Keluargaku

Keluargaku

Senin, 31 Oktober 2011

La Guerre

Senin, 17 Oktober 2011

Kini tak akan ada lagi orang tua bertubuh kurus tapi penuh energi itu di restoran di rue Vaugirard nomor 12, Paris.

Umar Said, pemula "Restaurant Indonesia" itu, baru saja meninggal. Umurnya panjang, kisah hidupnya beragam: ia lahir 26 Oktober 1928, di dekat Kota Tumpang, beberapa puluh kilometer dari Malang; ia menyaksikan amarah rakyat kepada penindasan Jepang; ia ikut bertempur di Surabaya dan nyaris terbunuh di bulan November 1945; ia jadi wartawan Indonesia Raya di bawah Mochtar Lubis di Jakarta pada tahun 1950-an—sebuah koran yang menentang Bung Karno dan PKI—dan kemudian memilih bekerja untuk Harian Rakyat, koran resmi PKI.

Sejak PKI dihancurkan, Umar Said terbuang. Ketika peristiwa Oktober 1965 meletus, ia sedang berkunjung ke Aljazair. Ia tak bisa kembali. Akhirnya ia, bersama sejumlah eksil lain, setelah beberapa tahun hidup di Cina, menetap di Paris, jadi warga negara Prancis, memakai nama AndrĂ© Aumars, membuka "Restaurant Indonesia" untuk memberi nafkah dan pekerjaan bagi orang-orang yang terbuang itu, dan….


Riwayatnya (saya baca dari bukunya, Perjalanan Hidup Saya, yang terbit pada 2004) mungkin bukan riwayat seorang tokoh besar. Tapi sejarah Indonesia melekat dalam riwayat itu—juga sejarah seseorang, yang, sebagaimana banyak cendekiawan kiri, punya cita-cita besar untuk Indonesia, dan kemudian terbentur pada yang tragis dalam cita-cita besar itu.

Yang tragis itu bukan saja kematian berpuluh-puluh ribu orang kiri karena dibunuh. Juga tragis bahwa setelah itu ada pertanyaan yang belum dijawab, seakan-akan ada kegaguan yang murung: apa yang jadi pikiran Umar Said, juga mereka yang senasib, ketika setelah pengorbanan yang demikian mengerikan, Partai hancur dengan cepat, praktis tanpa perlawanan, dan tak ada perannya ketika Orde Baru diruntuhkan? Apa juga yang mereka pikirkan ketika setelah itu negara-negara sosialis ambruk dari dalam, dan Cina mengambil "jalan kapitalis" yang dulu dikutuk Mao?

Saya bertemu beberapa kali dengan Umar Said; tak tampak oleh saya ia seorang yang lelah. Rosihan Anwar, wartawan segenerasinya yang memberi kata pengantar untuk buku Perjalanan Hidup, menulis: dalam diri orang ini "selalu ada cause, selalu ada tujuan yang diperjuangkannya".

Beberapa belas tahun setelah ia hidup di Prancis, Umar Said terlibat dalam ikhtiar untuk menegakkan hak-hak asasi manusia yang universal—satu hal yang ganjil bagi seorang simpatisan komunis. Marxisme-Leninisme tak berbicara untuk "manusia yang universal". Tapi agaknya Umar Said berubah. Ia mengalami sendiri, betapa ia dan kawan-kawannya tertolong oleh mereka yang berjuang untuk hak-hak itu, termasuk Amnesty International.


Apa yang disebut "ironi sejarah" terjadi: ketika Mochtar Lubis ditutup korannya dan dipenjarakan di bawah "Demokrasi Terpimpin"—dan orang-orang komunis bersenang hati karena itu—Amnesty International juga yang memperjuangkan pembebasan wartawan antikomunis itu.

Beberapa puluh tahun setelah 1965: sebuah era baru. Umar Said sendiri menulis bahwa ia telah melihat betapa "hal-ihwal adalah rumit, sering kali bersegi banyak", dan selalu berubah. Juga "saya sendiri sudah mengubah pandangan, atau memang hal-ihwal itu sendiri sudah berubah". Tak ada yang mutlak dan mandeg, katanya. Tak ada yang 100% putih atau hitam.

Tapi agaknya ada yang tak berubah bagi seseorang yang "selalu ada cause, selalu ada tujuan yang diperjuangkannya": ia tak akan mengatakan, "Perang telah usai."

Tokoh Diego Mora dalam La guerre est finie, sebuah film Alain Resnais dari tahun 1966, juga tak mengatakan demikian. Tapi anggota Partai Komunis Spanyol ini (dimainkan oleh Yves Montand) makin ragu akan masa depan perjuangannya sendiri. Ia tinggal sebagai eksil di Paris dan diberi tugas menghubungi kawan-kawan seperjuangannya di bawah tanah untuk melakukan pemogokan umum sebagai perlawanan terhadap rezim Jenderal Franco yang berkuasa. Namun Spanyol telah berubah. Sudah hampir 30 tahun berlalu sejak Perang Saudara yang meletus tahun 1936 selesai pada 1939. Selama itu yang Kiri tersingkir dan ditindas, dan Spanyol hanya jadi "puisi liris hati nurani kaum Kiri dan mitos para bekas pejuang".


Diego mulai lelah. Ketika ia menghadapi anak-anak muda yang punya impian revolusioner dengan jalan kekerasan—dengan menyiapkan bom—ia mencoba membenarkan sikapnya yang berbeda dengan mengatakan, dengan berdalih: "Kesabaran dan ironi adalah kebajikan seorang Bolsyewik."

Saya tak tahu kesabaran macam apa dan untuk apa bagi para pejuang Bolsyewik macam Diego dan kawan-kawan—kecuali kesabaran yang menyadari bahwa kemungkinan sebuah revolusi makin jauh. Tapi kesadaran akan ironi lebih perlu: perubahan Spanyol itu bukan hasil mereka yang menghendaki perubahan, melainkan hasil mereka yang justru tak menghendaki perubahan. Sekitar satu dasawarsa setelah La guerre est finie dibuat, Jenderal Franco wafat. Ia siapkan Pangeran Juan Carlos menjadi raja—seorang aristokrat yang mengubah Spanyol jadi sebuah demokrasi.

Kesadaran akan yang tragis dan yang ironis, yang pada akhirnya membentuk kesabaran—itukah yang membuat seseorang lebih arif membaca jalan sejarah? Di akhir bukunya Umar Said melihat dirinya hanya semacam noktah di tengah semesta perjalanan manusia—satu titik yang segera akan tenggelam. Sang pejuang sampai pada sebuah kearifan: manusia bukanlah pusat penggerak yang serba perkasa dalam perjuangan.

Tapi tiap titik yang terbatas itu akan meninggalkan bekas bila ia lahir dalam perjuangan pembebasan bagaikan percik api; dengan kata lain, bila ia menolak mengatakan, "Perang telah usai."


Goenawan Mohamad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar