Keluargaku

Keluargaku

Selasa, 07 Juni 2011

An + Archos

An + Archos

Senin, 06 Juni 2011
Dalam bentuknya yang paling brutal sekalipun, politik mengandung sebuah salam. Selalu ada orang lain yang disambut atau dijawab. Kekuasaan selamanya menuntut hadirnya ”sahaya”.

Satu bagian dari Pangeran Kecil Antoine de St. Exupery: Sang pangeran berjalan-jalan ke beberapa asteroid di sekitar tempat asalnya. Syahdan, ia berjumpa dengan seorang raja. Orang itu hidup sendirian di benda angkasa yang kecil itu, duduk kesepian di sebuah takhta. Melihat seseorang datang, ia berseru senang: ”Ah, itu dia. Seorang sahaya!”

Sang raja butuh orang yang bisa diperintahnya. Kebutuhan itu begitu besar hingga ia bersedia mengubah titah: jika orang yang ia perintahkan agar tak menguap ternyata tak patuh dan tetap menguap, baginda akan mengganti komandonya dengan ”menguaplah!” Yang penting bukanlah patuhnya orang lain, melainkan pengakuan bahwa dialah sumber perintah.

Dari kisah itu kita juga tahu: si ”sahaya” yang diperlukan itu akhirnya jadi ”saya”: yang semula direndahkan, sujet sebagai rakyat, jadi sujet sebagai manusia yang punya otoritas sendiri. Kekuasaan harus bernegosiasi dengan ”saya”. Belajar dari sejarah, Hegel pernah menunjukkan, dalam hubungan antara majikan dan budak, pada gilirannya sang majikan akan bergantung kepada si budak. Sejarah politik sebenarnya sejarah manusia yang tegang, mengandung sengketa, tapi juga mengandung keinginan akan sesama.

Di sela-sela itulah saat ”ethis” dalam politik: ketika orang lain dijangkau, bahkan disambut dengan terbuka dan murah hati. Zoon politicon berarti ”hewan sosial” dan ”hewan politik” sekaligus, sebab bangunan sosial selalu mengandung yang politik: persaingan, konflik, kuasa-menguasai. Begitu juga proses politik tak akan terlepas dari yang sosial, di mana konflik tak sepenuhnya hadir dalam kehidupan.

Dikatakan secara lain, saat ”ethis” adalah saat ketika manusia mengusahakan hidupnya hubungan tanpa antagonisme, tanpa kuasa-menguasai. Ketika Marx membayangkan masyarakat komunis, yang diharapkannya adalah sebuah hubungan antarmanusia tanpa perang kelas, di mana Negara—yang diartikannya sebagai instrumen pemaksaan—praktis tak diperlukan lagi. Dengan kata lain, saat ”ethis” dalam politik adalah saat yang memperjuangkan hidup yang egaliter. Dalam bentuknya yang radikal, itulah saat yang merindukan anarki. Tentu saja ”anarki” dari pengertiannya yang awal: an (tanpa) dan archos (penguasa).

Tapi politik sebagai perjuangan ke arah an + archos selamanya menantikan yang berharga dan sekaligus mustahil.

Kita ingat 1966: Mao Zedong memulai ”Revolusi Kebudayaan”. Juli tahun itu, ia kerahkan para mahasiswa yang kemudian disebut ”Pengawal Merah” buat menghantam Partai Komunis Cina yang berkuasa. ”Berontak itu sah!” katanya.

Banyak penjelasan kenapa Mao, yang memenangi revolusi pada 1949 dengan menggunakan mesin Partai yang efektif itu, akhirnya menampik apa yang dulu dibangunnya. Tapi satu hal agaknya diakui: dukungan yang luas dan fanatik dari para pemuda terhadap ”Revolusi Kebudayaan” tumbuh dari persepsi bahwa Partai, semenjak menguasai Cina, telah jadi sarana yang korup. Para pengagum Mao mencatatnya sebagai pelopor sebuah perjuangan egaliter yang anti-Partai. ”Revolusi Kebudayaan” dilihat sebagai aksi yang memisahkan Partai dari politik revolusioner. Partai adalah kutukan sejarah. Perjuangan melepaskan diri dari kutukan itulah kemudian jadi cita-cita orang seperti Alain Badiou dan barangkali juga sejumlah orang di Indonesia kini, ketika demokrasi parlementer mengecewakan.

Tapi akhirnya ”Revolusi Kebudayaan” berhenti. Mao takut Cina kacau-balau, sebab bentrokan bukan lagi hanya antara ”Pengawal Merah” dan aparat Partai, tapi juga buruh. Ekonomi terancam, terutama di kota-kota. April 1969, ”Revolusi Kebudayaan” dinyatakan berakhir. Ironis, bahwa keputusan itu diambil dan disahkan oleh Sidang Ke-9 Partai. Sampai hari ini, Partai Komunis Cina—di bawah para pemimpin pasca-Mao—tetap berkuasa. Semangat ”Revolusi Kebudayaan” yang merayakan an + archos telah dibuang ke keranjang sampah sejarah.

Saat ”ethis” dalam politik memang tak bisa selalu bertahan. Setelah gelora revolusi yang memberontak, Partai dan Negara segera diterima—kalaupun bukan bentuk yang ideal, setidaknya sebagai hal buruk yang tak dapat dielakkan.

Apalagi kini.

Kini, kapitalisme bergerak sekaligus ke dua arah yang paradoksal. Di satu pihak, selalu ke arah akumulasi dan tegaknya tata yang normal yang menjaga kelangsungan akumulasi kekuasaan itu. Di lain pihak, berlangsung apa yang dikatakan Brian Massumi: kapitalisme justru mendorong kendurnya ”normalitas” dengan menciptakan perbedaan yang tak henti-hentinya, karena pasar semakin mudah jenuh. Di tengah kapitalisme seperti itu, Partai dan Negara semakin jadi an evil necessity.

Tampaknya, dari waktu ke waktu, manusia butuh tegaknya Sang Penjaga Makna. Tapi pada saat yang sama, Makna bisa menjepit, dan dorongan untuk mengatakan bahwa ”Berontak itu sah” akan selalu terbit. Sejarah berulang dalam pengertian itu: pengulangan yang sebenarnya menciptakan yang baru kembali. Dulu budak-budak memberontak dengan pimpinan Spartakus, seratus tahun sebelum Masehi. Berabad-abad kemudian para ”Spartakis” seperti Rosa Luxemburg membangkang kekuatan borjuasi abad ke-20.

Ada semacam roh yang tampaknya tak akan berhenti di satu titik yang aktual. Dalam bentuknya yang cacat sekalipun, berulang kali politik membuka kemungkinan untuk sebuah saat ”ethis”—untuk sebuah salam.


Goenawan Mohamad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar