INJIL MINGGU BIASA V/A 9 Feb
14 (Mat 5:13-16)
Rekan-rekan yang baik!
Dalam bacaan Injil Minggu V tahun A kali ini, Mat
5:13-16, ditegaskan bahwa para murid adalah “garam” dan “terang” bagi dunia.
Pernyataan ini kerap mendorong agar orang berusaha sekuat tenaga menggarami
dunia serta meneranginya. Dunia ini seakan-akan tempat yang hambar dan gelap
belaka dan karena itu perlu diselamatkan. Itukah yang hendak diajarkan kepada
para murid? Injil sebenarnya mengajarkan hal lain, yakni agar para murid tidak
membiarkan diri luntur identitasnya dan bakal didiamkan orang. Bagaimana
penjelasannya? Marilah kita ikuti pembicaraan mengenai garam dan terang sebelum
memasuki teks Injil.
TENTANG GARAM
CHRIS: Kita ini sering berpanjang-panjang bicara
tentang garam dan terang, bagaimana sih menerapkannya bagi orang sekarang,
lebih-lebih bagi umat paroki sini.
GUS: Romo, di paroki sini atau di Vatikan garam
sama-sama mengurangi rasa hambar. Omong-omong, ini nih Paulus bilang kepada
umat Kolose (Kol 4:5-6): “Hiduplah dengan penuh hikmat terhadap orang-orang
luar, pergunakanlah waktu yang ada. Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh
kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu bagaimana kamu harus memberi jawab
kepada setiap orang.” Latinnya ayat 6 gurih rasanya: “Sermo vester semper in
gratia sale sit conditus....”
CHRIS: Jadi bagi Paulus kata-kata yang bijak penuh
kasih itu seperti makanan yang gurih diresapi garam!
GUS: Nah, tidak berputar-putar kan? Paulus menolong
kita mengerti bahwa garam itu membuat orang bisa membawakan diri. Maklum orang
perlu bergaul dengan “orang-orang luar”, bukan hanya kalangan sendiri. Kolose
itu pusat perdagangan dan industri wol zaman itu, kayak daerah industri
Tangerang dan Bekasi yang menyerap tenaga kerja dari mana-mana. Para manajer di
Kolose banyak yang sudah jadi umat; mereka itulah yang disurati Paulus.
CHRIS: Apa hidup sebagai terang dunia juga bisa
dipandang dengan cara itu?
GUS: Terang menyingkirkan gelap, membuat pikiran bisa
memilah-milah, membuat orang ber-discernment, tahu jalan yang benar, menjauhi
cara-cara yang asal saja.
CHRIS: Jadinya ingat Kol 1:12. Paulus bersyukur dengan
penuh sukacita kepada Bapa yang telah membuat kaum beriman di Kolose layak
mendapat bagian di dalam kehidupan “orang-orang kudus dalam terang”. Jadi hidup
dalam kekudusan walau masih berpijak di bumi.
GUS: Pikirannya begini. Para murid sudah dilepaskan
dari kuasa kegelapan – seperti dimaksud Paulus dalam ayat berikutnya. Mereka
hidup dalam alam yang sudah dibuka oleh Yesus.
CHRIS: Maksudnya merdeka dari kekuatan-kekuatan yang
mengungkung, meski masih di dunia ini? Dan kita musti kreatif, tidak hambar dan
kabur?
GUS: Akur!
MENYIMAK Mat 5:13-16
Murid-murid disebut “Kamulah garam dunia...!” (ay.
13a). Bukannya diserukan agar mereka “menjadi” garam. Yang dimaksud ialah agar
mereka tetap sebagai garam. Perkaranya, bagaimana bila dayanya hilang dan jadi
hambar (ay. 13b)? Ini terjadi bila murid kehilangan identitasnya. Garam yang
hambar tak berguna, bakal dibuang, diinjak-injak (ay. 13c). Murid yang tak bisa
ikut membuat dunia ini makin awet dan enak didiami dengan sendirinya tidak
menyumbang banyak. Sayang!
Para murid juga dibaratkan sebagai “terang dunia” (ay.
14a). Menyusul dua contoh. Pertama, kota di atas gunung tentu saja terlihat
dari mana-mana (ay. 14b). Murid-murid tak bisa menutup-nutupi diri, tak bisa
bersembunyi. Cara hidup mereka pasti terlihat, tak peduli apakah orang akan
mendatanginya sebagai tempat berlindung atau malah sebagai sasaran kedengkian.
Bagaimanapun juga, yang melihatnya tidak bakal hanya mendiamkannya. Contoh
selanjutnya makin jelas. Lampu menerangi seluruh ruang karena memang dipasang
di atas, tidak ditutup dengan tempayan (ay. 15). Para murid memang ada di
tempat yang memungkinkan mereka menerangi seluruh ruang. Hidup sebagai murid
bukan urusan kesempurnaan pribadi, melainkan hidup menerangi lingkungan. Lebih
tajam lagi ay. 16. Mereka hendaknya bersinar bagi semua orang sehingga
perbuatan baik mereka dilihat dan orang-orang akan “memuliakan Bapamu yang ada
di surga”.
PENGAJARAN DI BUKIT
Bacaan dari Mat 5:13-17 diangkat dari kumpulan ajaran
Yesus yang pertama dalam Injil Matius, yaitu Mat 5-7. (Ada empat kumpulan lain,
yakni Mat 10; 13; 18; 24-25.) Pada awal kumpulan pertama disebutkan, ketika
melihat orang banyak, Yesus naik ke sebuah bukit dan mulai mengajar para murid
yang datang kepadanya (Mat 5:1-2; lihat juga ulasan bagi hari Minggu IV yang
lalu). Di situ ia mengucapkan delapan Sabda Bahagia (ay. 3-10) yang
bersangkutan dengan kehidupan pada umumnya, (“Berbahagialah orang yang...!”).
Sabda Bahagia yang ke delapan (ay. 10) menyebut berbahagia orang yang mengalami
perlakuan buruk, dianiaya, karena mau melakukan kehendak Allah. Isi Sabda
Bahagia ke sembilan, ay. 11, sama dengan yang ada dalam ay. 10 tadi, tetapi
ditujukan langsung kepada para murid (“Berbahagialah kamu...!) yang
mengikutinya ke bukit tadi. Mulai saat itu Yesus mulai berbicara mengenai
kehidupan para murid sendiri.
Ada tiga hal yang boleh dicatat. Pertama, pembicaraan
mengenai garam dan terang dunia itu menyangkut diri para murid sendiri. Kedua,
konteksnya ialah pengalaman orang yang merasa dimusuhi karena melakukan
kehendak Allah (ay. 10), dicela dan diperlakukan buruk karena Yesus (ay. 11).
Ketiga, walaupun demikian, mereka diharapkan tetap bersuka cita dan bergembira
(ay. 12), dalam bahasa sekarang, tidak kehilangan harga diri. Dalam konteks
inilah pengajaran mengenai garam dan terang tampil sebagai pengajaran mengenai
hidup para murid. Mereka diminta agar tetap berlaku sebagai garam dan terang
kendati mereka dimusuhi. Mereka diharapkan berteguh dalam kesulitan. Inilah
yang bakal membuat mereka ikut disebut “berbahagia”.
Di dalam masyarakat modern pelbagai macam nilai
bermunculan silih berganti, segudang gagasan dipasarkan, pelbagai keyakinan
diperjualbelikan. Di hadapan semua itu orang bisa ikut arus dan akhirnya
tenggelam. Acap kali ada yang memilih jalan mudah dengan menentang semua yang
beredar di dunia. Itukah pengajaran bagi para murid? Garam dan terang tidak
mesti berkonfrontasi dengan dunia. Peran utamanya justru membuat dunia tak
gampang membusuk dan malah semarak indah dilihat, bukan mencurigai dan
memusuhinya.
MASYARAKAT YANG BERLAPIS-LAPIS
Dalam konteks pengajaran di Bukit, menjadi murid jelas
bukan ditujukan bagi keselamatan sendiri atau demi keluhuran sang guru,
melainkan agar orang banyak bisa melihat betapa Yang Mahakuasa yang di surga
itu bisa dialami sebagai yang sebagai Bapa yang Maharahim. Perbuatan baik para
murid menjadi jalan bagi Yang Mahakuasa agar terlihat oleh orang banyak sebagai
Bapa!
Bisakah orang tetap menjadi garam dan terang di dalam
masyarakat majemuk dan yang rumit susunannya seperti masyarakat zaman ini?
Orang tak bisa tinggal hanya di dalam kelompok sendiri. Mau tak mau akan ikut
berperan di dalam macam-macam tataran lain. Bisakah orang tetap punya identitas?
Ya. Sekali ditaburkan, garam memberi rasa pada sayur. Begitu pula terang
menyinari seluruh ruangan, tidak terbatas di satu sudut saja. Bila ada tempat
yang tidak kena terang atau tidak tergarami, itu karena ada penghalangnya.
Dalam masyarakat yang berlapis-lapis, para murid tidak hanya menggarami
kelompok sendiri atau menerangi lingkungan terbatas. Yang terjadi pada satu
tataran akan ada kelanjutannya di lapis lain pula. Katakan saja “garam dan
terang dunia” itu membola dunia. Bila hanya setempat-setempat saja, maka hidup
sebagai garam dan terang “bagi dunia” itu hanya tetap wacana belaka. Di era
yang makin mengalami globalisasi ini, makin besar pula peran garam dan terang
tadi. Yang tidak menjalankannya akan menjauhi kenyataan dan menjadi hambar, ambles,
padam, tak masuk hitungan.
Hidup sebagai garam bukan berarti terjun mengasinkan
orang-orang lain dengan menonjolkan ibadat serta rumus-rumus kepercayaan
sendiri. Itu justru arah yang semakin ke diri sendiri, makin sungsang. Garam
itu meluas, tidak menciut. Hidup sebagai terang berpusar ke luar, tidak
berputar ke dalam. Maka usaha mendapat pengikut sebanyak-banyaknya ala kegiatan
proselitisme bukan tafsiran garam dan terang dunia yang bisa
dipertanggungjawabkan. Lalu apa?
Sekali lagi Mat 5:16 dapat dipakai sebagai pegangan.
Para murid diminta agar melakukan perbuatan yang bakal membuat orang-orang bisa
memuliakan Bapa yang ada di surga. Maksudnya ialah agar perbuatan dan tingkah
laku para murid itu menjadi bentuk kehadiran Bapa di dunia ini. Kehadiran
seperti ini tidak dapat dipaksa-paksakan kepada orang banyak. Hanya bisa
dipersaksikan. Dan itu tidak selalu mudah dimengerti. Kerap kali sikap kurang
menerima dan memusuhi berawal dari kurang mengenali apa yang sedang terjadi.
Maka tindakan yang paling bijak ialah membuat agar didengar dan dikenal
terlebih dulu secara apa adanya. Makin berlapis-lapis sebuah masyarakat, makin
perlu identitas masing-masing kelompok tampil dengan jujur. Tanpa integritas,
dengan mudah terjadi saling kecurigaan mengenai itikad baik masing-masing dan
kesetujuan-kesetujuan bersama susah tercapai. Memang keragaman dapat
mengakibatkan sikap apatis, luntur, ngikut aje, pindah-pindah. Tetapi justru
garam dan terang bagi dunia itu akan menghilangkan rasa hambar dan
mengendalikan kesimpangsiuran.
Salam hangat,
A. Gianto