Keluargaku

Keluargaku

Rabu, 12 Oktober 2011

Punakawan

Senin, 10 Oktober 2011
Sehabis sebuah guncangan, datang gurau. Dalam wayang kulit, humor dipentaskan sehabis gorogoro—setelah bumi terguncang dan langit bergetar hingga bintang nyaris padam dan gunung dan hutan tampak seakan-akan terbang. Adegan kalang-kabut itu segera diikuti bagian punakawan: Petruk, Gareng, Bagong, dan Semar muncul.

Dalam King Lear, Shakespeare juga menampilkan "the Fool" setelah raja tua itu secara dramatis meninggalkan istana dan hidup di padang rumput yang dingin. Atau si penggali kubur dalam Hamlet setelah Ophelia yang malang itu bunuh diri. Atau si penjaga pintu dalam Macbeth setelah Raja ditikam di kamar tamu.


Seperti para punakawan, tokoh-tokoh itu juga sering disamakan dengan badut. Tapi tak tepat. Ada yang tersirat lebih jauh dalam gurau mereka, setelah chaos dan destruksi: mereka tak cuma ingin disambut ketawa. Jan Kott, penelaah Shakespeare yang termasyhur itu, benar ketika ia mengatakan bahwa "the Fool", si Bodor dalam King Lear, hadir dalam tragedi itu sebagai penolakan terhadap semua yang lahiriah, hukum dan tatanan moral. Dengan kata lain, penolakan terhadap semua hal yang dikukuhkan raja-raja; si Bodor telah menyaksikan yang brutal dan didera nafsu di lingkungan istana. Maka baginya Lear, raja tua yang terusir itu, menggelikan; jauh di keluasan padang yang muram itu ia masih hendak menegakkan aura kekuasaannya yang fiktif. "Si Bodor tahu," tulis Kott, "satu-satunya kegilaan yang sejati adalah mengenali dunia sebagai sesuatu yang rasional."


Dengan kata lain orang akan lebih selamat bila tahu kehidupan di dunia adalah sesuatu yang tak rasional—sebuah pandangan yang mengandung protes dan kritik dari lapisan paling bawah. Sebab tatanan selamanya ditegakkan dengan cara membagi-bagi hal-ihwal di dunia, sementara hal-ihwal itu sebenarnya terus-menerus berubah, bergeser, bercampur. Ada yang dipaksakan dalam tiap tatanan; apa saja yang berbeda dianggap sesat atau kurang. Yang "normal" menyingkirkan yang "abnormal"—padahal sesuatu dianggap "normal" hanya karena adanya yang "abnormal".


Petruk, Gareng, Bagong, dan Semar adalah tokoh-tokoh yang abnormal. Tubuh dan wajah mereka grotesk. Hidung Petruk panjang seperti lobak, hidung Gareng seperti sarung tinju, dan rahang Bagong seperti roda becak yang ketabrak. Semar yang berkuncung—ia sering dikatakan "bukan-pria-bukan-wanita"—punya pantat yang menggelembung seperti balon yang gagal naik.

Kita tak pernah tahu asal-usul mereka. Yang pasti, mereka tak ada dalam Mahabharata. Yang pasti, mereka pengacau: mereka, seperti si Bodor menurut Kott, adalah sebuah penolakan. Yang mereka tolak, dan sekaligus mereka kacaukan, adalah rezim estetika yang berlaku. Mereka sebuah interupsi yang mengganggu apa yang disebut Rancière sebagai "le partage du sensible": konsensus atau tatanan yang memisahkan dan membagi-bagi sesama (manusia, makhluk, hal-ihwal) dalam klasifikasi berdasarkan kemampuan berpikir, selera, dan sikap—tentu saja sebagai bagian keinginan yang berkuasa.

Dalam rezim estetika itu, yang "halus" ditaruh di tempat yang diunggulkan. Yang "halus" ditandai keapikan aristokratik: anggun, gemulai, rapi, ramping (bukan kurus kering)—tanda fisik dan kejiwaan orang yang tak harus bekerja di lingkungan yang keras dan kotor, cukup punya waktu senggang dan kekuasaan hingga tak perlu menyampaikan kehendak dengan suara tak sabar. Mereka juga orang-orang yang cukup gizi hingga biasa makan dengan kalem, tak tampak gelojoh.

Adapun mereka yang tak punya ciri-ciri itu dianggap hina, bahkan sebagai musuh: orang seberang, raksasa, atau Kurawa.


Jelas rezim estetik itu terkait dengan kekuatan dan posisi politik. Mahabharata adalah epos para pangeran di sebuah masyarakat yang ditata dengan klasifikasi yang yakin. Ketika epos itu berkembang di Jawa (mungkin di abad ke-7), klasifikasi dari India itu tak sepenuhnya diterima.

Mungkin para dalang, yang umumnya berasal dari luar pagar para bangsawan, menyusupkan sebuah protes. Wujudnya Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, makhluk yang tak elegan tapi perlu. Di tiap pagelaran dalang akan mengisyaratkan tak stabilnya rezim dan konsensus; gorogoro selalu terjadi—dan sejarah Jawa memang tak asing dengan guncangan-guncangan politik yang besar.

Sehabis gorogoro: gurau. Gurau sebenarnya sebuah interupsi, bahkan pengacauan, dalam bentuk lain. Sifatnya bertentangan dan sebab itu tak bisa dijinakkan. Ada yang agresif, ketika gurau itu menjadikan orang lain sasaran untuk ditertawai; tapi ada juga solidaritas, hingga orang bisa ketawa bersama-sama. Ada yang anarkistis dalam lelucon, tapi juga ada kehendak untuk memulihkan keadaan, misalnya dengan menghibur.

Dengan paradoks itulah gurau para punakawan berperan. Bahkan sesekali diciptakan kisah dengan satire yang radikal: dalam lakon Taliputro-Taliputri, Petruk dan Gareng mengalahkan para dewa.


Tentu saja akhirnya para demos itu kembali ke bawah. Sebuah gurauan hanya efektif bila tak berkepanjangan. Tiap penonton wayang tahu, para punakawan tak berencana mengubah nasib. Tak ada seruan pembebasan dari dan untuk para Petruk. Bahkan tiap kali Semar akan memulihkan keadaan; ia akan menghentikan pengacauan mereka dengan petuah-petuah. Bukankah ia dewa Ismaya yang mengambil wujud manusia yang mengabdi: sang penegak tata itu juga pelayan tata?

Tapi mungkin inilah "hiburan": sebuah emansipasi sejenak. Saat-saat egaliter terjadi ketika si hamba tampil tak terkait pada rezim apa pun, bahkan mengolok-olok si majikan. Siapa tahu yang sejenak itu bisa juga memberi inspirasi.


Goenawan Mohamad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar