InjMg 25 Nov 2012: Kristus Raja (Yoh 18:33b-37)
BERKUASA ATAS SEMESTA ALAM?
Pada hari raya Kristus Raja Semesta
Alam tahun B ini dibacakan Yoh 18:33b-37. Petikan ini memperdengarkan
pembicaraan antara Pilatus dan Yesus. Pilatus menanyai Yesus apa betul ia itu
raja orang Yahudi guna memeriksa kebenaran tuduhan orang terhadap Yesus. Yesus
menjelaskan bahwa kerajaannya bukan dari dunia sini. Ia datang ke dunia untuk
bersaksi akan kebenaran.
Injil mengajak kita mengenali Yesus
yang sebenarnya, bukan seperti yang dituduhkan orang-orang, bukan pula seperti
Pilatus yang sebenarnya tidak begitu peduli siapa Yesus itu. Hari Raya Kristus
Raja Semesta Alam ini juga merayakan kebesaran manusia di hadapan alam semesta.
Itulah kebenaran yang dipersaksikan Yesus dan yang dipertanyakan Pilatus.
RAJA DALAM PERJANJIAN LAMA
Dalam alam pikiran Perjanjian Lama,
raja berperan sebagai wakil Tuhan di dunia. Di Kerajaan Selatan, yakni Yudea,
peran ini dipegang turun-temurun. Kepercayaan ini terpantul dalam silsilah
Yesus dalam Injil Matius yang melacak leluhur Yesus, anak Daud, anak Abraham
(Mat 1:1-17). Lukas menggarisbawahinya tapi melacaknya lebih lanjut hingga ke
Adam, anak Allah, yakni "gambar dan rupa" sang Pencipta sendiri di
dunia ini (Luk 4:23-27). Tetapi dalam menjalankan peran ini, raja sering
diingatkan para nabi agar tetap menyadari bahwa Tuhan sendirilah yang menjadi
penguasa umat.
Kehancuran politik yang berakibat
dalam pembuangan di Babilonia (586-538 s.M.) mengubah sama sekali keadaan ini.
Raja ditawan dan dipenjarakan, kota Yerusalem dan Bait Allah dijarah, negeri
terlantar dan morat-marit hampir selama setengah abad. Pengaturan kembali baru
mulai setelah pembuangan, pada zaman Persia. Bait Allah mulai dibangun kembali
(baru selesai 515 s.M.), walau kemegahannya tidak seperti sebelumnya. Tidak ada
lagi raja seperti dulu walau ada penguasa setempat yang berperan dengan cukup
memiliki otonomi di dalam urusan keagamaan. Pada zaman Yesus, keadaan ini tidak
banyak berubah. Memang ada harapan dari sementara kalangan orang-orang Yahudi
bahwa kejayaan dulu akan terwujud kembali. Maka itu, ada harapan akan Mesias
Raja. Harapan ini mendasari pelbagai gerakan untuk memerdekakan diri. Hal ini
sering malah memperburuk keadaan. Penguasa asing menumpas gerakan itu dan memperkecil
ruang gerak orang Yahudi sendiri. Maka itu, di kalangan pemimpin Yahudi ada
kekhawatiran apakah Yesus ini sedang membuat gerakan yang akan mengakibatkan
makin kerasnya pengaturan Romawi. Mereka mendahului menuduh Yesus di hadapan
penguasa Romawi guna mencegah memburuknya suasana politik.
PATUTKAH IA MENJADI RAJA?
Menurut Yohanes, memang orang pernah
bermaksud mengangkat dia sebagai raja (Yoh 6:15, sehabis memberi makan 5.000
orang). Akan tetapi, tak sedikit dari mereka itu nanti juga meneriakkan agar ia
disalibkan. Bukannya mereka tak berpendirian. Mereka itu seperti kebanyakan
orang ingin hidup tenteram. Mereka mendapatkan roti dan ingin terus, tetapi
mereka juga berusaha menghindari kemungkinan mengetatnya pengawasan dari
penguasa Romawi. Di dalam kisah sengsara memang tercermin anggapan yang beredar
di kalangan umum bahwa Yesus itu bermaksud menjadi raja orang Yahudi: olok-olok
para serdadu (Mat 27:29; Mrk 15:9.18; Luk 23:37; Yoh 19:3), papan di kayu salib
menyebut Yesus raja orang Yahudi (Mat 27:37; Mrk 15:26; Luk 23:38; Yoh
19:19-21), olok-olok para pemimpin Yahudi di muka salib (Mat 27:42; Mrk 15:32),
kata-kata Pilatus di depan orang Yahudi (Yoh 19:14-15).
Kisah kelahiran Yesus menurut Matius
juga menceritakan kedatangan para orang bijak dari Timur mencari raja orang
Yahudi yang baru lahir (Mat 2:2). Namun demikian, seluruh kisah itu justru
menggambarkan kesederhanaannya. Gambaran yang sejalan muncul dalam kisah Yesus
dielu-elukan di Yerusalem (Mat 21:1-11; Mrk 11:1-10; Luk 19:28-38; dan Yoh 12:12).
Ia disambut sebagai tokoh yang amat diharap-harapkan dan diterima sebagai raja,
terutama dalam Yohanes. Jelas juga bahwa tokoh ini ialah raja yang bisa
merasakan kebutuhan orang banyak.
Menurut Markus, Matius, dan Lukas,
di hadapan Pilatus Yesus tidak menyangkal tuduhan orang Yahudi bahwa ia
menampilkan diri sebagai raja, tetapi tidak juga mengiakan (Mat 27:11; Mrk
15:2; Luk 23:2-3). Dalam Yoh 18:33-39, ia justru menegaskan bahwa ia bukan raja
dalam ukuran-ukuran duniawi.
Injil mewartakan Yesus sebagai Mesias
dari Tuhan. Dalam arti itu, ia memiliki martabat raja. Namun demikian, wujud
martabat itu bukan kecemerlangan duniawi, melainkan kelemahlembutan, kemampuan
ikut merasakan penderitaan orang, dan mengajarkan kepada orang banyak siapa
Tuhan itu sesungguhnya.
RAJA SEMESTA ALAM
Guna mendalami Injil Yohanes
mengenai Yesus, sang raja yang bukan dari dunia ini meski dalam dunia ini,
marilah kita tengok madah penciptaan Kej 1:1-2:4a. Injil Yohanes, khususnya
dalam bagian pembukaannya (Yoh 1:1-18), mengandaikan pembaca tahu bahwa ada
rujukan ke madah penciptaan itu.
Ciptaan terjadi dalam enam hari
pertama (Kej 1:1-31) dan manusia sendiri baru diciptakan pada hari keenam.
Dalam enam hari itu, Tuhan mencipta dengan bersabda. Sabda-Nya menjadi
kenyataan. Diciptakan berturut-turut: waktu siang dan malam (Kej 1:3-5), langit
(ay. 6-8), bumi beserta tetumbuhan (ay. 9-12), matahari, bulan, dan
bintang-bintang (ay. 14-19), ikan di laut dan burung di udara (ay. 20-23),
hewan-hewan di bumi (ay. 24-25), dan akhirnya manusia.
Sesudah menciptakan hewan-hewan pada
hari keenam itu, Tuhan bersabda, "Marilah kita menciptakan manusia menurut
gambar dan rupa kita!" (Kej 1:26). Ungkapan "kita" memuat ajakan
kepada seluruh alam ciptaan yang telah diciptakan-Nya itu untuk ikut serta dalam
penciptaan manusia. Seluruh alam semesta yang telah diciptakan kini
"menantikan" puncaknya, yakni manusia. Dalam diri manusia terdapat
peta kehadiran Tuhan Pencipta yang dapat dikenali oleh alam semesta. Oleh
karena itu, manusia juga diserahi kuasa menjalankan pengaturan bumi dan isinya
(Kej 1:29).
Manusia diciptakan "laki-laki
dan perempuan" (Kej 1:27). Dalam cara bicara Ibrani, ungkapan dengan dua
bagian ini merujuk kepada keseluruhan manusia, jadi seperti kata
"kemanusiaan" atau "humankind" dalam bahasa Inggris.
Bandingkan dengan ungkapan "benar-salahnya", maksudnya
"kebenarannya"; "jauh-dekatnya" maksudnya
"jaraknya".
Pada hari ketujuh (Kej 2:1-4a) sang
Pencipta beristirahat dan memberkati hari itu. Pekerjaan yang telah diawali-Nya
itu kini dilanjutkan oleh manusia karena manusia memetakan kehadiran-Nya. Hari
ketujuh tak berakhir, inilah zaman alam semesta yang diberkati Tuhan Pencipta.
Gambaran di atas menjadi gambaran
ideal manusia sebagai raja yang mewakili Tuhan di hadapan alam semesta. Kebesaran
manusia sang "gambar dan rupa" Tuhan dan alam semesta itu diterapkan
Yohanes kepada Yesus. Dalam hubungan ini Yohanes merujuk Yesus sebagai
"Sabda", yakni kata-kata "Terjadilah...!" dst. yang
diucapkan Tuhan dalam menciptakan alam semesta berikut isinya, termasuk manusia
sendiri.
Dengan latar di atas, makin jelas
apa yang dimaksud Yesus ketika berkata kepada Pilatus (Yoh 18:36) bahwa
kerajaannya bukan dari dunia ini, bukan dari sini. Yesus itu memang raja dalam
arti puncak ciptaan sendiri, kemanusiaan yang sejati seperti dulu dikehendaki
sang Pencipta. Dalam ay. 37 Yesus menambahkan bahwa untuk itulah ia lahir,
untuk itulah ia datang. Seluruh kehidupannya mempersaksikan kebenaran, yaitu
manusia yang dikehendaki Pencipta sebagai puncak ciptaan yang membadankan
unsur-unsur ilahi dan ciptaan dalam dirinya.
Dengan demikian, dalam perayaan
Kristus Raja Semesta Alam, dirayakan juga kebesaran manusia, yakni manusia
seperti dikehendaki Pencipta. Itulah kebesaran martabat manusia sejati. Sesudah
perayaan ini, orang Kristen menyongsong Masa Adven untuk menantikan pesta
kedatangan Yesus, Raja yang bakal lahir dalam kemanusiaan yang sederhana tapi
yang juga mendapat perkenan Yang Maha Kuasa.
Kembali ke dialog antara Pilatus dan
Yesus. Dalam Yoh 18:37 disebutkan Yesus datang ke dunia, ke tempat yang dalam
alam pikiran Injil Yohanes dipenuhi kekuatan-kekuatan yang melawan Allah
Pencipta, untuk mempersaksikan "kebenaran". Apa kebenaran itu?
Pertanyaan ini juga diucapkan oleh Pilatus. Ini juga pertanyaan kita yang dalam
banyak hal memeriksa Yesus. Menurut Injil Yohanes, "kebenaran" yang
dipersaksikan Yesus itu ialah kehadiran ilahi di kawasan yang dipenuhi kekuatan
gelap. Ia menerangi kawasan yang gelap. Inilah yang dibawakan Yesus kepada umat
manusia. Inilah yang membuatnya pantas jadi Raja Semesta Alam. Orang yang
mengikutinya akan menemukan jalan kembali ke martabat manusia yang asali, yakni
sebagai "gambar dan rupa" Allah sendiri. Orang yang mendekat
kepadanya dapat berpegang pada kebenaran ini. Masyarakat manusia kini, di
negeri kita, butuh cahaya itu juga. Dan kita-kita yang percaya kepada terang
itu diajak untuk ikut membawakannya kepada semua orang. Inilah makna perayaan
Kristus Raja Semesta Alam yang kita rajakan bersama Injil Yohanes tahun ini.
Salam hangat,
A. Gianto