Keluargaku

Keluargaku

Selasa, 28 Juni 2011

Tahu dan Politik

Tahu dan Politik
tahu-tofuOleh Goenawan Mohamad
Parlemen yang terbaik sekalipun bisa seperti sebuah pabrik tahu. Ia berbau bacin.
Kita bayangkan pabrik tahu itu: dalam dapurnya beberapa onggok kedelai diinjak-injak dengan kaki telanjang (siapa tahu dengan tungkak yang berkudis), diinjak-injak agar lumat, kemudian dicampur dengan air yang kian lama kian mirip lendir. Tak mengherankan bila kata “tahu” berasal dari bahasa Cina, “toufu”, dan kata “fu” berarti “busuk”.
Tapi dari pabrik yang berbau busuk itu lahirlah beratus-ratus bentuk kubus yang kemudian menjadi tahu pong atau tahu sumedang. Dan kita menikmatinya.
Parlemen yang terbaik sekalipun seperti sebuah pabrik tahu. Ia adalah tempat lahirnya pelbagai undang-undang—dan setiap undang-undang pada dasarnya adalah pernyataan harapan bahwa hidup dapat dibuat lebih baik. Lihatlah hukum yang mengatur perawatan lingkungan atau hukum yang melindungi nasib buruh. Undang-undang adalah sebuah alat konstruktif. Tapi bagaimana ia diproses sampai lahir adalah suatu perkara yang tak selamanya cocok dengan selera kesucian para nabi.
Seorang wakil rakyat pernah berbisik: jika pada suatu hari kau datang, dari perpustakaan yang ruangnya bersih dan lampunya terang, dan kau masuk ke sebuah gedung parlemen untuk menyaksikan bagaimana undang-undang diproduksikan, kau bisa muak.
Kau akan melihat bahwa di sekitar sebuah rancangan undang-undang para anggota parlemen bukan cuma berdebat, tapi juga saling menyikut atau saling mengelus. Partai-partai yang dulu saling memaki pada saat yang dibutuhkan pada menjilat ludah sendiri. Para politisi tak lelah-lelahnya tawar-menawar posisi, dengan wajah pura-pura manis atau pura-pura galak—sebelum akhirnya sebuah rancangan undang-undang disahkan.
Parlemen yang terbaik sekalipun mirip sebuah kombinasi antara pabrik tahu dan teater. Proses yang bekerja di sana, seperti proses membuat tahu, tak berada dalam tabung yang steril. Tak ada yang 100 persen sudah jadi. Semua berkembang dari babak ke babak, melalui dialog dan permainan topeng. Usul untuk melahirkan aturan hukum, betapapun adilnya aturan itu, tak bisa di-imla-kan.
Di parlemen yang demokratis, tak ada hal yang bisa diputuskan sepihak. Kompromi senantiasa terjadi. Aku memberikan X kepadamu, kamu memberikan Y kepadaku. Tentu saja ada akal sehat dan rasa keadilan yang bekerja di sana, tapi juga kepentingan. Yang tak selamanya luhur.
Ada yang mengatakan—melihat parlemen yang mirip pabrik tahu itu—bahwa “politik itu kotor”. Tetapi sebuah catatan perlu ditambahkan di sini. Ada yang mengatakan “politik itu kotor” dengan rasa jijik kepada proses demokrasi, karena demokrasi memang bisa mirip seperti jual-beli, dan jual-beli adalah pekerjaan kasta saudagar yang di pasar itu, bukan kasta aristokrat.
Bukankah para politisi itu dipilih rakyat, dan sebab itu harus pintar memasarkan dirinya untuk memperoleh dukungan—termasuk harus bisa omong kosong bila para pemilihnya ingin dengar omong kosong? Tak mengherankan ketika orang suci mengambil alih kekuasaan, seperti Calvin di Jenewa pada abad ke-16 atau Ayatullah Khomeini di Iran pada abad ke-20, mereka menampik demokrasi.
Demokrasi adalah proses penawaran: “tawar” dalam arti hilangnya sesuatu yang 100 persen kental, dan “tawar” dalam arti mengutarakan kemungkinan lain.
Sebab itu, Machiavelli, yang mengatakan bahwa di wilayah publik orang “harus belajar bagaimana untuk tidak menjadi baik”, bisa dianggap sebagai pemikir politik demokrasi.
Ia mengucapkan itu, mungkin dengan sedikit cemooh dan provokasi, ketika apa yang dianggap “baik” telah diselewengkan oleh Gereja. Diselewengkan menjadi sesuatu yang mutlak. Padahal, baginya, yang mutlak tak termasuk dalam kehidupan orang ramai di dunia. Machiavelli tidak percaya kepada politik yang bergerak dengan iman yang teguh—yang melahirkan perang ideologi atau “politik batin” yang tegar. Ia melihat, dengan mata tajam realisme, bahwa di dunia orang ramai, yang suci murni tak pernah terjadi.
Di manakah yang dianggap “baik” jadinya? Tak perlukah nilai itu? Kita, yang baru beringsut-ingsut keluar dari periode yang penuh korupsi, kekerasan, dan kebohongan, akan berteriak, “Perlu! Perlu!” Dan memang perlu.
Tapi setiap rasa lapar mengaburkan batas antara kebutuhan dan maya—yang, seperti disebut dalam sebuah sajak Usmar Ismail, adalah “bayangan… waktu fajar mendatang”. Maya bergerak antara terang dan gelap, antara kelam dan harapan. Ia mudah jadi obsesi. Dan obsesi kita kini adalah untuk melihat proses politik sebagai proses pemurnian, bahkan sebuah proses kemurnian.
Tapi yang maya bisa menyesatkan. Jika kita butuh sesuatu yang “baik”, yang “baik” itu tentu merupakan bagian yang wajar dari dunia kita. Wajar berarti bermula dari asumsi bahwa ia bisa tersentuh oleh proses penawaran. Sebab, ketika yang “baik” dianggap tak bisa tawar dan ditawar, ia pun jadi kekerasan.
Bagi saya, sebuah parlemen yang diakui berbau bacin seperti pabrik tahu lebih baik ketimbang kekerasan macam itu. Toh pabrik tahu akhirnya melahirkan sesuatu yang murah, enak, dan tanpa kolesterol, sebagaimana parlemen melahirkan legislasi yang pasti, tapi tak menyumbat hidup manusia.
Dari Majalah Tempo di 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar