Keluargaku

Keluargaku

Sabtu, 10 Desember 2011

Pekik
Senin, 05 Desember 2011

Ia selintas mirip Ho Chi Minh yang menyamar jadi buruh perkebunan tebu. Kurus. Misainya memanjang tapi tak rimbun. Rambutnya yang lurus rada kacau, gondrong tapi tak berjela. Keriputnya kentara di kulit wajahnya yang gelap terjemur matahari, tapi otot itu tampak masih liat. Matanya sipit, dengan tilikan tajam (lewat kacamata) yang jail. Atau jenaka.
Djoko Pekik, 70 sekian tahun, masih bisa menertawakan nasib dan dirinya. Saya rasa pelukis ini, dengan sikap ironis, sedang berbahagia.

Dan itu sebuah cerita tersendiri.
Siang itu saya berdiri di sebelahnya, di tepi Kali Be¬dhog yang mengalir tipis dan lirih di kiri rumahnya. Serumpun bambu tinggi menaungi petak tanah itu, sebagaimana ratusan pohon meneduhkan tanahnya di Desa Sembungan itu. Tenteram. Tadi, ketika kami duduk di bangku, menghadapi gelas kopi manis dan piring pisang rebus, ia serius bertanya: apa sebenarnya nasib baginya? Saya tiba-tiba teringat sebaris sajak saya sendiri: "Tuhan, kenapa kita bisa bahagia?"
Pada tahun 1965, Djoko Pekik ditangkap, bersama ribuan orang yang dianggap mendukung PKI. Bersama sederet pelukis lain, anggota grup Bumi Tarung yang aktif di Yogya, juga hampir semua anggota Lekra, ia disekap. Pekik dikurung di Benteng Vredeburg, bangunan buatan VOC ketika mempertahankan cengkeramannya di wilayah Mataram.

Entah berapa ratus orang ditahan di sana. Bisa saya bayangkan betapa padatnya benteng itu. Hampir tiap hari ada tahanan yang mati, dan tak cuma satu: karena sakit, kelaparan, penyiksaan. Pekik teringat ketika pagi hari para tahanan dijemur, disuruh duduk mencangkung dan menatap ke tanah berjam-jam—sementara ada tentara yang naik dan berjalan menginjak-injak deretan kepala mereka, menendangkan sepatu, memukulkan popor bedil.

Trauma merasuk ke dalam diri Pekik sejak itu; ia gemetar tiap melihat warna hijau, warna seragam militer. Setelah 1972, setelah ia lepas dari tahanan dan punya rumah sendiri, ia lawan traumanya dengan cara seorang pelukis: ia cat semua dinding rumahnya dengan warna hijau. Trauma itu pun hilang.
"Saya ini orang yang beruntung," katanya. Di antara kebrutalan yang disaksikan dan dialaminya, dalam penjara ia masih ketemu tentara yang menunjukkan kebaikan-kebaikan kecil: mengajarinya mengecat topi baja dan kopelrim, membiarkannya makan di dapur sampai hampir mati kekenyangan, tak menyiksanya ketika ia dipergoki lepas sebentar untuk beli gula jawa di pasar dekat Benteng Vredeburg.

Tapi nasib baiknya yang terbesar datang karena Bung Karno. Sekitar awal 1966 Bung Karno, yang tahu penyekapan besar-besaran yang terjadi tapi tak cukup kuasa untuk melepaskan mereka (waktu itu, Soeharto, bukan Sukarno, yang praktis mengendalikan keadaan), diam-diam memanggil Overste Mus Subagyo. Perwira polisi militer yang berkuasa di Yogya ini kemudian bercerita kepada Pekik: Bung Karno berpesan agar para seniman yang ditahan tak dihabisi. "Menghasilkan seniman itu lebih susah dari menghasilkan insinyur, Mus," kata Bung Karno menurut cerita Mus Subagyo kepada Pekik.

Mus Subagyo—kabarnya perwira yang ikut menangkap Ketua PKI D.N. Aidit—menghormati Bung Karno sungguh-sungguh, dan ia tahu Bung Karno benar. Ia laksanakan pesan itu.
Djoko Pekik salah seorang yang diam-diam diselamatkannya. Pelukis itu (waktu itu ia bukan apa-apa) diberi ruangan tersendiri di sebuah rumah di luar Vredeburg. Ia tetap dikurung, tapi punya kesempatan berkarya. Pekik sempat membuat sebuah patung. Ia tampaknya tak pernah melupakan jasa perwira polisi militer itu.

Pada 1969, dalam umur 30, di tahanan, Pekik menikahi Tini Purwaningsih. Perempuan manis yang lebih muda 12 tahun ini dikenalnya ketika ia masih kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia di Gampingan. Tini dulu tinggal di belakang sekolah itu. Pasti ada yang mengikat hati gadis Katolik ini hingga ia mau bersuamikan seorang tahanan "Gestapu", lelaki dari keluarga tani Dusun Kedungwaru di Grobogan yang tak punya apa-apa. Apa pun yang menjadikannya, pernikahan mereka panjang dan tenang. Delapan anak lahir, yang sulung ketika Pekik masih dalam status tahanan.

Ketika ia akhirnya bebas, ia mencari nafkah dengan jadi penjahit. Sesekali melukis dengan bahan seadanya. Hidup amat-amat sulit. Ia berjualan kain dengan naik sepeda ke tempat-tempat jauh. Tapi akhirnya ia "ditemukan": karya-karya cat minyaknya yang sempat ia buat mengejutkan para peminat seni rupa. Salah satunya, Ketika Keretaku Tak Berhenti Lama, dipilih untuk ikut dibawa ke Amerika buat pameran seni Indonesia besar-besaran di tahun 1991.

Hidup Pekik berubah. Ia jadi dikenal, ia jadi makmur. Ia membeli tanah yang luas di Kelurahan Bangunjiwo di Kecamatan Kasihan, Bantul. Saya lihat ada seperangkat gamelan yang dimainkan para niyaga, konon tiap Jumat Kliwon. Teman lamanya, juga teman baru, hampir tiap kali bertandang.
Tapi ia tak lupa, lebih dengan rasa sedih ketimbang sakit hati, bagaimana di hari-hari awal kebebasannya ia tetap disisihkan, juga oleh sesama seniman. Saya kira Reformasi 1998 yang memberinya lebih banyak momen bersyukur tanpa mengucapkannya.

Apa sebenarnya arti nasib?
Siang itu saya berdiri di sebelahnya, memandangi Kali Bedhog yang mengalir lirih. Pekik sedang merencanakan pameran yang unik: membawa karya beberapa pelukis di atas rakit, bersama arus. Ketika ia minta bantuan untuk membersihkan sungai itu, tak disangkanya komandan militer setempat mengirim 150 prajurit. Kemudian datang bekerja beberapa puluh polisi.
"Saya orang yang beruntung," kata Djoko Pekik.

Juga Indonesia, tanah airnya, negeri yang beruntung: teror, trauma, dendam, permusuhan lama, akhirnya bisa juga dilarung, dibawa arus waktu. Entah ke mana.

Goenawan Mohamad

Selasa, 29 November 2011

Tintin

Senin, 28 November 2011
Saya menemukan Tintin pertama kali di sebuah rumah di dusun Marly-le-Roi, beberapa kilometer dari Paris, tempat saya berlibur bila kuliah jeda. Itu tahun 1965. Pada suatu malam, saya lihat setumpuk buku cerita bergambar di sudut kamar. Saya memungutnya. Saya pun tak berhenti membacanya—dan tertawa berkali-kali: humor adalah pemikat awal (dan akhir) komik ini.

Yang punya rumah dari ruang makan mendengar saya tertawa sendirian. "Kasihan kamu," katanya. "Baru sekarang kamu kenal Tintin."


Tentu saja ia benar. Ia orang Belgia; ia dibesarkan dengan cerita bergambar itu; saya orang Indonesia, dari sebuah masa ketika bacaan dari "Barat" hampir mustahil masuk. Tapi sebetulnya tak jadi soal kapan dan bagaimana seseorang mengenal tokoh fiktif ciptaan Georges Prosper Remi ini. Sejak 1929, sejak Remi, dengan nama Hergé ("R.G."), memuatnya tiap pekan di halaman Le Petit Vingtième, sampai 2011, ketika Steven Spielberg membuat The Adventures of Tintin, tiap hari orang menemukan Tintin. Dengan senang hati.

Sebenarnya jagoan ini tak akan memikat, andai ia tampil sendiri di luar cerita. Ia tak tinggi, tak tegap. Parasnya klimis; pipi itu tampak lunak seperti kue sus. Kulitnya putih susu. Dengan rambut pirang yang berjambul, dengan pakaian yang sesopan siswa sekolah Minggu, Tintin tampak bersih sampai ke ulu hati. Ia tak pernah mencoba mengganggu. Ia sopan. Ia datar. Ia membosankan.

"Every hero becomes a bore at last," kata Ralph Waldo Emerson.


Pahlawan, tokoh cerita yang dipaparkan untuk memenangkan niat baik, umumnya diletakkan dalam kategori manusia luar biasa—tapi dengan norma kebajikan yang biasa. Superman: ia, yang hidup dalam imajinasi Amerika sejak tahun 1930-an, seorang makhluk ajaib dan sekaligus imigran dari planet lain. Tapi ia sebenarnya menegakkan nilai-nilai yang tecermin dari cara Clark Kent berperilaku sehari-hari: seorang warga mayoritas yang merasa utuh bila mengenakan jas dan dasi. Ia orang yang tak akan menggebrak sekitarnya. Ia pahlawan karena ia meneguhkan apa yang bisa membuat tenteram orang ramai.

Seperti Clark Kent, Tintin tak tampak asing. Lagi pula ia bukan imigran. Lahir untuk mengisi lembaran anak muda dari koran Le Vingtième Siècle—sebuah surat kabar Katolik Belgia yang konservatif—Tintin sejenis santo sehari-hari: orang amat baik yang tak datang dari pengorbanan yang ekstrem. Umurnya mungkin 20-an. Saya tak tahu latar belakang keluarganya, tapi pasti bukan pembangkang konformitas warga Brussel yang lama. Ia bukan pemuda nakal. Tak akan ada adegan Tintin minum-minum di bar di antara perkelahian. Tak akan ada ciuman bernafsu. Dalam Tintin, pahlawan ditampilkan sebagai selibat, tubuh yang tanpa seks—karena seks, seperti difatwakan Gereja, adalah najis.

Itu sebabnya ia tak memikat—terutama di zaman ini, ketika para santo tak disalibkan, melainkan ditertawakan.


Namun ada yang berharga dari Tintin: ia mengajak kita sejenak lepas dari zaman yang penuh sinisme ini. Memang, sikapnya yang lurus bisa membuat tertawa mereka yang tak percaya bahwa masih ada kesatria yang tanpa pamrih. Tapi ada tertawa lain yang terdengar. Kisah petualangannya menimbulkan gelak, tapi gelak yang tak ganas, gelak yang justru membuat kita akrab dengan orang lain, betapapun menggelikannya orang itu.

Tintin dikenang bukan sebagai kisah keberanian. Yang tak terlupakan adalah apa yang nakal dari Milou alias Snowy, anjingnya yang bandel, apa yang konyol dari Thompson & Thomson, dua agen rahasia yang bodoh itu, dan apa yang meledak-ledak dari Haddock, si pemabuk yang ribut.

Demikianlah sang pahlawan yang membosankan memberi ruang bagi sosok yang tak seperti dirinya: orang-orang yang mengasyikkan.

Itu sebabnya gambar Hergé terdiri atas dua lapis. Lapis pertama tanpa detail yang "realistis": wajah Tintin yang datar. Lapis kedua: latar yang rinci dan ramai tentang sebuah tempat, katakanlah di Rusia atau di India.

Di lapis pertama kita temukan Tintin yang rapi seperti dalam formula. Di lapis kedua: kocak yang gila-gilaan. Di sini Haddock melontarkan lebih dari 200 jenis sumpah serapah; atau kita dengar suara sopran yang bikin pusing dari Bianca Castafiore; atau interupsi yang menjengkelkan dari agen asuransi Séraphin Lampion (alias Jolyon Wagg).


Begitulah, dalam Tintin humor tumbuh dari sikap membuka diri terhadap yang beda: mereka yang menggelikan, yang tak kita kagumi, tapi kita sayangi. Tak aneh bila cerita ini bisa mempertalikan manusia lewat 80 bahasa.

Tapi tak dengan sendirinya. Tintin juga punya sejarah myopia Eropa. Petualangan di Kongo (terbit pada 1930) mencerminkan Hergé yang memandang bangsa Afrika sebagai makhluk asing yang ditundukkannya. Mereka mirip monyet hitam yang malas dan bodoh. Di satu ade­gan seorang perempuan Kongo berterima kasih dan menyembah Tintin—dan Milou, anjingnya, dengan pongah berkata, "Kita paling top, kan?"

Hergé kemudian menyesal dengan karya itu. Ia berubah.


Pada usia 27, ia ketemu Chang, seorang mahasiswa Cina yang belajar di Brussel. Mereka bersahabat. Ketika pada 1958 lahir petualangan Tintin di Tibet, ikatan batinnya dengan orang asing muncul: dengan tekad luar biasa, Tintin menyelamatkan Chang, sahabat kecilnya yang disekap oleh yeti, hewan misterius di Himalaya itu. Dalam proses itu, para rahib Buddha menyumbangkan ilmu gaib mereka.

Chang pun selamat, dan yeti itu ternyata bukan makhluk jahat. Ia memandang Chang pergi meninggalkannya. Sayu, tapi rela. Ia seakan-akan saksi: dengan cinta yang besar, makhluk yang aneh itu, manusia, bisa berhasil, tapi bukan menang.


Goenawan Mohamad

Selasa, 22 November 2011

Arok

Senin, 21 November 2011
Seperti orang lain, saya ingin menulis tentang Ken Arok: perampok dari Pangkur, pembunuh yang tak takut, perancang kekuasaan yang membuat sejarah jadi cerita tentang ambisi dan kematian.

Tentu saya tak bisa menulisnya seperti Muhammad Yamin pada 1928, masa kebangkitan nasional: Ken Arok dan Ken Dedes-nya berakhir dengan sang tokoh rela ditikam untuk menjaga persatuan sebuah negeri.

Saya juga tak akan bisa menulisnya seperti Pramoedya Ananta Toer. Dengan tepat dan tajam Pramoedya menunjukkan, takhta dan kasta adalah tempat yang oleh sejarah bisa diisi siapa saja, juga oleh seorang sudra seperti si Temu. Orang yang kemudian jadi Arok ini tanpa "sedikit pun darah Hindu dalam dirinya," seperti disebut dalam Arok Dedes. Tapi tokoh Pramoedya, yang berhasil mengenal 100 ribu bait Mahabharata, adalah pembangun kerajaan, justru karena ia di luar klasifikasi sosial dan keyakinan di masanya.

Ken Arok yang ingin saya tulis akan lain. Hari ini kita butuh kiasan yang berbeda.

Sebagian akan saya ikuti Pararaton, riwayat hidup si berandal yang kemudian mendirikan Kerajaan Singasari itu. Dalam naskah dari abad ke-15 itu diceritakan, bahkan sebelum ia menitis sebagai Arok (ditulis "Angrok"), ia sudah orang yang "berperilaku tak baik, memutuskan kendali kesusilaan, jadi pengganggu Hyang yang gaib", lumaku tan rahayu amegati apusira pinakapamañcananing hyan Suksma.

Kemudian ia dilahirkan kembali di Desa Pangkur, di wilayah Tumapel. Tapi tak lama keluar dari rahim, oleh ibunya—yang mengandung karena perselingkuhan (dalam Pararaton disebut perempuan itu dihamili Dewa Brahma)—ia dibuang di sebuah pekuburan anak-anak. Seorang pencuri menemukannya dan membesarkannya. Dan Arok pun tumbuh jadi penjudi, perusuh, pemerkosa, yang berkali-kali dikejar dan diburu, tapi selalu lepas.

Kata sang pencerita, dewa-dewa menolong menyelamatkannya.

Mithos sering punya keganjilan yang arif: dewa-dewa tak peduli akan "kebaikan" dan "kejahatan". Mungkin karena semua itu akhirnya membingungkan, di sebuah masa ketika sistem keyakinan tak bisa utuh lagi. Pararaton ditulis ketika agama Hindu bersilang-selisih, dan tentu saja bersentuhan, dengan Buddhisme. Dalam keadaan itu, kekuatan yang berhasil—bukan sistem keyakinan—adalah yang dianggap penentu sejarah. Maka sejumlah orang pun menyingsingkan desain kekuasaan. Seperti hari ini.

Dalam Pararaton kita temukan imaji yang destruktif di sekitar sang tokoh—bagian dari karisma dan apa yang dianggap nubuat: orang luar biasa ini kelak punya kekuasaan yang brutal dan ekspansif.

Maka saya akan memulai cerita saya dengan satu adegan malam: Arok terbaring tidur. Pada saat itu, dari ubun-ubunnya keluar beratus-ratus kelelawar, hitam, tanpa henti. Pararaton melukiskannya dalam satu kalimat Jawa Kawi yang lugas: "lalawah metu saking wunwunanira Ken Angrok adulurdulur tanpapegatan". Tapi di situ kita lihat satu momen yang ajaib, seram, dan ganas: imaji yang menggambarkan hasrat yang tak pernah puas untuk merebut dan mengerkah.

Jika nanti saya menafsirkan Pararaton, pembaca tentu telah mengenal Macbeth. Dalam lakon ini Shakespeare juga menampilkan hasrat yang tak pernah puas, tapi juga tak tenteram: sebuah keadaan tragik, bukan kisah yang heroik.

Sebab Arok, bagi saya, adalah makhluk yang keluar dari cermin, tempat kita berkaca. Di sana tersimpan tuah dan tulah. Saya sebut "tuah" karena, dengan hasrat yang membuat kita perkasa, kita mampu melakukan yang hampir mustahil; "tulah" karena itu bisa merupakan kutukan. Dalam Pararaton, Arok bisa terbang dengan bersayapkan dua helai daun tal. Ia melampaui kemampuan manusia biasa. Tapi itu juga awal dari tulah yang membentuk dirinya: ia tidak hanya melampaui apa yang fisik, tapi juga melampaui keinginan orang kebanyakan; dengan itu ia mulai jalan ke kematiannya sendiri.

Orang ini dengan gampang membunuh. Ia tikam Empu Gandring, sang pembuat keris. Kesalahan orang tua ini hanya terlambat menyelesaikan kerjanya yang didesak-desak itu. Kita tahu, Arok tak punya kesetiaan kepada siapa pun. Ia selalu siap berkhianat dengan menumpahkan darah.

Pada satu tahap dalam hidupnya, ia meninggalkan dunia kriminal. Ia tak lagi di luar tata sosial. Ia diterima dan dipercaya sebagai pengawal penguasa Tumapel, Tunggul Ametung. Tapi pada suatu malam yang gelap, ia bunuh akuwu itu. Setelah itu, ia korbankan Kebo Hijo. Pemuda ini dihukum mati karena dialah yang dituduh sebagai si durjana. Arok tak membelanya. Meskipun Pararaton menyebut Kebo Hijo punya hubungan cinta (asihsihan) dengan dirinya.

Arok dan Macbeth: para peraih. Macbeth memulai serangkaian pembunuhan untuk meraih takhta dan mempertahankannya. Dan ia coba menghalalkan semuanya dengan sikap seorang nihilis, meskipun ia sedikit gemetar. Tak ada nilai, tak mungkin ada makna. Merisaukan. Tapi akhirnya kesimpulannya suram: hidup hanya sebuah kisah yang disampaikan seorang idiot, "penuh hingar dan murka, tanpa arti apa-apa".

Pada Arok, nihilisme itu dikukuhkan Lohgawe.

Lohgawe, seorang pendeta dari seberang, mendampinginya. Tapi bahkan dengan keyakinan agama yang dibawanya, baginya Arok hanyalah sebuah proyek kekuasaan. Agama hanya berarti jika masa depan adalah kemenangan.

Demikianlah pada suatu hari pemuda itu datang mengungkapkan niatnya menghabisi Tunggul Ametung, untuk merebut istrinya, Ken Dedes. Nasihat Lohgawe ambigu: "tan ulahaning pandita, ahingan sakaharepira". Ia orang suci, tak bisa memberi Arok restu untuk kejahatan itu; tapi ia persilakan Arok melakukan apa yang dikehendakinya.

Dan yang ganas pun terjadi. Dan kita yang kenal kisah Ken Arok tahu: kebrutalan dan ambisi itu berjalin, terus.

Goenawan Mohamad

Senin, 31 Oktober 2011

La Guerre

Senin, 17 Oktober 2011

Kini tak akan ada lagi orang tua bertubuh kurus tapi penuh energi itu di restoran di rue Vaugirard nomor 12, Paris.

Umar Said, pemula "Restaurant Indonesia" itu, baru saja meninggal. Umurnya panjang, kisah hidupnya beragam: ia lahir 26 Oktober 1928, di dekat Kota Tumpang, beberapa puluh kilometer dari Malang; ia menyaksikan amarah rakyat kepada penindasan Jepang; ia ikut bertempur di Surabaya dan nyaris terbunuh di bulan November 1945; ia jadi wartawan Indonesia Raya di bawah Mochtar Lubis di Jakarta pada tahun 1950-an—sebuah koran yang menentang Bung Karno dan PKI—dan kemudian memilih bekerja untuk Harian Rakyat, koran resmi PKI.

Sejak PKI dihancurkan, Umar Said terbuang. Ketika peristiwa Oktober 1965 meletus, ia sedang berkunjung ke Aljazair. Ia tak bisa kembali. Akhirnya ia, bersama sejumlah eksil lain, setelah beberapa tahun hidup di Cina, menetap di Paris, jadi warga negara Prancis, memakai nama André Aumars, membuka "Restaurant Indonesia" untuk memberi nafkah dan pekerjaan bagi orang-orang yang terbuang itu, dan….


Riwayatnya (saya baca dari bukunya, Perjalanan Hidup Saya, yang terbit pada 2004) mungkin bukan riwayat seorang tokoh besar. Tapi sejarah Indonesia melekat dalam riwayat itu—juga sejarah seseorang, yang, sebagaimana banyak cendekiawan kiri, punya cita-cita besar untuk Indonesia, dan kemudian terbentur pada yang tragis dalam cita-cita besar itu.

Yang tragis itu bukan saja kematian berpuluh-puluh ribu orang kiri karena dibunuh. Juga tragis bahwa setelah itu ada pertanyaan yang belum dijawab, seakan-akan ada kegaguan yang murung: apa yang jadi pikiran Umar Said, juga mereka yang senasib, ketika setelah pengorbanan yang demikian mengerikan, Partai hancur dengan cepat, praktis tanpa perlawanan, dan tak ada perannya ketika Orde Baru diruntuhkan? Apa juga yang mereka pikirkan ketika setelah itu negara-negara sosialis ambruk dari dalam, dan Cina mengambil "jalan kapitalis" yang dulu dikutuk Mao?

Saya bertemu beberapa kali dengan Umar Said; tak tampak oleh saya ia seorang yang lelah. Rosihan Anwar, wartawan segenerasinya yang memberi kata pengantar untuk buku Perjalanan Hidup, menulis: dalam diri orang ini "selalu ada cause, selalu ada tujuan yang diperjuangkannya".

Beberapa belas tahun setelah ia hidup di Prancis, Umar Said terlibat dalam ikhtiar untuk menegakkan hak-hak asasi manusia yang universal—satu hal yang ganjil bagi seorang simpatisan komunis. Marxisme-Leninisme tak berbicara untuk "manusia yang universal". Tapi agaknya Umar Said berubah. Ia mengalami sendiri, betapa ia dan kawan-kawannya tertolong oleh mereka yang berjuang untuk hak-hak itu, termasuk Amnesty International.


Apa yang disebut "ironi sejarah" terjadi: ketika Mochtar Lubis ditutup korannya dan dipenjarakan di bawah "Demokrasi Terpimpin"—dan orang-orang komunis bersenang hati karena itu—Amnesty International juga yang memperjuangkan pembebasan wartawan antikomunis itu.

Beberapa puluh tahun setelah 1965: sebuah era baru. Umar Said sendiri menulis bahwa ia telah melihat betapa "hal-ihwal adalah rumit, sering kali bersegi banyak", dan selalu berubah. Juga "saya sendiri sudah mengubah pandangan, atau memang hal-ihwal itu sendiri sudah berubah". Tak ada yang mutlak dan mandeg, katanya. Tak ada yang 100% putih atau hitam.

Tapi agaknya ada yang tak berubah bagi seseorang yang "selalu ada cause, selalu ada tujuan yang diperjuangkannya": ia tak akan mengatakan, "Perang telah usai."

Tokoh Diego Mora dalam La guerre est finie, sebuah film Alain Resnais dari tahun 1966, juga tak mengatakan demikian. Tapi anggota Partai Komunis Spanyol ini (dimainkan oleh Yves Montand) makin ragu akan masa depan perjuangannya sendiri. Ia tinggal sebagai eksil di Paris dan diberi tugas menghubungi kawan-kawan seperjuangannya di bawah tanah untuk melakukan pemogokan umum sebagai perlawanan terhadap rezim Jenderal Franco yang berkuasa. Namun Spanyol telah berubah. Sudah hampir 30 tahun berlalu sejak Perang Saudara yang meletus tahun 1936 selesai pada 1939. Selama itu yang Kiri tersingkir dan ditindas, dan Spanyol hanya jadi "puisi liris hati nurani kaum Kiri dan mitos para bekas pejuang".


Diego mulai lelah. Ketika ia menghadapi anak-anak muda yang punya impian revolusioner dengan jalan kekerasan—dengan menyiapkan bom—ia mencoba membenarkan sikapnya yang berbeda dengan mengatakan, dengan berdalih: "Kesabaran dan ironi adalah kebajikan seorang Bolsyewik."

Saya tak tahu kesabaran macam apa dan untuk apa bagi para pejuang Bolsyewik macam Diego dan kawan-kawan—kecuali kesabaran yang menyadari bahwa kemungkinan sebuah revolusi makin jauh. Tapi kesadaran akan ironi lebih perlu: perubahan Spanyol itu bukan hasil mereka yang menghendaki perubahan, melainkan hasil mereka yang justru tak menghendaki perubahan. Sekitar satu dasawarsa setelah La guerre est finie dibuat, Jenderal Franco wafat. Ia siapkan Pangeran Juan Carlos menjadi raja—seorang aristokrat yang mengubah Spanyol jadi sebuah demokrasi.

Kesadaran akan yang tragis dan yang ironis, yang pada akhirnya membentuk kesabaran—itukah yang membuat seseorang lebih arif membaca jalan sejarah? Di akhir bukunya Umar Said melihat dirinya hanya semacam noktah di tengah semesta perjalanan manusia—satu titik yang segera akan tenggelam. Sang pejuang sampai pada sebuah kearifan: manusia bukanlah pusat penggerak yang serba perkasa dalam perjuangan.

Tapi tiap titik yang terbatas itu akan meninggalkan bekas bila ia lahir dalam perjuangan pembebasan bagaikan percik api; dengan kata lain, bila ia menolak mengatakan, "Perang telah usai."


Goenawan Mohamad

Jumat, 28 Oktober 2011

MgBiasa XXXI

MgBiasa XXXI- A 30 Okt 11 (Mat 23:1-12)

BOROK KEHIDUPAN AGAMA? 

Rekan-rekan yang budiman,
Suatu ketika kepada orang banyak dan para muridnya Yesus menuturkan sikap tercela para ahli Taurat dan kaum Farisi (Mat 23:1-12, Injil Minggu Biasa XXXI tahun A tgl. 30 Oktober 2011). Sekalipun mereka ini memiliki hak untuk mengajarkan Taurat, janganlah kelakuan mereka diikuti. Mereka membebani orang dengan ajaran-ajaran tanpa bersedia menjalaninya sendiri. Mereka suka dipandang sebagai orang saleh, ingin diberi tempat kehormatan di tempat ibadat, mengharapkan sanjungan di hadapan umum.... Tingkah mereka ini boleh dikata sudah menjadi karikatur oberagama.
BOROK KEHIDUPAN?
Teks hari ini gampang dipakai untuk melancarkan kritik terhadap para pemimpin masyarakat khususnya di kalangan para tokoh agama. Tetapi apakah Injil pertama-tama bertujuan membuka borok-borok kehidupan agama seperti itu? Seandainya hanya itu, akan lebih menarik bila didatangkan seorang karyawan pastoran atau biara untuk curhat tiga menit di mimbar sebagai selingan dalam khotbah. Dia bakal jadi narasumber otentik. Atau bila keadaan mengizinkan, tayangkan sekaligus video (dengan muka para pembicara dikelabukan demi anonimitas) mengenai keluhan-keluhan seorang istri atau seorang suami atau anak terhadap tuntutan yang terasa terlalu besar untuk menjalankan hidup berumah tangga ideal menurut ajaran Gereja. Peragaan seperti itu akan lebih seru. Tapi itukah warta Injil hari ini? Rasa-rasanya bukan. Pewarta sabda tidak diminta menitip-nitipkan kritik ke dalam Injil, memuatinya dengan nasihat dan seruan moralistis, atau memakainya sebagai pijakan bercurhat.

DI BAIT ALLAH PADA HARI-HARI TERAKHIR
Ketika Yesus tiba di kota Yerusalem, orang banyak menyambutnya dengan meriah. Seluruh kota jadi gempar  (Mat 21:10). Pada hari itu juga ia datang di Bait Allah dan menyadarkan orang bahwa rumah doa itu kini telah jadi sarang "penyamun" (21:12-13). Di situ juga ia menyembuhkan orang-orang buta dan orang-orang timpang. Imam-imam kepala dan ahli Taurat tidak senang melihat kepopuleran Yesus di wilayah mereka. Tetapi malam hari itu juga Yesus ke luar kota dan bermalam di Betania yang terletak di sebelah timur Yerusalem (21:18). Keesokan harinya ia kembali ke Bait Allah (21:23). Di situ terjadi serangkai pembicaraan dengan para pemimpin Yahudi yang mempertanyakan asal kuasa Yesus. Dalam kesempatan inilah ia mengajar dengan perumpamaan mengenai para penggarap kebun anggur yang mau merebut hasil dan tanah majikan (21:33-45), perumpamaan para undangan ke perjamuan nikah dan pakaian pesta (22:1-14). Juga waktu itulah dipaparkan pemecahan masalah membayar pajak kepada Kaisar (22:15-22), jawaban bagi penolakan orang Saduki terhadap kebangkitan (22:23-33), dan pengajaran mengenai hukum yang terutama (22:34-40) dan penjelasan mengenai hubungan antara Yesus dan Daud (22:41-46). Peristiwa yang disampaikan Injil hari ini terjadi di Bait Allah juga. Pengajaran ini disusul dengan tujuh kecaman keras terhadap sikap para ahli Taurat dan orang Farisi termasuk para pemimpin (23:13-36) dan keluhan terhadap kota Yerusalem (23:34-35). Setelah itu Yesus keluar dari Bait Allah dan Injil Matius mulai menceritakan pengajaran Yesus mengenai akhir zaman (24:1-25:46). Ini semua terjadi dua hari ia ditangkap untuk disalibkan dua hari menjelang Paskah orang Yahudi (26:2).

Konteks di atas memberi arti yang lebih penuh pada pengajaran Yesus. Matius menampilkan Yesus sebagai orang yang berkuasa mengajarkan mengenai Allah - di rumah-Nya sendiri. Bukan lagi para ahli Taurat dan orang Farisi yang kini berkuasa. Wibawa mereka sudah pudar karena mereka sendiri tidak menjalankan yang mereka ajarkan. Dan ini dirasakan orang banyak. Namun kuasa yang kini dimiliki Yesus membawa risiko. Para tokoh yang tak senang akan kepopuleran Yesus ini membuat rencana untuk menjatuhkannya (26:1-5). Yesus juga sadar bahwa risiko ini muncul dari keteguhannya dalam mengasihi Allah dengan seutuh-utuhnya dan mengasihi sesama yang sama-sama manusia seperti dia... Ia menghayati yang diajarkannya. Di situlah integritasnya. Ini dilihat orang banyak pula.

DUDUK DI KURSI MUSA?
Dikatakan dalam terjemahan yang lazim dipakai di Indonesia bahwa ahli Taurat dan orang Farisi "telah menduduki kursi Musa". Sayang kata "menduduki" dapat memberi kesan "menghuni dengan tanpa hak, merebut" yang tidak dimaksud di sini. Lebih cocok bila dipakai "duduk di kursi Musa". Dalam tradisi Yahudi ketika itu memang para ahli Taurat dan kaum Farisi diakui memiliki wewenang mengajarkan dan menafsirkan Taurat dengan wibawa seperti yang dimiliki Musa sendiri. Pengaruh mereka mulai besar pada abad ke-5 seb. Masehi, yakni setelah orang Yahudi kembali dari pengasingan di Babilonia. Pada zaman itu dibutuhkan pegangan untuk membangun kembali kehidupan bangsa dan agama. Dapat dimengerti bila sisi "hukum" ajaran agama lebih ditonjolkan. Tiap kali masyarakat Yahudi terdesak oleh kuasa politik dari luar, maka ciri-ciri legalistis kepercayaan mereka makin menjadi menonjol. Keadaan seperti ini sering dijumpai di pelbagai masyarakat, juga pada zaman kita sekarang. Tentu saja ada ekses. Dan inilah yang dibicarakan dalam petikan hari ini. Pengajaran dan kesaksian hidup pribadi sering tidak sejalan. Boleh dikatakan ketimpangan itu berpusat pada diabaikannya hidup beragama yang semestinya bergantung pada dua perintah yang terbesar yang dibicarakan dalam bagian sebelumnya (Mat 22:34-40; bacaan Injil Minggu Biasa XXX/A).

PEMBACA INJIL MATIUS: DULU DAN SEKARANG
Injil Matius tumbuh di kalangan orang-orang Yahudi yang telah menjadi pengikut para rasul. Orang-orang itu memiliki latar pendidikan Taurat yang kuat dan memang berusaha hidup menurut Taurat dengan baik. Tentu ada dari mereka yang akhirnya keterlaluan dan bersikap legalistis...juga setelah bergabung dengan para pengikut Yesus. Mereka inilah yang dibicarakan dalam Injil hari ini. Meski penggambarannya dilatarbelakangi kecaman Yesus terhadap para ahli Taurat dan kaum Farisi, masalahnya lebih menyangkut kehidupan di dalam komunitas muda yang memang tumbuh dari kalangan Yahudi. (Tidak semua pemimpin dan ahli Taurat atau kaum Farisi tercela. Ada orang-orang seperti Yusuf Arimatea dan Nikodemus, ada juga Saulus, orang Farisi yang fanatik tetapi yang kemudian menjadi rasul Paulus.) Pembaca dari zaman dulu melihat kembali secara kritis ke masa lampau mereka sendiri dan dengan halus menyampaikan kepada rekan-rekan mereka agar tidak menempuh cara lama itu. Mereka mau menyadari sisi mana dari cara hidup mereka tidak bisa lagi memberi inspirasi dan tidak bisa menjawab tantangan zaman. Mereka mau menimba kebijaksanaan dari ingatan para guru mereka yang masih mengenal Yesus ketika mengajar di Yerusalem dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh di sana. Inilah yang ditampilkan Matius.
Tentunya pembaca dari zaman kita sekarang tidak hanya berminat pada konteks yang dulu-dulu saja. Orang zaman ini ingin membaca Injil sebagai inspirasi hidup. Bila tidak tergesa-gesa, sebenarnya kuncinya juga terdapat di dalam Injil Matius sendiri. Secara sederhana begini. Seluruh pengajaran Yesus menjelang akhir hidupnya dalam Mat 23 ditampilkan oleh Matius sebagai gema pengajarannya ketika ia mulai tampil di muka umum, yakni  ketika ia mengajar "orang banyak dan murid-muridnya" di sebuah bukit (Mat 5:1 dan 5:17-7:29). 

Baik diperiksa bagaimana bagian yang memuat tujuh kecaman terhadap pemimpin, ahli Taurat dan orang Farisi (Mat 22:13-36, kelanjutan bacaan hari ini) berpadanan dengan Sabda Bahagia (Mat 5:3-12). Mereka yang dicela itu dikatakan telah menutup pintu-pintu Kerajaan Surga (22:13), bdk. orang miskin dan orang yang dianiaya yang dalam Sabda Bahagia dikatakan bakal memiliki Kerajaan Surga (5:3 dan 10); mereka disebutkan calon penghuni neraka (22:15), bdk. pembawa damai yang akan disebut anak-anak Allah (5:9); mereka disebut buta (22:16-22), bdk. orang yang bersih hatinya yang akan melihat Allah (5:8); mereka mengabaikan belas kasihan (22:23-24), bdk. orang yang berbelaskasihan yang akan mendapat belas kasihan (5:7); mereka rakus tak pernah kenyang (22:25-26), bdk. orang lapar dan haus yang akan dipuaskan (5:6); batin mereka membusuk seperti mayat yang dikubur  (22:27-28), bdk. orang berduka cita yang akan dihibur (5:4); kelakuan jahat mereka akan menjadi hukuman mereka sendiri (22:29-35), bdk. orang lemah lembut yang akan imemilik bumi.
Diberikan gambaran keadaan bila pengajaran di bukit dan Sabda Bahagia tidak dihayati. Mereka yang merasa mau menegakkan hukum agama akan menindas kehidupan agama dari dalam! Ini kendala beragama yang tidak berusaha mengembangkan inti sikap beragama sendiri. Malah bisa memburuk dan memborok. Pada titik ini Injil Matius hendak membawa pembaca kembali ke inti kehidupan orang yang percaya, yakni ke inti pewartaan Yesus sendiri: mengajak orang menyongsong masa depan di dalam Kerajaan Surga sehingga menemukan kembali manusia yang utuh. Dan sekali lagi, di situ kemerdekaan manusia serta kebijaksanaan menghayatinya menjadi pusat perhatian.

Salam hangat,
A. Gianto

Rabu, 19 Oktober 2011

Minggu Biasa XXX/A

Tgl. 23 Oktober 2011 (Mat 22:34-40)

Rekan-rekan yang baik!
Minggu Biasa XXX tahun A ini dirayakan dengan bacaan Injil dari Mat 22:34-40. Di situ Yesus menjawab pertanyaan seorang ahli Taurat yang hendak menjajaki pengetahuan keagamaannya. Ditanyakan kepadanya, manakah perintah yang paling utama dalam Taurat. Jawabnya, perintah yang terutama dan yang pertama ialah  (Ul 6:5) "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu." Dan perintah yang kedua ialah (Im 19:18) "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Ditambahkannya, pada kedua perintah itu bergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi. (Kitab para nabi menurut orang Yahudi meliputi  kitab-kitab sejarah dari Hak sampai Raj dan nabi-nabi Yes, Yer, Yeh dan ke-12 nabi lain; Dan tidak termasuk di sini).

TENTANG TAURAT
Pertanyaan kepada Yesus berbunyi "Guru, perintah manakah yang terutama dalam hukum Taurat?" membuat orang berpikir, dari sekian banyak perintah, manakah yang paling pokok. Namun, dalam rumusan aslinya, pertanyaan tadi sebenarnya berbunyi: "Guru, perintah macam apa bisa disebut besar di dalam Taurat?" Jadi yang dipertanyakan bukanlah yang mana, melainkan macamnya, jenisnya, kategorinya... Pertanyaan ini mengarah pada ciri-ciri yang membuat perintah tertentu dapat dikatakan perintah besar. Memang diandaikan perintah-perintah dalam Taurat tidak sama bobotnya. Ahli Taurat itu mau tahu apa Yesus memiliki kemampuan menimbang-nimbang Taurat dan bukan hanya asal kutip sana sini.
Memang dalam kesadaran orang Yahudi yang terpelajar, ada macam-macam bobot. Dan tidak bisa dipukul rata. Yeus sendiri di lain kesempatan juga menunjukkan kepekaan ini. Misalnya hukum Sabat (Mat 12:1-14). Di situ kewajiban menguduskan Sabat dibawahkan kepada kewajiban berkurban dan melaksanakan belas kasihan. Mana prinsip memahami perintah yang satu lebih pokok dari yang lain? Soal ini dijawab Yesus dengan mengutarakan dua perintah yang disebutkannya sebagai tempat bergantung semua hukum Taurat dan kitab para nabi.
Perintah mengasihi Tuhan Allah dengan sepenuh-penuhnya  yang dikutipnya dari Ul 6:5 itu termasuk ayat-ayat suci yang wajib didoakan dua kali sehari (pagi dan petang) oleh orang Yahudi yang saleh.  Perintah Im 19:8 mengenai mengasihi sesama itu disertakannya sebagai perintah utama yang kedua. 

ISI PERINTAH UTAMA DAN MAKNANYA
Semalam saya mengajak tiga sekawan Matt, Luc, dan Mark ngobrol ke sana ke mari tentang perbincangan Yesus dengan pemuka-pemuka Yahudi seperti disampaikan Matt. Berikut ini beberapa potong pembicaraan kami di sela-sela seruputan wedang ndongo dan kue-kue Mon Ami yang dibekalkan pemiliknya ketika mau pulang ke Roma.
GUS: Kalian ini menyampaikan peristiwa yang sama tapi menaruh dalam konteks yang berbeda-beda. Bikin bingung pembaca. Matt, lu bilang kayak di atas tadi. Tapi, ekseget tahu kau memakai bahan dari Mark kan?
MATT [mulai tak tenang, rada segan dengan kaum penafsir]: Versi Ul 6:5 yang dikutip Mark itu memuat empat unsur "segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatanmu". Sebenarnya "segenap akalbudi" yang dipakai Mark itu kan untuk menjelaskan arti "segenap hati". Bagi orang Yahudi seperti kami, hati itu tempat bernalar, bukan tempat perasaan. "Segenap kekuatan" yang ada dalam teks Perjanjian Lama tidak dikutip kembali oleh Mark dan juga tak kutampilkan kembali karena sudah jelas bagi kami. [MARK manggut-manggut] Tapi Luc, ah dia tulis sesuai teks Perjanjian Lama "dengan segenap hati, jiwa, kekuatan", tetapi ia juga masukkan tambahan Mark yang menyebut "dan segenap dan akal budi."
LUC: Kalau pakai sumber Perjanjian Lama mestinya cermat, gitu kan?
MATT: Kau tentang Perjanjian Lama tahumu apa sih! Dalam versimu [Luk 10:25-28] kedua perintah itu kautaruh dalam mulut ahli Taurat yang menanyai Yesus, bukan dalam kata-kata Yesus seperti kami laporkan. Lu aje yang cermatan dikit dulu dong!
MARK [buru-buru menyela sebelum Luc sempat menukas Matt]: Sudah, sudah, yang itu asalnya juga dari tulisanku. Memang Yesus mengutip kedua perintah tadi [Mrk 12:29-31]. Tapi seperti kuceritakan, ahli Taurat tadi kemudian mengulang yang dikatakan Yesus [Mrk 12:32-33]. Ini yang diolah Luc, ya kan? Jadi kalian berdua benar. Jangan berantem kayak anak kecil, malu ah.
LUC: Peristiwa tanya jawab itu kupakai untuk mengantar kisah orang Samaria yang baik hati yang menjelaskan bagaimana orang Samaria yang biasanya dianggap tak masuk hitungan sekalipun toh bisa betul-betul menjadi sesama bagi orang Yahudi yang kena musibah di perjalanan. 
MATT: Bagiku, tanya jawab itu menunjukkan bahwa Yesus tak kalah piawai dengan ahli Taurat dalam menafsirkan Perjanjian Lama.
GUS [mulai tertarik]: Gimana?
MATT: Begini, seperti ditulis Mark, ada tambahan dari Yesus bahwa tak ada perintah yang lebih utama dari keduanya tadi. Nah tambahan ini kupertajam dengan mengungkapkannya kembali demikian: "Pada kedua perintah inilah bergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi".
GUS: Jadi, Matt, kau bermaksud menonjolkan pandangan Yesus bahwa kedua perintah memang menjadi dasar dan menjiwai semua hukum Taurat dan kitab para nabi.
MATT [tersenyum puas, dapat angin]: Benar. Bukan maksud Yesus mengabaikan hukum-hukum lain. Justru ia mau menunjukkan makna kumpulan hukum itu. Ini kurang ditekankan Mark, apalagi Luc.
LUC: Tapi Matt , you kan tidak memberi contoh bagaimana mengasihi Tuhan sepenuh-penuhnya dan mengasihi sesama seperti diri sendiri. Orang sekarang lebih mudah menangkap bila diberi cerita. Pendekatan naratif. Itulah sebabnya kutampilkan perumpamaan orang Samaria itu.
MATT: Oke, deh. Cerita orang Samaria yang engkau tampilkan itu menjelaskan perintah kedua. Tapi perintah pertama?
LUC: Belum ngerti? Seluruh kisah Yesus menuju tujuan perjalanannya di Yerusalem (Luk 9:51-19:28) itu penjelasan naratif tentang mengasihi Tuhan dengan sepenuh-penuhnya. Kan nanti pada akhirnya di kayu salib Yesus menyerahkan nyawanya kepada Bapanya yang dikasihinya sepenuh-penuhnya - itu caraku menjelaskan.
MARK: Sudahlah, kita tak perlu menjelaskan sendiri tulisan kita, serahkan saja kepada ekseget.
GUS: Terima kasih, kukira kalian sendiri mau jadi penafsir. Gini, mengenai "kasihilah sesama seperti dirimu sendiri" ada sesuatu yang masih perlu diulas. Kan kalian maksudkan, kasihilah sesama yang punya pengalaman sama seperti dirimu sendiri, begitu kan. Jadi diingatkan bahwa kita ini pada dasarnya mengalami pahit getirnya kehidupan seperti orang lain. Maka ingat nanti kalau sudah lebih beruntung, gitu kan, jangan lupa orang yang sedang ada dalam kesusahan, ya kan? Jadi tafsirnya bukan mengasihi sesama seperti halnya kita mengasihi diri kita sendiri.
MATT [melirik ke Mark yang tampak setuju]: Benar! Itu juga yang kumaksud dalam Mat 19:19 dan 22:39. Paul juga gitu, lihat Rom 13:9, Gal 5:14, juga Opa Jim dalam Yak 2:8.
LUC: Persis. Kalau mau bilang mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri, mestinya diulang kata "mengasihi" itu. Aku ingat kalimat seperti itu dalam tulisan Oom Hans (Yoh 15:12), "Inilah perintahku, yaitu supaya kamu saling mengasihi seperti aku (=Yesus) mengasihi kamu."
GUS [lega mereka bertiga saling setuju]: Kalau bisa kurumuskan kembali, mengasihi Tuhan hendaknya dijalankan dengan kesadaran penuh (= segenap "hati" /"akalbudi") yang keluar dari keyakinan  (= segenap "jiwa") dan tekad utuh (= segenap "kekuatan"). Jadi bukan hanya setengah-setengah, mendua, atau ikut-ikutan, tapi dengan pengertian. Lalu mengasihi sesama itu kan karena sesama itu seperti kita-kita ini juga dalam suka duka kehidupan ini. Kalian tak keberatan dengan parafrase ini kan? 

BERKEAGAMAAN?
Pembicaraan malam itu kemudian semakin berpusat pada kemampuan Yesus memperlihatkan apa itu inti ajaran Taurat dan para nabi, dari hukum-hukum dan kisah-kisah yang mengajarkan hidup sebagai orang percaya. Saya lontarkan pertanyaan kepada ketiga rekan ini bagaimana penjelasannya kok Yesus bisa melihat sedalam itu dan menyampaikan pemahamannya kepada orang banyak. Jawab mereka satu dan sama: Yesus memenuhi kedua perintah utama tadi. Boleh dikatakan, seluruh hidupnya diserahkan untuk mengasihi Yang Mahakuasa dengan kesadaran penuh dan dengan keyakinan dan tekad yang matang. Dan semuanya ini terungkap dalam kesediaannya ikut merasakan yang dialami orang lain. Ia percaya orang lain itu juga seperti dia sendiri: dikasihi Allah dan oleh karenanya dapat mengasihiNya. Inilah dasar dan inti hidup beragama.
Pembicaraan dengan ketiga rekan tadi semakin memperjelas betapa inti hidup beragama itu sebetulnya menomorsatukan Allah dan sesama, bukan aturan-aturan agama belaka yang malah bisa menjauhkan orang dari sesama dan dari Allah sendiri.

Salam hangat,
A. Gianto

Rabu, 12 Oktober 2011

Punakawan

Senin, 10 Oktober 2011
Sehabis sebuah guncangan, datang gurau. Dalam wayang kulit, humor dipentaskan sehabis gorogoro—setelah bumi terguncang dan langit bergetar hingga bintang nyaris padam dan gunung dan hutan tampak seakan-akan terbang. Adegan kalang-kabut itu segera diikuti bagian punakawan: Petruk, Gareng, Bagong, dan Semar muncul.

Dalam King Lear, Shakespeare juga menampilkan "the Fool" setelah raja tua itu secara dramatis meninggalkan istana dan hidup di padang rumput yang dingin. Atau si penggali kubur dalam Hamlet setelah Ophelia yang malang itu bunuh diri. Atau si penjaga pintu dalam Macbeth setelah Raja ditikam di kamar tamu.


Seperti para punakawan, tokoh-tokoh itu juga sering disamakan dengan badut. Tapi tak tepat. Ada yang tersirat lebih jauh dalam gurau mereka, setelah chaos dan destruksi: mereka tak cuma ingin disambut ketawa. Jan Kott, penelaah Shakespeare yang termasyhur itu, benar ketika ia mengatakan bahwa "the Fool", si Bodor dalam King Lear, hadir dalam tragedi itu sebagai penolakan terhadap semua yang lahiriah, hukum dan tatanan moral. Dengan kata lain, penolakan terhadap semua hal yang dikukuhkan raja-raja; si Bodor telah menyaksikan yang brutal dan didera nafsu di lingkungan istana. Maka baginya Lear, raja tua yang terusir itu, menggelikan; jauh di keluasan padang yang muram itu ia masih hendak menegakkan aura kekuasaannya yang fiktif. "Si Bodor tahu," tulis Kott, "satu-satunya kegilaan yang sejati adalah mengenali dunia sebagai sesuatu yang rasional."


Dengan kata lain orang akan lebih selamat bila tahu kehidupan di dunia adalah sesuatu yang tak rasional—sebuah pandangan yang mengandung protes dan kritik dari lapisan paling bawah. Sebab tatanan selamanya ditegakkan dengan cara membagi-bagi hal-ihwal di dunia, sementara hal-ihwal itu sebenarnya terus-menerus berubah, bergeser, bercampur. Ada yang dipaksakan dalam tiap tatanan; apa saja yang berbeda dianggap sesat atau kurang. Yang "normal" menyingkirkan yang "abnormal"—padahal sesuatu dianggap "normal" hanya karena adanya yang "abnormal".


Petruk, Gareng, Bagong, dan Semar adalah tokoh-tokoh yang abnormal. Tubuh dan wajah mereka grotesk. Hidung Petruk panjang seperti lobak, hidung Gareng seperti sarung tinju, dan rahang Bagong seperti roda becak yang ketabrak. Semar yang berkuncung—ia sering dikatakan "bukan-pria-bukan-wanita"—punya pantat yang menggelembung seperti balon yang gagal naik.

Kita tak pernah tahu asal-usul mereka. Yang pasti, mereka tak ada dalam Mahabharata. Yang pasti, mereka pengacau: mereka, seperti si Bodor menurut Kott, adalah sebuah penolakan. Yang mereka tolak, dan sekaligus mereka kacaukan, adalah rezim estetika yang berlaku. Mereka sebuah interupsi yang mengganggu apa yang disebut Rancière sebagai "le partage du sensible": konsensus atau tatanan yang memisahkan dan membagi-bagi sesama (manusia, makhluk, hal-ihwal) dalam klasifikasi berdasarkan kemampuan berpikir, selera, dan sikap—tentu saja sebagai bagian keinginan yang berkuasa.

Dalam rezim estetika itu, yang "halus" ditaruh di tempat yang diunggulkan. Yang "halus" ditandai keapikan aristokratik: anggun, gemulai, rapi, ramping (bukan kurus kering)—tanda fisik dan kejiwaan orang yang tak harus bekerja di lingkungan yang keras dan kotor, cukup punya waktu senggang dan kekuasaan hingga tak perlu menyampaikan kehendak dengan suara tak sabar. Mereka juga orang-orang yang cukup gizi hingga biasa makan dengan kalem, tak tampak gelojoh.

Adapun mereka yang tak punya ciri-ciri itu dianggap hina, bahkan sebagai musuh: orang seberang, raksasa, atau Kurawa.


Jelas rezim estetik itu terkait dengan kekuatan dan posisi politik. Mahabharata adalah epos para pangeran di sebuah masyarakat yang ditata dengan klasifikasi yang yakin. Ketika epos itu berkembang di Jawa (mungkin di abad ke-7), klasifikasi dari India itu tak sepenuhnya diterima.

Mungkin para dalang, yang umumnya berasal dari luar pagar para bangsawan, menyusupkan sebuah protes. Wujudnya Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, makhluk yang tak elegan tapi perlu. Di tiap pagelaran dalang akan mengisyaratkan tak stabilnya rezim dan konsensus; gorogoro selalu terjadi—dan sejarah Jawa memang tak asing dengan guncangan-guncangan politik yang besar.

Sehabis gorogoro: gurau. Gurau sebenarnya sebuah interupsi, bahkan pengacauan, dalam bentuk lain. Sifatnya bertentangan dan sebab itu tak bisa dijinakkan. Ada yang agresif, ketika gurau itu menjadikan orang lain sasaran untuk ditertawai; tapi ada juga solidaritas, hingga orang bisa ketawa bersama-sama. Ada yang anarkistis dalam lelucon, tapi juga ada kehendak untuk memulihkan keadaan, misalnya dengan menghibur.

Dengan paradoks itulah gurau para punakawan berperan. Bahkan sesekali diciptakan kisah dengan satire yang radikal: dalam lakon Taliputro-Taliputri, Petruk dan Gareng mengalahkan para dewa.


Tentu saja akhirnya para demos itu kembali ke bawah. Sebuah gurauan hanya efektif bila tak berkepanjangan. Tiap penonton wayang tahu, para punakawan tak berencana mengubah nasib. Tak ada seruan pembebasan dari dan untuk para Petruk. Bahkan tiap kali Semar akan memulihkan keadaan; ia akan menghentikan pengacauan mereka dengan petuah-petuah. Bukankah ia dewa Ismaya yang mengambil wujud manusia yang mengabdi: sang penegak tata itu juga pelayan tata?

Tapi mungkin inilah "hiburan": sebuah emansipasi sejenak. Saat-saat egaliter terjadi ketika si hamba tampil tak terkait pada rezim apa pun, bahkan mengolok-olok si majikan. Siapa tahu yang sejenak itu bisa juga memberi inspirasi.


Goenawan Mohamad

Jumat, 07 Oktober 2011

Injil Minggu Biasa XXVIII/ A

tgl. 9 Okt 2012 (Mat 22:1-14)

Rekan-rekan yang budiman!
Dalam Mat 22:1-14 yang dibacakan sebagai Injil Minggu Biasa ke 28 tahun A ini disampaikan perumpamaan mengenai siapa yang akhirnya masuk ke dalam Kerajaan Surga dan bagaimana mereka bisa sampai ke sana. Beginilah ceritanya. Ada orang-orang yang sebenarnya sejak awal sudah beruntung karena "diundang ke perjamuan" tapi mereka malah meremehkan ajakan ini. Karena itu keberuntungan yang sebenarnya dapat mereka nikmati jadi beralih kepada orang-orang lain yang tadinya tidak masuk hitungan. Apa artinya semua ini bagi kehidupan kini?
VERSI MATIUS DAN LUKAS
Selain dalam Mat 22:1-14, perumpamaan tentang undangan yang menolak datang itu didapati juga dalam Luk 14:15-24. (Untuk penjelasan versi Lukas, lihat _Langkahnya...Langkahku!_ [Kanisius, Yogyakarta 2005], hlm. 155-156.) Namun ada tiga hal yang khas pada versi Matius yang tidak dijumpai dalam versi Lukas

1. Dalam Injil Matius, undangannya ialah ke perjamuan makan siang (Yunani "ariston", Latin "prandium") bagi pesta nikah seorang anak raja. Lukas menyebutnya perjamuan makan malam (Yunani "deipnon", Latin "coena") yang besar yang sudah disanggupi para undangan. Seperti kebiasaan kita, pada zaman itu perhelatan meriah memang biasanya diadakan pada malam hari. Lebih relaks, lebih membangun suasana. Kesempatan seperti itu tidak diadakan siang hari kecuali peristiwanya amat penting dan resmi seperti halnya pesta nikah. Inilah yang lebih ditonjolkan Matius. Perjamuan dalam pesta nikah lebih resmi daripada perjamuan untuk membangun keakraban. Hadirin diajak ikut menjadi saksi peristiwa itu. Apalagi pesta nikah anak raja.
2. Dalam perumpamaan Matius, sang raja sampai dua kali mengundang. Yang kedua kalinya bahkan ada nada memohon. Tetapi orang-orang yang diundang tetap tidak mau datang. Begitulah digarisbawahi dalam Injil Matius penolakan yang makin keras. Ada yang tak peduli, ada yang meremehkan undangan, malah menyiksa dan membunuh suruhan raja. Ini sama dengan memutuskan hubungan. Lukas lain. Ia lebih menekankan dalih para undangan yang sudah bersedia datang ketika diundang tapi kini ingkar.
3. Matius dan Lukas sama-sama mengatakan bahwa akhirnya orang-orang lain yang tadinya tidak diundang kini didatangkan ke perjamuan. Tetapi Matius masih menceritakan bahwa sang raja mendapati orang yang datang tanpa pakaian pesta. Orang itu kemudian tidak diperbolehkan ikut pesta dan dikeluarkan. Lukas tidak menyinggung adanya orang yang tak pantas ikut perjamuan malam. Tetapi ia meneruskan perumpamaan itu dengan menyampaikan pengajaran Yesus mengenai perlunya komitmen utuh dalam mengikutinya.
Matius berbicara kepada umat yang berasal dari lingkungan Yahudi. Bagi mereka "perjamuan nikah" dan datang dengan "pakaian pesta" memiliki arti yang khusus yang tidak segera ditangkap oleh orang dari kalangan lebih luas seperti halnya umat Lukas. Marilah kita lihat dari dekat kedua gambaran yang dipakai Matius.

PERJAMUAN NIKAH
Disebutkan "Kerajaan Surga seumpama seorang raja yang mengadakan perjamuan nikah untuk anaknya". Bagi pembaca Matius, "perjamuan nikah" membangkitkan gagasan yang lebih dari pada sekedar hadir dalam resepsi, melainkan mengikuti upacara religius dan berbagi hikmatnya. Dalam kesempatan seperti itu dulu kerap didendangkan lagu-lagu kasih antara mempelai lelaki dan mempelai perempuan. Lagu-lagu itu sering bernada erotik, tapi sekaligus juga amat religius. Salah satu bentuk yang paling dikenal dan sudah menjadi bagian Kitab Suci ialah Kidung Agung. Kedua mempelai saling memuji keelokan masing-masing (Kid 1:9:2:7), saling mengungkapkan rasa rindu terhadap satu sama lain (Kid 3:1-5; 5:2-8), saling mengungkapkan nikmatnya ada berduaan (Kid 7:6-8:4). Di dalam kidung-kidung itu kasih antara kedua mempelai tampil sebagai tempat kehadiran yang ilahi tanpa perlu mengatakannya. KehadiranNya memanusia dalam ujud yang paling bisa dirasakan. Bagi orang Yahudi, ikut serta dalam upacara dan perjamuan nikah dalam arti ini dapat mendekatkan orang pada kemanusiaan dan keilahian sekaligus. Karena itu juga penolakan ikut serta perjamuan lebih daripada sekedar tidak menghadiri pesta.
Menolak ajakan untuk menyaksikan pesta nikah juga membuat pesta menjadi sepi dan hambar. Panggilan pertama tidak dipenuhi. Raja yang sebetulnya penuh wibawa kemudian bersikap menghimbau. Ia merendah. Satu kali tidak digubris, ia berusaha lagi. Malah seakan-akan memohon belas kasihan para undangan: jangan biarkan pesta jadi rusak, hidangan sudah siap, lembu dan ternak piaraan sendiri telah dipotong. Tetapi yang diundang semakin meninggikan diri, dan menjadi takabur, dan akhirnya malah membunuh pesuruh sang raja. Mereka tidak mau diganggu lagi. Mereka memutus hubungan. Terlihat betapa kerasnya penolakan terhadap ajakan untuk ikut serta dalam kesempatan yang sebenarnya bakal membuat siapa saja yang ikut semakin utuh hidupnya, semakin memasuki Kerajaan Surga!
Mereka yang menolak kehilangan dua hal. Pertama rusaklah hubungan dengan raja yang bisa melindungi mereka. Kedua mereka kehilangan kesempatan ikut pesta nikah yang meriah yang memiliki arti khusus tadi. Jadi mereka semakin menjauhkan diri dari kesempatan yang bakal membuat hidup mereka berarti. Mereka menjauh dari Kerajaan Surga. Inilah yang hendak ditunjukkan dalam perumpamaan ini.

ORANG-ORANG DI PERSIMPANGAN JALAN
Karena perjamuan nikah telah tersedia tapi yang diundang tak layak datang, maka raja menyuruh hamba-hambanya ke persimpangan jalan, membawa orang-orang yang mereka temui di sana, siapa saja, ke perjamuan nikah tadi. Tak pilih bulu siapa saja didatangkan. Dan pesta itu diselamatkan oleh kehadiran mereka-mereka ini.
Yang dimaksud dengan persimpangan jalan ialah lapangan tempat orang biasanya berkumpul dengan macam-macam maksud: istirahat, menunggu kesempatan kerja, melewatkan waktu, berjualan, membeli. Apa saja. Kegiatan sehari-hari yang bermacam-ragam. Orang-orang yang di situ dengan macam-macam keadaan itulah yang diminta datang ke perjamuan nikah. Di persimpangan jalan...hidup itulah disampaikan ajakannya.
Bagaimana membacanya dengan cara yang lebih cocok bagi zaman ini? Perumpamaan tadi mulai dengan "Kerajaan Surga seumpama.." Jadi dimaksud membantu agar orang menyadari bagaimana cara Yang Mahakuasa mengajak siapa saja ikut masuk ke dalam kehidupan-Nya, ke dalam keakraban dengan-Nya. Dengan mengajak orang ikut serta dalam kegembiraan pesta nikah anaknya, sang raja tadi ingin berbagi kegembiraan. Bahkan boleh dikatakan, kegembiraannya itu baru menjadi nyata bila ikut dirasakan orang lain. Ia berusaha mendatangkan orang-orang untuk ikut. Bahkan ia memohon agar mereka datang. Tetapi permohonan ini dihadapi dengan sikap keras hati dan penolakan. Tidak mau mengambil bagian dalam kehidupan yang sebenarnya tidak dapat sebarangan dibagikan. Penolakan ini makin memisahkan dan menjauhkan mereka satu sama lain. Juga membuat sang raja putus asa dan merasa pestanya bakal rusak. Tetapi ia tidak menyerah. Pestanya itu kemudian dibuka bagi siapa saja yang tadinya tidak termasuk hitungan.
Kerap dijelaskan bahwa para undangan yang menolak datang itu ialah orang Yahudi dan mereka yang didatangkan dari jalanan itu ialah pengikut Yesus. Yang pertama kehilangan Kerajaan Surga, yang kedua memperolehnya. Para hamba yang disuruh mengundang ialah nabi-nabi dan kemudian yang diperlakukan dengan buruk ialah para rasul. Tafsir alegori ini memang sudah ada sejak lama. Dan bahkan sudah mulai pada zaman Injil sendiri ditulis. Namun demikian masih ada keleluasaan untuk memahami perumpamaan ini sebagai perumpamaan untuk membaca kehidupan orang zaman ini, untuk mengartikan pengalaman hidup.

PAKAIAN PESTA
Pesta nikah itu terlaksana justru karena hadirnya orang-orang jalanan tadi. Kerajaan Surga semakin menjadi kenyataan karena dimasuki, dihuni, dikembangkan. Kepada pembaca diberikan ajakan yang amat kuat. Ayo ikut membuat kehidupan yang nyata ini semakin menjadi ujud dari Kerajaan Surga. Bisakah dibalik sehingga dikatakan agar Kerajaan Surga menjadi bagian dari kehidupan nyata? Orang tergoda mengatakan ya, tapi kiranya tidak pas bila begitu. Seolah-olah kerajaan itu sudah ada dan jadi dan tinggal dimasuki, seperti menaiki kereta yang akan jalan. Yang lebih cocok, tiap orang diminta menemukan wujud Kerajaan Surga baginya. Bahan mentahnya: kehidupan sehari-harinya, kehidupannya di persimpangan jalan. Tapi untuk ke sana orang perlu memakai pakaian pesta.
Dalam alam pikiran Semit, pakaian memberi bentuk kepada orang yang memakainya sehingga dapat dikenali. Tidak mengenakan pakaian pesta berarti datang tanpa sungguh mau mengikuti pesta. Orang baru dapat dikatakan datang ikut perjamuan pesta bila memang mau menghadiri pesta itu, bukan untuk urusan lain. Datang tanpa pakaian yang cocok berarti tidak membiarkan diri dikenal sebagai yang datang untuk itu. Komitmen setengah-setengah ini kurang dapat menjadikan hidup orang menjadi bagian dari hidup dalam Kerajaan Surga. Kebalikannya, datang dengan mengenakan pakaian pesta berarti datang tanpa maksud atau tujuan lain. Yang bersangkutan akan dikenali sebagai orang yang hidupnya sedang berubah dari yang ada di persimpangan jalan menjadi dia yang hidup dalam perjamuan yang makin memanusiakan dan makin mendekatkan ke keilahian.

Salam hangat,
A. Gianto

Rabu, 21 September 2011

Guantánamo

Senin, 19 September 2011
Ada sepatah kata yang agaknya dicoba dilupakan Obama—kata yang dicoba dilontarkan jauh-jauh tapi bergetar seperti lembing yang tertancap di tempat lain: "Guantánamo".

Nama itu tak lagi menandai sebuah wilayah. Ia menunjuk ke serangkai ketakjelasan.

Hanya setahun setelah "11/9"—setelah Kota New York diguncang dua pesawat teroris yang menghancurkan Menara Kembar dan membunuh hampir 3.000 orang sekaligus—Amerika Serikat menyerbu Afganistan. Sejumlah orang tertangkap.


Dari Afganistan mereka diterbangkan jauh ke pantai Teluk Guantánamo, wilayah tenggara Kuba yang sejak 1903 disewa AS untuk pangkalan angkatan laut. Pemerintah Kuba yang sekarang menganggap perjanjian itu tak berlaku, tapi Castro tak bisa mengubah keadaan. Anehnya, pemerintah AS sendiri yang kemudian menentukan tempat itu di luar yurisdiksi hukumnya.

Akhirnya "Guantánamo" adalah wilayah yang tak jelas statusnya untuk tahanan yang tak jelas statusnya—orang-orang yang dianggap bukan "tawanan perang" yang berhak diperlakukan dengan ketentuan Konvensi Jenewa.

Dalam ketakjelasan itu pemerintah Bush mengelak dari hukum internasional. Sekaligus ia menunjukkan, sebagaimana ketika menyerbu Irak tanpa mengindahkan PBB, bahwa Amerika Serikat adalah sebuah perkecualian. Negeri lain di muka bumi harus menaati hukum antarbangsa, tapi AS tidak.

Syahdan, di satu sudut Washington Square, satu hari setelah "11/9", saya melihat sederet kalimat terpasang, konon dikutip dari Nelson Mandela. Kata-kata itu seakan-akan memperingatkan agar AS, dalam amarah dan kepedihan, tak terjerumus: "Rasa takut kita yang terdalam bukanlah karena kita tak memadai. Rasa takut kita yang terdalam adalah karena kita kuat, lebih kuat dari yang bisa dibayangkan. Terang-benderang kitalah yang menakutkan kita, bukan kegelapan kita."


Tapi apa mau dikata. Itu cuma kalimat di pojok taman New York. Sejak "11/9", AS merasa jadi korban; ia merasa membawa terang-benderang, bukan kegelapan. Dan ia sadar ia sangat kuat.

Dengan itulah ia memang terjerumus.

"Guantánamo" jadi kata yang terpaut erat dengan kesewenang-wenangan: di sana ditahan ratusan orang yang belum terbukti bersalah untuk waktu yang tak ditentukan. "Guantánamo" juga terpaut dengan penyiksaan.

Satu fragmen penuturan Abu Zubaydah yang ditangkap tentara Amerika dalam satu serbuan di Faisalabad, Pakistan, 28 Maret 2002: "Saya dikeluarkan dari sel saya dan salah seorang interogator membungkus leher saya dengan sehelai handuk, dan dengan itu mereka mengayunkan tubuh saya dan membenturkannya berulang kali ke tembok keras kamar…."


Orang Palestina berumur 31 itu diduga orang penting dalam Al-Qaidah, meskipun belum pernah terbukti. Dalam The New York Review of Books 13 Oktober 2011, dengan tajam dan masygul Mark Danner menulis bagaimana Amerika telah masuk ke state of exception, keadaan luar biasa yang memperkenankan pelanggaran konstitusi dan hak-hak asasi. Yang ditanggungkan Abu Zubaydah adalah contohnya.

Tapi state of exception itu sebenarnya bukan benar-benar keadaan "luar biasa". Penyiksaan atas Abu Zubay­dah adalah satu "de-nasionalisasi" (atau "internasionalisasi") kekejaman: seorang tersangka bisa diperkosa hak-haknya dengan cara mengirimnya ke luar wilayah nasional. Guantánamo dinyatakan berada di luar yurisdiksi hukum Amerika. Para tahanan dikirim ke negeri-negeri lain yang mau bekerja sama, ke bui-bui rahasia nun di Polandia, Maroko, Lithuania, Pakistan, Rumania, juga mungkin Libya. Di sana mereka bisa disiksa untuk "mengaku".


Dengan itu Amerika mengukuhkan keburukan berabad-abad: kesewenang-wenangan terhadap orang yang dianggap musuh adalah hal yang wajar, di mana saja, dulu dan kini. Artinya Amerika tak berada di pihak yang ingin mengubah dunia jadi lebih baik: ia termasuk suara yang yakin tak ada harapan. Presiden Obama, yang mendapat Hadiah Nobel Perdamaian dan pernah berjanji menutup kamp Guantánamo, ternyata seakan-akan melupakannya.

Atau mungkin juga ini peneguhan pandangan yang percaya bahwa semua keputusan tentang baik dan buruk tak memerlukan ingatan panjang, sebab tak ada yang kekal. Yang baik dan yang buruk adalah hasil keputusan politik. "De-nasionalisasi" kekejaman justru menunjukkan bahwa di mana-mana tak ada dasar yang universal yang menentukan apa yang sewenang-wenang dan yang tidak. Kita harus mengakui contingency sebagai kondisi satu-satunya ketika kita coba tentukan nilai-nilai kita: semua bergantung pada konteks; tak ada yang pasti.


Agaknya di sini bergaung pragmatisme yang dikukuhkan Richard Rorty. Bagi Rorty, filsafat, yang hendak menentukan apa yang benar dan yang baik, seyogianya ditinggalkan. Metafisika, yang berpretensi mengetahui apa yang universal, sebenarnya hanya melihat dari luar, dari atas, kejadian. Sebab itu lebih baik sastra ketimbang filsafat. Kata Rorty, lebih baik "menyajikan kisah-kisah yang memberi inspirasi tentang episoda atau tokoh dalam masa lalu bangsa—episoda dan tokoh yang jadi panutan sebuah negeri".

Tapi dengan itu ia menangkis tesisnya sendiri: bukankah "episoda" atau "tokoh" tauladan itu dipilih dengan dasar yang kukuh tentang apa yang baik? Bukan nilai yang hanya lahir dari satu ruang dan waktu?

Ada yang mencatat, pembangkangan di Dunia Arab kini terpaut juga dengan kata "Guantánamo". Di sana banyak orang Arab dianiaya. Akhirnya "Guantánamo" jadi lembing yang bisa ditusukkan siapa saja, di mana saja—dan sebab itu membangkitkan amarah orang-orang di negeri lain, tentang kesewenang-wenangan penguasa mereka.

Pada saat seperti itu, "Guantánamo" punya gema yang mungkin tak disangka Obama.


Goenawan Mohamad

Minggu, 18 September 2011


Belajar mendadak menjelang ujian memang tidak efektif. Paling nggak sebulan sebelum ulangan adalah masa ideal buat mengulang pelajaran. Materi yang banyak bukan masalah. Ada sepuluh cara pintar supaya waktu belajar kita menjadi efektif.

1. Belajar itu memahami bukan sekedar menghapal
Ya, fungsi utama kenapa kita harus belajar adalah memahami hal-hal baru. Kita boleh hapal 100% semua detail pelajaran, tapi yang lebih penting adalah apakah kita sudah mengerti betul dengan semua materi yang dihapal itu. Jadi sebelum menghapal, selalu usahakan untuk memahami dulu garis besar materi pelajaran.

2. Membaca adalah kunci belajar
Supaya kita bisa paham, minimal bacalah materi baru dua kali dalam sehari, yakni sebelum dan sesudah materi itu diterangkan oleh guru. Karena otak sudah mengolah materi tersebut sebanyak tiga kali jadi bisa dijamin bakal tersimpan cukup lama di otak kita.

3. Mencatat pokok-pokok pelajaran
Tinggalkan catatan pelajaran yang panjang. Ambil intisari atau kesimpulan dari setiap pelajaran yang sudah dibaca ulang. Kata-kata kunci inilah yang nanti berguna waktu kita mengulang pelajaran selama ujian.

4. Hapalkan kata-kata kunci
Kadang, mau tidak mau kita harus menghapal materi pelajaran yang lumayan banyak. Sebenarnya ini bisa disiasati. Buatlah kata-kata kunci dari setiap hapalan, supaya mudah diingat pada saat otak kita memanggilnya. Misal, kata kunci untuk nama-nama warna pelangi adalah MEJIKUHIBINIU, artinya merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu.

5. Pilih waktu belajar yang tepat
Waktu belajar yang paling enak adalah pada saaat badan kita masih segar. Memang tidak semua orang punya waktu belajar enak yang sama lo. Tapi biasanya, pagi hari adalah waktu yang tepat untuk berkonsentrasi penuh. Gunakan saat ini untuk mengolah materi-materi baru. Sisa-sisa energi bisa digunakan untuk mengulang pelajaran dan mengerjakan pekerjaan rumah.

6. Bangun suasana belajar yang nyaman
Banyak hal yang bisa buat suasana belajar menjadi nyaman. Kita bisa pilih lagu yang sesuai dengan mood kita. Tempat belajar juga bisa kita sesuaikan. Kalau sedang bosan di kamar bisa di teras atau di perpustakaan. Kuncinya jangan sampai aktivitas belajar kita mengganggu dan terganggu oleh pihak lain.

7. Bentuk Kelompok Belajar
Kalau lagi bosan belajar sendiri, bisa belajar bareng dengan teman. Tidak usah banyak-banyak karena tidak bakal efektif, maksimal lima orang. Buat pembagian materi untuk dipelajari masing-masing orang. Kemudian setiap orang secara bergilir menerangkan materi yang dikuasainya itu ke seluruh anggota lainnya. Suasana belajar seperti ini biasanya seru dan kita dijamin bakalan susah untuk mengantuk.

8. Latih sendiri kemampuan kita
Sebenarnya kita bisa melatih sendiri kemampuan otak kita. Pada setiap akhir bab pelajaran, biasanya selalu diberikan soal-soal latihan. Tanpa perlu menunggu instruksi dari guru, coba jawab semua pertanyaan tersebut dan periksa sejauh mana kemampuan kita. Kalau materi jawaban tidak ada di buku, cobalah tanya ke guru.

9. Kembangkan materi yang sudah dipelajari
Kalau kita sudah mengulang materi dan menjawab semua soal latihan, jangan langsung tutup buku. Cobalah kita berpikir kritis ala ilmuwan. Buatlah beberapa pertanyaan yang belum disertakan dalam soal latihan. Minta tolong guru untuk menjawabnya. Kalau belum puas, cari jawabannya pada buku referensi lain atau internet. Cara ini mengajak kita untuk selalu berpikir ke depan dan kritis.

10. Sediakan waktu untuk istirahat
Belajar boleh kencang, tapi jangan lupa untuk istirahat. Kalau di kelas, setiap jeda pelajaran gunakan untuk melemaskan badan dan pikiran. Setiap 30-45 menit waktu belajar kita di rumah selalu selingi dengan istirahat. Kalau pikiran sudah suntuk, percuma saja memaksakan diri. Setelah istirahat, badan menjadi segar dan otak pun siap menerima materi baru.
Satu lagi, tujuan dari ulangan dan ujian adalah mengukur sejauh mana kemampuan kita untuk memahami materi pelajaran di sekolah. Selain menjawab soal-soal latihan, ada cara lain untuk mengetes apakah kita sudah paham suatu materi atau belum. Coba kita jelaskan dengan kata-kata sendiri setiap materi yang sudah dipelajari. Kalau kita bisa menerangkan dengan jelas dan teratur, tak perlu detail, berarti kita sudah paham.