tidak begitu peduli dengan anjurannya. Mereka membawa sendiri makanan dari kota. Mereka membawa bekal makanan yang berlimpah. Arsitek itu berkata, “Anugerah alam sudah begitu banyak. Namun orang masih menjamin dirinya secara berlebihan. Itu kerakusan.”

Apa yang kita kejar dalam hidup ini? Kalau kita jujur, kita akan mengatakan bahwa yang kita kejar dalam hidup ini adalah kebahagiaan. Kita ingin hidup bahagia. Kita ingin memiliki keluarga yang bahagia. Pekerjaan yang kita miliki itu untuk kebahagiaan kita.

Namun banyak orang sering lupa akan tujuan hidup ini. Orang merasa bahwa harta yang banyak itulah jaminan bagi kebahagiaan hidupnya. Karena itu, orang berlomba-lomba mengumpulkan harta kekayaan. Kawan bisa jadi lawan, karena perebutan harta kekayaan. Bahkan antar saudara pun bisa terjadi permusuhan karena ingin menguasai harta kekayaan.

Kasih tadi mau mengungkapkan ketergantungan hidup manusia itu pada Tuhan yang menciptakan kita. Sebagai orang beriman, ketergantungan kita pada Tuhan mesti selalu menjadi hal utama dalam hidup ini. Penyerahan diri secara total kepada Tuhan akan membawa kita kepada kebahagiaan. Mengapa? Karena Tuhan itu sumber kebahagiaan sejati. Hanya Tuhan yang mampu memberikan kebahagiaan itu kepada kita. Hanya Dia semata yang dapat memelihara hidup kita. Tuhan menjamin hidup kita. Tuhan memberkati. **

 Atau bisa dibaca di http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/.
Jika Anda ingin mempublikasikan kembali tulisan ini di website atau blog Anda, mohon cantumkan link aktif menuju artikel yang bersangkutan termasuk semua link yang ada di dalam artikel tersebut, terima kasih


(c) Copyright 2010 Inspirasi Hari Ini. Designed by Blogger Templates
Supported by College Grants, Credit Card Debt, Free Government Grants

Selasa, 21 Juni 2011

Kota

Kota

Senin, 20 Juni 2011
Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah


— Bung Karno, 17 Agustus 1966


JAKARTA meninggalkan sejarah, terkadang sadar, terkadang tidak. Mungkin tiap kota demikian. Setidaknya tiap kota di mana revolusi datang dan revolusi pergi.


Weltevreden yang tenang dan berpohon-pohon, daerah yang disiapkan dengan selera orang-orang mapan (tevreden berarti ”puas”), gedung-gedung kekuasaan dengan tembok putih yang tinggi seperti tak akan terganggu oleh debu dan dera waktu—kita tahu semua itu kini tak tersisa dalam ingatan kolektif. Kita menemukan tilasnya secara kebetulan, atau dengan riset yang tak mudah: Batavia dalam gambar warna sepia.


Dan bukan hanya jejak abad ke-19 yang pudar. Atau terhapus. Jika kini kita lewat Tugu Proklamasi, kita sebenarnya melihat sesuatu yang bertaut tak langsung dengan sejarah. Rumah yang dulu di dekat sana, di jalan yang dulu bernama Pegangsaan Timur—rumah yang bernomor 56 tempat Bung Karno dan Fatmawati tinggal waktu itu—sudah tak ada lagi.


Bung Karno sendiri yang melenyapkannya. Di tempat itu ia ingin menandai sesuatu yang menengok ke masa depan, bukan ke masa lalu: 1 Januari 1961 ia, presiden di pucuk kekuasaan ”demokrasi terpimpin”, mengayunkan cangkul pertama untuk mendirikan sebuah tugu berbentuk bulatan tinggi dengan pucuk berlambang petir. Sekitar 50 meter di belakangnya didirikan sebuah gedung petak, gaya arsitektur modern. Dari sinilah akan dilaksanakan ”Pembangunan Nasional Semesta Berencana”.


Masa lalu pun tersisih. Pernah di tempat itu ada tugu peringatan yang didirikan sejumlah aktivis perempuan Jakarta pada 1946, untuk memperingati setahun kemerdekaan—ketika pasukan Sekutu masih menduduki kota dan suasana tegang. Tapi sejak setahun sebelum Bung Karno mengayunkan cangkul di sana, tugu itu sudah dihancurkan.


Baru pada 1968, sekitar dua tahun setelah ia tak berkuasa lagi, jejak sejarah itu ditangkap kembali. Sejumlah tokoh perempuan yang dulu aktif dalam persiapan proklamasi, terutama Yos Masdani, mendapat dukungan Gubernur Ali Sadikin untuk mendirikan kembali tugu tahun 1946 itu. Pada 1972, renovasi selesai. Tugu kembali hadir—meskipun tanpa rumah Bung Karno yang da­hulu.


Saya tak tahu persis mengapa Bung Karno menghapus petilasan yang penting itu. Mungkin karena tugu kecil itu dulu diresmikan Syahrir, penentangnya yang kemudian, di tahun 1962, dipenjarakannya: politik ingatan sering berlangsung bersama politik kekuasaan. Atau mungkin pula itu juga bagian dari keyakinan lazim seorang revolusioner. Di tahun 1930-an, seperti kita temukan dalam Dibawah Bendera Revolusi, ia menyerukan agar bangsa Indonesia menyambut ”zaman sekarang”. Apa yang disebutnya ”oude-cultuur-maniak”, kegilaan kepada kebudayaan lama, harus dicampakkan. Juga ”pikiran dan angan-angan” yang ”hanya merindui candi-candi, Negarakertagama, Empu Tantular dan Panuluh, dan lain-lain barang kuno”.


Revolusi punya cara sendiri dalam memandang waktu dan memilih lupa. Pada 1792 Revolusi Prancis menghapuskan monarki, institusi berabad-abad itu, dan menetapkan kalender baru yang dimulai dari ”tahun satu”. Ketika Khmer Merah merebut kekuasaan Kamboja pada 1975, tahun itu disebut ”Tahun Nol”. Tampaknya revolusi adalah ”instan” (l’instant) dalam gambaran Bachelard: menawarkan apa yang ”secara mutlak baru”. Tiap ”instan”, kata Bachelard, mewakili apa yang ab origo, murni asli.


Tentu ada yang berlebihan dalam pandangan ini. Sejarah berlangsung dalam waktu, dan waktu memang terdiri atas deretan ”instan”—tapi tiap ”instan” tak pernah berbatas mati dengan ”instan” lain. Yang memisahkan hanya membran yang dengan mudah tembus dan bergerak terus. Saya tetap menyukai baris-baris puisi T.S. Eliot, penyair yang mengikuti kuliah umum Bergson tentang waktu di Collège de France di awal abad ke-20:


Time present and time past


Are both perhaps present in time future,


And time future contained in time past.


Ingatan tak bisa dipilah-pilah. Ia bergerak, bersama waktu yang bagaikan arus sungai yang deras: tampak koheren dari luar, tapi sesungguhnya kelipatan yang beraneka, tak terbilang, saling menyusup, berbenturan, saling mengubah.


Tapi apa boleh buat: manusia perlu pegangan yang praktis dan jelas. Manusia perlu titik-titik perhentian, betapapun cuma dalam peta di pikirannya. Ia perlu mengambil jarak dari pengalaman, dari waktu—ya, agar bisa mengalahkan waktu.


Itulah yang diinginkan revolusi: menang atas masa lalu, menang atas masa depan.


Tapi bukan hanya revolusi yang berniat demikian. Aneh atau tak aneh, juga kapitalisme. Juga kekuasaan politik yang melupakan revolusi.


Maka Jakarta meninggalkan sejarah—baik karena Bung Karno (yang kemudian meminta kita agar tak meninggalkan sejarah) maupun masa pasca-Bung Karno: ketika masa lalu kalah laku di perdagangan ingatan. Dan tak cuma Jakarta.


Beijing juga. Kota itu kini seakan-akan punya ”tahun nol”-nya sendiri. Dalam The New York Review of Books terbaru, 23 Juni 2011, Ian Johnson mencatat perubahan Beijing dalam gairah kapitalisme. Tapi mania perubahan tak dimulai di situ. Johnson juga mengutip dari buku Wang Jun, Beijing Record, cerita tentang nasib tragis arsitek Liang Sicheng.


Sejak awal sejarah RRC Liang mencoba menyelamatkan Beijing dari transformasi besar menjadi kota ”sosialis”. Tapi ia kalah. Pada 1955 ia dituduh ”kanan” dan dipaksa mengaku dosa. Seandainya Liang masih hidup, ia kini akan dituduh ”kekiri-kirian”.


Di manakah sejarah? Tidak selalu di kiri atau di kanan. Kota, sosialisme, kapitalisme—semua bergegas.


Goenawan Mohamad

Senin, 20 Juni 2011

Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus

Minggu 26 Jun11
Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus (Yoh 6:51-58)

Rekan-rekan yang baik!
Pada hari raya Tubuh dan Darah Kristus tahun A ini dibacakan Yoh 6:51-58. Marilah sekadar kita tengok konteksnya. Dalam Yoh 6:25-58 Yesus memperkenalkan diri sebagai "roti kehidupan", yakni makanan yang memberi hidup. Pengajaran di rumah ibadat di Kapernaum ini mengingatkan pada pokok mengenai "air kehidupan" yang diutarakannya kepada perempuan Samaria (Yoh 4:1-42). Pembicaraan itu memperkaya batin perempuan tadi. Demikian juga, orang-orang Yahudi diajak semakin mengenali siapa Yesus itu sesungguhnya. Dalam bagian pertama pengajarannya, Yoh 6:25-50, Yesus membuat orang-orang itu menengok kepada pengalaman mereka sendiri sambil mendorong mereka agar maju lebih jauh dan mengerti siapa dia yang sudah datang di tengah-tengah mereka. Tetapi mereka tidak memahami dan malah berputar-putar pada gagasan mereka sendiri mengenai siapa Yesus itu. Pembaca akan dapat melihat kesulitan mereka. Dalam bagian kedua, yakni Yoh 6:51-58, Yesus mengajarkan bukan saja bagaimana mengenali dia, melainkan bagaimana menerima dia. Reaksi orang-orang Yahudi yang meragukannya itu dapat menjadi cermin bagi pembaca. Apakah kita lebih condong mengikuti cara berpikir mereka yang membuat mereka tidak memahami Yesus atau lebih terbuka kepada ajakannya.

"DAGING" DAN "DARAH"
Dalam Injil Yohanes, "daging" dipakai untuk membicarakan manusia sebagai makhluk yang memiliki keterbatasan, tetapi tanpa mengikutsertakan sisi-sisi jahat. Matius, Markus dan Lukas dan juga Paulus memakai kata "tubuh" dengan arti yang sama. (Boleh dicatat, dalam tulisan-tulisan Paulus, "daging" memiliki konotasi buruk, yakni manusia rapuh sejauh dikuasai dosa; untuk pengertian ini Yohanes memakai kata "dunia".) Dalam Pembukaan Injil Yohanes, dikatakan, Sang Sabda menjadi "daging" (Yoh 1:14), artinya Yang Ilahi itu mendatangi dunia dalam ujud manusia biasa, bahkan rapuh. Hanya dengan demikian ia dapat sungguh merasakan kuatnya kuasa yang jahat walaupun ia sendiri tidak kalah dan menjadi bagian dari kuasa itu. Ia menunjukkan bahwa manusia tidak seluruhnya dapat dikuasai yang jahat. Dengan demikian ia dapat menjadi tumpuan harapan orang banyak. Siapa saja yang kemudian mengikutinya dan bersatu dengan dia akan selamat dan mencapai hidup kekal.

Bagaimana dengan "darah"? Dalam cara bicara orang waktu itu, "darah" biasa dipakai untuk menyebut tempat nyawa. Di situlah letak kehidupan Dengan menyerahkan nyawanya - darahnya - bagi orang banyak, Yesus berbagi kehidupan dengan orang banyak pula.

Hidup Yesus berakhir pada kayu salib. Wafatnya menjadi kurban bagi penebusan orang banyak. "Daging" (kerapuhan manusia) dan "darah" (kehidupan) yang menjadi kenampakan Sabda Ilahi itu menjadi jalan penyelamatan. Bergabung dengannya berarti menempuh jalan itu. Inilah yang kemudian dibahasakan dengan siapa saja yang makan dagingnya akan mengambil bagian dalam hidup kekal. Tetapi orang-orang tidak menangkap dan saling mempertengkarkan bagaimana dia bisa memberikan dagingnya untuk dimakan (ay. 52).

Kesulitan memahami kata-kata Yesus itu disampaikan dan dijelaskan dalam petikan ini. Orang-orang sulit menerima pemberian Yesus yang sesungguhnya. Mereka ingin pemberian yang mereka maui, seperti roti atau makanan biasa yang diberikan Yesus kepada orang banyak (Yoh 6:1-14). Yesus sendiri berkata bahwa mereka mencari dia karena telah makan roti dan kenyang dan bukan karena mereka melihat dan mengerti tanda-tanda, termasuk tanda roti tadi (Yoh 6:26). Orang-orang itu tak memahami bahwa pemberian roti kepada orang banyak itu tanda bagi pemberian yang datang dari dalam diri Yesus sendiri, yakni pengorbanan diri bagi mereka. Kisah ini dapat membantu kita melihat kerugian memahami Yesus dari segi "kegunaan" belaka: mengenyangkan tapi kemudian akan lapar lagi, memuaskan keinginan mengalami mukjizat, tapi setelah itu keadaan akan menjadi biasa kembali.

ROTI KEHIDUPAN - EKARISTI
Apa yang hendak disampaikan Yesus? Bukan hanya roti yang mengenyangkan secara badaniah dan membuat orang melihat Yesus sebagai "nabi" (Yoh 6:14) yang patut diangkat menjadi pemimpin, bahkan raja (6:15). Yesus malah menghindari harapan seperti itu. Orang-orang Yahudi berpikir apakah Yesus itu Musa yang baru (bdk. Yoh 6:30-31) tokoh yang membuat orang menemukan makanan harian atau manna yang diberikan Tuhan sampai mereka memasuki Tanah Terjanji (Kel 16). Tetapi Yesus mengajak orang agar melihat bahwa yang memberi makanan dari langit itu ialah Bapanya. Lebih lanjut lagi, sekarang ini dirinyalah roti yang turun dari surga itu. Menerima dia, mempercayainya, akan membuat mereka mendapatkan roti yang memberi hidup (Yoh 6:32-40).

Orang-orang malah semakin tidak bisa melihat siapa Yesus itu. Mereka hanya bisa melihat dia sebagai anak Yusuf yang mereka kenal dari dulu (Yoh 6:42). Kepekaan batin mereka tidak berkembang. Mereka hanya mau memandanginya dengan ukuran-ukuran yang membuat mereka merasa aman: nabi, pemimpin tipe Musa, zaman kebesaran dulu, dan ketika ia mengajak mereka menengok ke arah yang lebih dalam, mereka malah berkata, lho, ini kan anak Pak Yusuf itu, mana bisa jadi pimpinan seperti kita gambarkan tadi? Kepada pembaca Injil Yohanes disodorkan ketidakpahaman orang-orang yang sudah sedemikian dekat dengan sang roti kehidupan itu sendiri. Apakah kita seperti mereka?

WARTA Yoh 6:51-58 BAGI GEREJAa
Yohanes memakai pengertian "daging" (dan bukan "tubuh" seperti Injil Sinoptik dan Paulus) untuk lebih membuat kita mengerti kesamaan antara Yesus yang sedang berbicara itu dengan yang diwartakan pada awal Injil: "Dan sang Sabda itu telah menjadi manusia, harfiahnya "daging", dan tinggal di antara kita..." (Yoh 1:14). Gereja sebagai komunitas orang beriman percaya bahwa Yesus itu ada di tengah-tengah mereka dan menghayatinya dalam bentuk ekaristi.

Yesus itu pemberian dari surga yang membawakan hidup ke dunia. Dan pemberian ini lebih luas kehidupan biasa yang beriramakan lapar, kenyang, lapar lagi, melainkan yang membawa ke kehidupan yang tak lagi dibawahkan pada perputaran itu. Bagaimana kenyataannya, tidak dikatakan dengan jelas, dan justru sulit diperkatakan. Hanya dapat dipahami dengan menghayatinya. Inilah cara berbagi hidup kekal dengannya seperti terungkap dalam Yoh 6:51 dan 58. Iman akan ekaristi menjadi cara Gereja menerima kebenaran warta Yesus itu. Sikap orang beriman berkebalikan dengan sikap mereka yang mempertanyakan bagaimana itu mungkin (ay. 52).

Mereka yang mengikuti Yesus dihimbau agar terus berusaha memberi isi nyata pada apa itu berbagi kehidupan surgawi, apa itu mengarah ke hidup kekal, menemukan roti kehidupan yang sesungguhnya di dalam hidup sehari-hari. Ini iman yang mengangkat kesehari-harian menjadi yang makin dekat ke kehadiran ilahi. Ada ajakan untuk mengusahakan agar kenyataan rohani itu berdampak pada kenyataan sehari-hari juga. Tidak disangkal adanya ketimpangan di kalangan pengikut Yesus sendiri. Ini kelemahan mereka. Tapi justru dengan menyadari sisi-sisi yang manusiawi itu orang beriman semakin dapat berharap bersatu dengan kurban persembahan Yesus sendiri. Itulah makna pernyataan "siapa yang makan dagingnya dan minum darahnya akan tinggal dalam aku dan aku dalam dia" (Yoh 6:56). Dan kurban bersama ini menyelamatkan dunia. Dalam arti ini ekaristi ialah bentuk nyata ikut serta dalam kurban penebusan tadi.

EKARISTI DAN HIDUP SEHARI-HARI
Apakah menyambut komuni sama dengan kepercayaan itu? Kalau begitu kok orang tidak jadi makin baik. Di lingkungan keagamaan mungkin semuanya baik-baik, tapi di luar di dalam hidup sehari-hari tingkah lakunya lain. Kenyataan ini memang sering kita lihat. Namun demikian, acap kali kita terlalu memandang ekaristi sebagai obat kuat rohani atau jamu kelakuan baik. Pandangan seperti itu malah menjauhkan kita dari nilai ekaristi yang sesungguhnya Mengapa? Ekaristi itu sakramen yang menghadirkan kenyataan rohani dalam diri kita. Tetapi kehadiran ini perlu diberi ruang dalam kehidupan sehari-hari pula. Lalu, bila begitu apa bedanya dengan orang yang tidak kenal akan ekaristi tapi toh berbuat baik dalam kehidupan sehari-hari. Tidak bisa kita hadapkan dua perkara ini begitu saja. Tiap orang dapat berlaku baik, dengan atau tanpa ekaristi. Dan memang manusia memiliki bakat berbuat baik. Tapi orang yang percaya akan kekuatan ekaristi akan semakin melihat dan mengakui bahwa kemampuan berbuat baik serta keberanian untuk menjadi makin manusiawi dan makin lurus itu datang dari atas sana. Bukan dari kekuatan manusiawi sendiri. Bagi orang yang percaya, kemampuan berbuat baik itu anugerah ilahi. Dan anugerah inilah yang ditandai dengan ekaristi. Dalam arti inilah ekaristi membuat kita semakin dekat dengan kehidupan Yang Ilahi sendiri.

Salam hangat,
A. Gianto

Tritunggal Mahakudus

Minggu 19 Jun 2011:
Tritunggal Mahakudus
20 Juni 2011 07:39
HARI RAYA TRITUNGGAL MAHAKUDUS
Bacaan Injil tahun A bagi Hari Raya Tritunggal Mahakudus ialah Yoh 3:16-18. Diungkapkan dalam ay. 16, "Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup kekal." Kesediaan Putra diutus ke dunia membuat semua ini, yakni keselamatan serta hidup kekal, bisa dipercaya terjadi. Dalam kata-kata Injil hari ini (ay. 17-18) "Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan supaya dunia diselamatkan melalui Dia. Siapa saja yang percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; siapa yang tidak akan dihukum; siapa saja yang tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah."
Akan disinggung dalam bagian akhir ulasan ini kaitan dengan bacaan pertama, Kel 34:4b-6.8-9, yang menekankan bahwa "Tuhan itu Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasihNya dan setiaNya" (ay. 6).
TRITUNGGAL YANG MAHAKUDUS
Kesaksian yang terhimpun dalam ayat-ayat itu dapat membantu kaum beriman menyelami iman akan Tritunggal Mahakudus. Dahulu orang memandang dunia ini sebagai drama yang dilakonkan oleh Allah sendiri. Di dalam drama ini ada tiga pemeran. Allah Bapa berperan sebagai "pengasal" tindakan penyelamatan, Allah Putra sebagai "pelaksana"-nya, sedangkan Allah Roh Kudus "melanjutkannya". Ketiga pelaku ini menjalankan peran yang berbeda-beda tapi dengan maksud dan tujuan yang sama, yakni penyelamatan dunia beserta isinya. Pelaku dalam lakon disebut "prosoopon" (Yunani) atau "persona" (Latin) yang diindonesiakan sebagai "pribadi". Arti harfiah kata Yunani dan Latin ialah gambar wajah atau topeng yang dikenakan pelaku sehingga para hadirin langsung menangkap peran mana sedang dijalankan. Cara berungkap dengan bahasa lakon seperti ini dulu mudah menghimbau perhatian orang banyak dan oleh karenanya dipakai untuk menjelaskan karya penyelamatan. Jalan pemikirannya demikian: karya penyelamatan itu berasal dari Bapa dan dilaksanakan oleh Putra yang diutus ke dunia, dan kemudian dijaga keberlangsungannya oleh Roh Kudus. Demikianlah disadari iman mengenai Tritunggal dalam hubungan dengan karya penyelamatan. Di situ dijelaskan inti keilahian pula. Kesatuan antara ketiga pribadi itu sedemikian mendalam sehingga keesaan Allah tidak berubah. Bapa, Putra dan Roh Kudus ialah tiga pribadi dari Allah yang satu.
Masih samakah makna iman akan Tritunggal itu bagi kita dalam masyarakat dewasa ini? Ya. Mereka dulu berusaha semakin mengenali karya penyelamatan di dalam macam-macam keadaan. Begitu pula kita. Yang beraneka ragam ujudnya ialah peluang nyata serta ungkapan untuk ikut serta membangun dunia yang baru, dunia yang bisa dikatakan "semakin diselamatkan" Allah. Percaya bahwa ada karya penyelamatan sendiri sebetulnya sudah dapat menjadi bentuk keikutsertaan dalam karya ilahi itu. Mengimani Tritunggal bukan hanya mengucapkan "aku percaya", tapi juga ikut serta membangun dunia yang makin layak dan menjaganya agar tidak merosot. Itulah arti "selamat" dalam bahasa yang dimengerti orang sekarang. Pemahaman ini dapat membuat iman semakin hidup.
HIDUP KEKAL
Ketiga ayat yang dibacakan hari ini ialah kelanjutan pembicaraan Nikodemus, seorang ulama Yahudi, dengan Yesus (Yoh 3:1-15). Nikodemus percaya bahwa Yesus itu utusan Allah sendiri dan ingin mengenalnya lebih dalam. Yesus membantunya. Perhatian Nikodemus diarahkannya pada warta yang sejak awal disampaikannya kepada orang banyak, yakni Kerajaan Allah sudah datang di dunia dan orang diajak bersiap ikut serta di dalamnya. Kepada Nikodemus diterangkan, syarat untuk ikut serta di dalam Kerajaan Allah ialah dilahirkan kembali dalam air dan Roh. Maksudnya, dibaptis menjadi pengikut Yesus dan membiarkan diri dibawa oleh kekuatan-kekuatan ilahi sendiri - yakni Roh. Dialah yang bakal menuntun ke Kerajaan Allah. Dengan demikian pelbagai kepastian yang hingga kini dipegang erat-erat juga tidak terasa mengikat lagi. Karena Nikodemus tidak segera menangkap, Yesus menjelaskan hal ini dengan cara yang lebih mudah dipahami, dengan merujuk pada keinginan mencapai hidup kekal. Siapa saja yang memandangi yang datang dari atas sana, yakni Anak Manusia, dan percaya kepadanya akan mendapat hidup kekal. Tentu saja Nikodemus mengerti bahwa Anak Manusia ini ialah Yesus sendiri yang sudah dipercayanya sebagai utusan yang datang dari Allah sendiri. Namun masih satu langkah penting lagi: memulai hidup baru di dalam Kerajaan Allah. Itulah pokok pembicaraan dengan Nikodemus yang mendahului petikan yang dibacakan hari ini, yakni ay. 16-18.
Pembaca yang mengikuti pembicaraan tadi akan bertanya, apakah Kerajaan Allah yang diutarakan pada awal pembicaraan dengan Nikodemus tadi, ay. 3 dan 5, sama dengan kehidupan kekal yang disebut dalam ay. 15 dan 16? Yohanes memang bermaksud mengajak pembaca memikirkan pertanyaan itu. Bagi banyak orang "kehidupan kekal" itu gagasan yang langsung memberi isi pada paham keselamatan. Setiap orang mendambakannya. Tapi "Kerajaan Allah"? Hanya dikenal di antara para pengikut Yesus! Di luar itu boleh jadi hanya kalangan murid Yohanes Pembaptis sajalah yang pernah mendengarnya. Yesus mengajak orang bersiap-siap menyongsong Kerajaan Allah yang telah datang. Bagi pengikut-pengikutnya, keinginan yang terdalam tidak berhenti pada gagasan "keselamatan = hidup kekal", melainkan lebih jauh dan terarah pada "keselamatan = ikutserta dalam Kerajaan Allah" bersama dengan Dia yang mengajarkan mengenai Kerajaan ini.
Hidup kekal dapat dititi dengan hidup beragama dan menjalankan ajaran agama dengan baik. Tetapi untuk mencapai kesempurnaan dalam arti masuk ke Kerajaan Allah, perlu ada bimbingan Roh. Begitulah, untuk mendapatkan hidup kekal, Nikodemus sendiri sudah tahu jalannya - sudah diajarkan Musa. Namun, untuk memasuki Kerajaan Allah, dibutuhkan penyerahan diri dan bimbingan Roh.
Pembicaraan dengan Nikodemus itu dapat menjadi cermin untuk mengamati diri: masih mengarah ke yang biasa, yakni "hidup kekal", atau sudah mulai terbuka ke kesempurnaan dalam "Kerajaan Allah"? Yesus sang utusan ilahi memahami keterbatasan wawasan manusia yang sebijak dan sesaleh apapun - Nikodemus itu ulama besar!. Namun ia tetap mengajak melihat ke arah yang lebih sempurna, yakni memasuki Kerajaan Allah. Bagian Injil yang dibacakan hari ini sebetulnya berbicara mengenai keterbukaan pada kehidupan kekal sebagai jalan masuk untuk ikut serta di dalam Kerajaan Allah.
MEMAHAMI KERAHIMAN ILAHI
Dalam bacaan pertama Kel 34:4b-6.8-9 dikisahkan bagaimana Musa memahat dua loh batu untuk menuliskan kembali hukum-hukum yang tadinya termaktub dalam dua loh pertama yang dipecahkan Musa karena melihat umat menari-nari dan menyembah lembu emas (Kel 32:19-20). Pembaruan hukum ini memperlihatkan kebesaran Tuhan, seperti disebutkan dalam Kel 34:6, "Tuhan itu Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasihNya dan setiaNya". Inilah yang kemudian menjadi dasar dari hukum agama dalam umat Perjanjian Lama selanjutnya. Tidak lagi ditekankan ancaman hukuman turun-temurun bagi mereka yang tidak setia dan menolaknya seperti dalam Kel 20:5 yang mengawali hukum-hukum yang disampaikan sebelum umat menjalankan tindakan penyembahan lembu emas. Ketika umat memang melakukan dosa, memang mereka terhukum. Namun justru dalam keadaan itu Yang Mahakuasa menunjukkan belaskasihanNya yang besar. Ancaman hukuman tidak langsung berlaku. Malah diberikan kesempatan untuk kembali. Inilah kebesaranNya.
Agama menunjukkan jalan mencapai "keselamatan" sehingga orang menemukan arti hidup dalam macam-macam keadaan, baik menyenangkan atau menyedihkan. Agama dan iman membuat orang menemukan diri sebagai makhluk di hadapan Yang Ilahi. Dalam pewartaan Yesus, masih ada kelanjutannya, yakni memasuki Kerajaan Allah. Di situ orang belajar mengenali Allah Pencipta sebagai "Bapa", sebagai yang dekat, sebagai yang menghendaki yang terbaik. Dan yang mengajarkannya ialah Putranya sendiri.
Bagi orang Yahudi pada waktu itu, ajaran ini mengejutkan. Mana bisa manusia membayangkan diri diperanakkan Allah! Dan memang inilah kendala warta Yesus. Ia disingkirkan oleh pemuka-pemuka agama Yahudi karena mengajarkan Allah itu Bapa, dan mengakui diri sebagai yang mengenalNya dari dekat. Bagi orang-orang saleh waktu itu semua ini terdengar sebagai hujatan dan pelecehan. Tetapi memang itulah warta Yesus. Ia menawarkan citra yang baru dari Allah. Yang Mahakuasa bisa didekati. Berada di dekatNya berarti ikutserta dalam KerajaanNya.
Para murid Yesus yang pertama ialah orang-orang yang berminat akan warta ini walau belum sepenuhnya mengerti. Baru nanti setelah semuanya terpenuhi, yakni setelah Allah yang dipanggil Bapa oleh Yesus itu membangkitkannya dan memberinya hidup baru, gagasan bahwa Allah ialah Bapa yang Maharahim baru menjadi nyata bagi mereka. Yesus berani mengorbankan diri demi warta ini. Ia mempertaruhkan diri. Dan dia benar. Bapanya menerima dan menunjukkan diri kepada orang banyak bahwa Ia memang seperti yang diajarkan Yesus. Dalam arti inilah Yesus memperkenalkan kerahiman Allah dengan cara yang paling meyakinkan.
Perhatian dan kerahiman Allah memberi wajah baru kepada dunia. Yang bersedia menerima kerahiman ini akan berjalan menuju ke terang, ke ciptaan baru. Para pengikut Yesus dipanggil ke arah hidup kekal dan lebih jauh lagi, untuk menjadi orang-orang merdeka dari kekuatan yang mengekang, dari rasa waswas dan terancam. Kekuatan yang mengekang itu bukan saja dari alam gaib, melainkan amat nyata: ketakadilan, kebodohan, kemiskinan, perkosaan hak-hak azasi, kekerasan. Sebutkan saja kebalikan masing-masing dan di situ akan terlihat apa arti kemerdekaan hidup dalam Kerajaan Allah. Dan orang beriman diajak ikut serta ke sana.
Salam hangat,
A. Gianto