Keluargaku

Keluargaku

Rabu, 21 September 2011

Guantánamo

Senin, 19 September 2011
Ada sepatah kata yang agaknya dicoba dilupakan Obama—kata yang dicoba dilontarkan jauh-jauh tapi bergetar seperti lembing yang tertancap di tempat lain: "Guantánamo".

Nama itu tak lagi menandai sebuah wilayah. Ia menunjuk ke serangkai ketakjelasan.

Hanya setahun setelah "11/9"—setelah Kota New York diguncang dua pesawat teroris yang menghancurkan Menara Kembar dan membunuh hampir 3.000 orang sekaligus—Amerika Serikat menyerbu Afganistan. Sejumlah orang tertangkap.


Dari Afganistan mereka diterbangkan jauh ke pantai Teluk Guantánamo, wilayah tenggara Kuba yang sejak 1903 disewa AS untuk pangkalan angkatan laut. Pemerintah Kuba yang sekarang menganggap perjanjian itu tak berlaku, tapi Castro tak bisa mengubah keadaan. Anehnya, pemerintah AS sendiri yang kemudian menentukan tempat itu di luar yurisdiksi hukumnya.

Akhirnya "Guantánamo" adalah wilayah yang tak jelas statusnya untuk tahanan yang tak jelas statusnya—orang-orang yang dianggap bukan "tawanan perang" yang berhak diperlakukan dengan ketentuan Konvensi Jenewa.

Dalam ketakjelasan itu pemerintah Bush mengelak dari hukum internasional. Sekaligus ia menunjukkan, sebagaimana ketika menyerbu Irak tanpa mengindahkan PBB, bahwa Amerika Serikat adalah sebuah perkecualian. Negeri lain di muka bumi harus menaati hukum antarbangsa, tapi AS tidak.

Syahdan, di satu sudut Washington Square, satu hari setelah "11/9", saya melihat sederet kalimat terpasang, konon dikutip dari Nelson Mandela. Kata-kata itu seakan-akan memperingatkan agar AS, dalam amarah dan kepedihan, tak terjerumus: "Rasa takut kita yang terdalam bukanlah karena kita tak memadai. Rasa takut kita yang terdalam adalah karena kita kuat, lebih kuat dari yang bisa dibayangkan. Terang-benderang kitalah yang menakutkan kita, bukan kegelapan kita."


Tapi apa mau dikata. Itu cuma kalimat di pojok taman New York. Sejak "11/9", AS merasa jadi korban; ia merasa membawa terang-benderang, bukan kegelapan. Dan ia sadar ia sangat kuat.

Dengan itulah ia memang terjerumus.

"Guantánamo" jadi kata yang terpaut erat dengan kesewenang-wenangan: di sana ditahan ratusan orang yang belum terbukti bersalah untuk waktu yang tak ditentukan. "Guantánamo" juga terpaut dengan penyiksaan.

Satu fragmen penuturan Abu Zubaydah yang ditangkap tentara Amerika dalam satu serbuan di Faisalabad, Pakistan, 28 Maret 2002: "Saya dikeluarkan dari sel saya dan salah seorang interogator membungkus leher saya dengan sehelai handuk, dan dengan itu mereka mengayunkan tubuh saya dan membenturkannya berulang kali ke tembok keras kamar…."


Orang Palestina berumur 31 itu diduga orang penting dalam Al-Qaidah, meskipun belum pernah terbukti. Dalam The New York Review of Books 13 Oktober 2011, dengan tajam dan masygul Mark Danner menulis bagaimana Amerika telah masuk ke state of exception, keadaan luar biasa yang memperkenankan pelanggaran konstitusi dan hak-hak asasi. Yang ditanggungkan Abu Zubaydah adalah contohnya.

Tapi state of exception itu sebenarnya bukan benar-benar keadaan "luar biasa". Penyiksaan atas Abu Zubay­dah adalah satu "de-nasionalisasi" (atau "internasionalisasi") kekejaman: seorang tersangka bisa diperkosa hak-haknya dengan cara mengirimnya ke luar wilayah nasional. Guantánamo dinyatakan berada di luar yurisdiksi hukum Amerika. Para tahanan dikirim ke negeri-negeri lain yang mau bekerja sama, ke bui-bui rahasia nun di Polandia, Maroko, Lithuania, Pakistan, Rumania, juga mungkin Libya. Di sana mereka bisa disiksa untuk "mengaku".


Dengan itu Amerika mengukuhkan keburukan berabad-abad: kesewenang-wenangan terhadap orang yang dianggap musuh adalah hal yang wajar, di mana saja, dulu dan kini. Artinya Amerika tak berada di pihak yang ingin mengubah dunia jadi lebih baik: ia termasuk suara yang yakin tak ada harapan. Presiden Obama, yang mendapat Hadiah Nobel Perdamaian dan pernah berjanji menutup kamp Guantánamo, ternyata seakan-akan melupakannya.

Atau mungkin juga ini peneguhan pandangan yang percaya bahwa semua keputusan tentang baik dan buruk tak memerlukan ingatan panjang, sebab tak ada yang kekal. Yang baik dan yang buruk adalah hasil keputusan politik. "De-nasionalisasi" kekejaman justru menunjukkan bahwa di mana-mana tak ada dasar yang universal yang menentukan apa yang sewenang-wenang dan yang tidak. Kita harus mengakui contingency sebagai kondisi satu-satunya ketika kita coba tentukan nilai-nilai kita: semua bergantung pada konteks; tak ada yang pasti.


Agaknya di sini bergaung pragmatisme yang dikukuhkan Richard Rorty. Bagi Rorty, filsafat, yang hendak menentukan apa yang benar dan yang baik, seyogianya ditinggalkan. Metafisika, yang berpretensi mengetahui apa yang universal, sebenarnya hanya melihat dari luar, dari atas, kejadian. Sebab itu lebih baik sastra ketimbang filsafat. Kata Rorty, lebih baik "menyajikan kisah-kisah yang memberi inspirasi tentang episoda atau tokoh dalam masa lalu bangsa—episoda dan tokoh yang jadi panutan sebuah negeri".

Tapi dengan itu ia menangkis tesisnya sendiri: bukankah "episoda" atau "tokoh" tauladan itu dipilih dengan dasar yang kukuh tentang apa yang baik? Bukan nilai yang hanya lahir dari satu ruang dan waktu?

Ada yang mencatat, pembangkangan di Dunia Arab kini terpaut juga dengan kata "Guantánamo". Di sana banyak orang Arab dianiaya. Akhirnya "Guantánamo" jadi lembing yang bisa ditusukkan siapa saja, di mana saja—dan sebab itu membangkitkan amarah orang-orang di negeri lain, tentang kesewenang-wenangan penguasa mereka.

Pada saat seperti itu, "Guantánamo" punya gema yang mungkin tak disangka Obama.


Goenawan Mohamad

Minggu, 18 September 2011


Belajar mendadak menjelang ujian memang tidak efektif. Paling nggak sebulan sebelum ulangan adalah masa ideal buat mengulang pelajaran. Materi yang banyak bukan masalah. Ada sepuluh cara pintar supaya waktu belajar kita menjadi efektif.

1. Belajar itu memahami bukan sekedar menghapal
Ya, fungsi utama kenapa kita harus belajar adalah memahami hal-hal baru. Kita boleh hapal 100% semua detail pelajaran, tapi yang lebih penting adalah apakah kita sudah mengerti betul dengan semua materi yang dihapal itu. Jadi sebelum menghapal, selalu usahakan untuk memahami dulu garis besar materi pelajaran.

2. Membaca adalah kunci belajar
Supaya kita bisa paham, minimal bacalah materi baru dua kali dalam sehari, yakni sebelum dan sesudah materi itu diterangkan oleh guru. Karena otak sudah mengolah materi tersebut sebanyak tiga kali jadi bisa dijamin bakal tersimpan cukup lama di otak kita.

3. Mencatat pokok-pokok pelajaran
Tinggalkan catatan pelajaran yang panjang. Ambil intisari atau kesimpulan dari setiap pelajaran yang sudah dibaca ulang. Kata-kata kunci inilah yang nanti berguna waktu kita mengulang pelajaran selama ujian.

4. Hapalkan kata-kata kunci
Kadang, mau tidak mau kita harus menghapal materi pelajaran yang lumayan banyak. Sebenarnya ini bisa disiasati. Buatlah kata-kata kunci dari setiap hapalan, supaya mudah diingat pada saat otak kita memanggilnya. Misal, kata kunci untuk nama-nama warna pelangi adalah MEJIKUHIBINIU, artinya merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu.

5. Pilih waktu belajar yang tepat
Waktu belajar yang paling enak adalah pada saaat badan kita masih segar. Memang tidak semua orang punya waktu belajar enak yang sama lo. Tapi biasanya, pagi hari adalah waktu yang tepat untuk berkonsentrasi penuh. Gunakan saat ini untuk mengolah materi-materi baru. Sisa-sisa energi bisa digunakan untuk mengulang pelajaran dan mengerjakan pekerjaan rumah.

6. Bangun suasana belajar yang nyaman
Banyak hal yang bisa buat suasana belajar menjadi nyaman. Kita bisa pilih lagu yang sesuai dengan mood kita. Tempat belajar juga bisa kita sesuaikan. Kalau sedang bosan di kamar bisa di teras atau di perpustakaan. Kuncinya jangan sampai aktivitas belajar kita mengganggu dan terganggu oleh pihak lain.

7. Bentuk Kelompok Belajar
Kalau lagi bosan belajar sendiri, bisa belajar bareng dengan teman. Tidak usah banyak-banyak karena tidak bakal efektif, maksimal lima orang. Buat pembagian materi untuk dipelajari masing-masing orang. Kemudian setiap orang secara bergilir menerangkan materi yang dikuasainya itu ke seluruh anggota lainnya. Suasana belajar seperti ini biasanya seru dan kita dijamin bakalan susah untuk mengantuk.

8. Latih sendiri kemampuan kita
Sebenarnya kita bisa melatih sendiri kemampuan otak kita. Pada setiap akhir bab pelajaran, biasanya selalu diberikan soal-soal latihan. Tanpa perlu menunggu instruksi dari guru, coba jawab semua pertanyaan tersebut dan periksa sejauh mana kemampuan kita. Kalau materi jawaban tidak ada di buku, cobalah tanya ke guru.

9. Kembangkan materi yang sudah dipelajari
Kalau kita sudah mengulang materi dan menjawab semua soal latihan, jangan langsung tutup buku. Cobalah kita berpikir kritis ala ilmuwan. Buatlah beberapa pertanyaan yang belum disertakan dalam soal latihan. Minta tolong guru untuk menjawabnya. Kalau belum puas, cari jawabannya pada buku referensi lain atau internet. Cara ini mengajak kita untuk selalu berpikir ke depan dan kritis.

10. Sediakan waktu untuk istirahat
Belajar boleh kencang, tapi jangan lupa untuk istirahat. Kalau di kelas, setiap jeda pelajaran gunakan untuk melemaskan badan dan pikiran. Setiap 30-45 menit waktu belajar kita di rumah selalu selingi dengan istirahat. Kalau pikiran sudah suntuk, percuma saja memaksakan diri. Setelah istirahat, badan menjadi segar dan otak pun siap menerima materi baru.
Satu lagi, tujuan dari ulangan dan ujian adalah mengukur sejauh mana kemampuan kita untuk memahami materi pelajaran di sekolah. Selain menjawab soal-soal latihan, ada cara lain untuk mengetes apakah kita sudah paham suatu materi atau belum. Coba kita jelaskan dengan kata-kata sendiri setiap materi yang sudah dipelajari. Kalau kita bisa menerangkan dengan jelas dan teratur, tak perlu detail, berarti kita sudah paham.

Kamis, 15 September 2011

11/9

Senin, 12 September 2011
Sudah sepuluh tahun lewat. 11 September 2001. Tapi saya ingat: malam itu, sembilan jam setelah dua pesawat itu ditabrakkan ke Menara Kembar di New York dan seluruh dunia terguncang, saya berdiri di tepi Bleecker Street, Greenwich Village.


Saya bersama Komponis Tony Prabowo. Kami terdampar di New York. Berdua dalam perjalanan ke sebuah kota kecil di California untuk menyiapkan revisi opera kami Kali, kami tak bisa bergerak oleh kejadian 11 September itu: tak ada pesawat boleh terbang dari kota ini, masuk ke kota ini.

New York jadi aneh. Malam itu, tak tahu apa yang harus dilakukan, kami berjalan ke arah selatan. Tak ada kereta subway. Tak ada taksi. Hari tambah gelap, ketika, didorong oleh separuh iseng dan separuh ingin tahu, kami menyusuri Mercer Street, ke Wall Street, di mana Menara Kembar masih dalam api dan asap yang menggagahinya.


Cahaya listrik hilang di wilayah itu. Beberapa belas meter dari Duane Street kami lihat lampu-lampu sorot besar di antara bayangan hitam gedung-gedung. Sejumlah prajurit bersenjata bersiaga, di antara asap dan abu yang membuat kabut. Bagian kota ini seperti dalam keadaan perang.

Di dekat stasiun metro Chambers Street yang ditutup, seorang tentara menghentikan kami. 'Anda tak bisa terus. Dilarang masuk ke wilayah ini'.

Dengan setengah kecewa kami kembali, berjalan dalam senyap yang hampir mutlak. Hanya ada satu bar kecil di pojok Worth Street yang buka. Kami masuk. Ada empat orang lelaki di sana. Berbisik-bisik. Kami minum. Praktis terdiam.

Berubahkah New York? Dua malam berikutnya, kami menyusuri jalan-jalan Manhattan. Di beberapa pojok tampak deretan lilin dipasang. Ada potret-potret dilekatkan dan sederet ucapan yang dituliskan seperti doa - untuk mereka yang tak kembali dari Menara Kembar, yang hilang, mungkin hangus atau hancur.

Beberapa belas jam setelah 11/9, New York tampak jadi mizbah. Di altar itu orang mempersembahkan segalanya untuk harapan dalam kecemasan. Ada sesuatu yang tak terduga dan tak bisa dipahami yang menghantam kota perkasa ini. Hidup sehari-hari yang kemarin banal tiba-tiba direngkuh oleh yang sublim - yang tak terperikan, yang ngeri, yang nyeri.


Dari suasana itu Tony Prabowo membuat sebuah komposisi yang ia sebut 'Psalms', untuk piano dan orkes kamar.

Tapi musik yang menangkap suasana itu bukanlah tandingan retorika yang menerjemahkan 11 September 2001. Dengan segera New York diubah dari mezbah jadi podium, dari mana kata-kata memberi nama dan dalih. Juga dusta.

Nama itu: '11/9'. Derrida memakai kata fait date untuk penamaan itu: orang menyebut sebuah tanggal dalam sejarah yang menandai sebuah kejadian yang rasanya tak terbandingkan. Tapi, seperti diingatkan Derrida, kata 'rasanya' itu sebenarnya tak sepenuhnya spontan: perasaan tentang tanggal itu, tentang nama itu, juga dibentuk dan diedarkan melalui media, melalui seperangkat 'mesin tekno-sosio-politis'. Dengan nama itu pelbagai peristiwa, pelbagai sebab-musabab dan pelbagai sikap diringkus jadi satu - dan jadilah ia sebuah penanda yang maknanya ditentukan oleh suara yang paling keras dan, di hari-hari itu, paling sempit.

Dengan nama itu pula, dari Gedung Putih, sejumlah setasiun televisi dan kantor-kantor media, merumuskan sebuah citra yang hendak membuat kejadian yang tak terperi itu jadi sesuatu yang bisa dipahami. 'Amerika sedang diserang!', begitulah yang terdengar berkali-kali -- dengan keterangan bahwa ini serangan kedua ke wilayah Amerika setelah bom-bom Jepang menghantam Pearl Harbor pada 1941.


Retorika Amerika pasca-11/9 berhasil memberi bentuk kepada carut-marut perasaan cemas, bingung, marah yang berkecamuk itu. Teror itu dijinakkan ke dalam sebuah kerangka penjelasan, hingga rasa waswas jadi sesuatu yang bisa dikuasai akal. Retorika itu juga menghadirkan Amerika Serikat sebagai satu kesatuan yang harmonis, tubuh yang tak terdiri dari konflik. Retorika itu juga menampilkan Amerika Sertikat sebagai sesuatu yang tak tercemar oleh sejarah kebijakan luar negeri yang membuat orang, di bagian dunia lain, begitu benci dan begitu nekat hingga menabrakkan dua pesawat terbang ke Menara Kembar hari itu.

Retorika pasca-11/9 adalah sebuah dalih. Kemudian dusta. Sebab '11/9' tak sebanding dengan serangan Jepang di Pearl Harbour 1945. Yang bisa dibandingkan sebenarnya sebuah aksi teror di kota Oklahoma, 19 April 1995. Di sana bom diledakkan di sebuah gedung pemerintah pusat; 168 orang tewas (termasuk 16 bocah di bawah umur 6 tahun) dan 324 gedung hancur atau rusak. Tapi teror ini tak disebut dalam retorika pasca-11/9 karena ia dilakukan orang Amerika sendiri, Timothy McVeigh dan kawan-kawannya. Para penentang pemerintah federal Amerika ini adalah indikasi bahwa negeri itu bukanlah sebuah keutuhan. Sementara itu, para teroris 11/9 (sebagaimana pesawat-pesawat Jepang di Pearl Harbor) adalah 'orang luar' yang dengan ancamannya justru membentuk citra tentang Amerika Serikat sebagai kubu yang tak retak.

Beberapa hari setelah 11/9, bendera garis-dan-bintang dipasang di mana-mana. Ia bahkan satu-satunya yang dikibarkan di Rockefeller Plaza di 50th Street; bendera negara-negara dunia yang sebelumnya terpasang di sana telah dicopot. Amerika Serikat telah mengambil-alih posisi korban, juga suasana berkabung dan kecemasan yang universal, jadi miliknya sendiri. Dengan kata lain: sebuah pengucapan nasionalisme yang tak baru.


Maka aneh bila orang menandaskan, 11/9 telah mengubah dunia. Apa yang berubah? Al-Qaedah tetap tak mengalahkan Amerika dan perang Amerika yang menyusul setelah itu tetap sebuah kekerasan imperial yang lama. Sajak Robinson Jeffers di akhir 1930-an tetap bersuara tajam di abad ke-21: 'Never weep, let them play/ Old violence is not too old to beget new values.'


Goenawan Mohamad

Injil Mg XXV/A 18 Sept 11 (Mat 20:1-16)

Rekan-rekan di Internos,
Karena sedang dipenuhi kesibukan, pengisi rubrik ini meminta saya berbicara mengenai perumpamaan dalam Mat 20:1-16 yang dibacakan pada hari Minggu XXV tahun A ini. Ceritanya tentu sudah anda kenal. Pagi-pagi benar seorang pemilik kebun anggur menawarkan pekerjaan dengan upah sedinar sehari. Upah sedinar memang lazim bagi pekerja harian waktu itu. Tentu saja para pencari kerja menerima. Sang empunya kebun itu kemudian juga mengajak orang yang belum mendapat pekerjaan pada pukul sembilan, duabelas, tiga, dan bahkan sampai pukul lima sore - sejam sebelum usai jam kerja. Masalahnya begini. Tiap pekerja, entah yang datang satu jam sebelum tutup hari, entah yang mulai pagi-pagi mendapat upah sama: satu dinar. Maka yang datang pagi tidak puas, kok upahnya sama dengan yang bekerja satu jam saja. Pemilik kebun menegaskan, bukannya ia berlaku tak adil. Kan tadi sudah saling sepakat mengenai upah sedinar. Ia merasa merdeka memberi upah sedinar juga kepada yang datang belakangan. Jawaban ini menukas rasa iri hati orang yang melihat ia bermurah hati kepada orang lain. Sebenarnya kata-kata itu bukan hanya ditujukan kepada pekerja yang protes melainkan kepada siapa saja yang membaca dan pendengar perumpamaan.
NAFKAH HARIAN DAN KEADILAN BAGI SEMUA
Rekan-rekan, perumpamaan ini kerap menjadi sandungan bagi rasa keadilan baik pada zaman dulu maupun sekarang. Tidak perlu kita poles permasalahannya. Justru perumpamaan itu dimaksud untuk membuat kita semakin mencermati anggapan kita sendiri mengenai keadilan. Kita diajak menyadari bahwa keadilan tak bisa ditafsirkan secara sepihak tanpa merugikan pihak lain. Dan pihak lain di sini ialah orang-orang yang baru mendapat pekerjaan setelah hari hampir lewat. Para pekerja yang merasa mendapat upah terlalu sedikit sebenarnya tidak melihat sisi yang lebih dasar dari keadilan, yakni kesempatan yang sama bagi tiap orang untuk mencari nafkah. Orang yang tak puas itu sebenarnya beruntung karena langsung mendapat pekerjaan tanpa perlu menunggu. Upah yang dijanjikan juga jelas dan wajar menurut kebiasaan waktu itu. Sudah terjamin. Tetapi ada banyak orang yang tak seberuntung mereka. Ada yang masih menganggur sampai siang dan bahkan sampai sore hari karena tak ada yang memberi pekerjaan. Dari mana mereka akan mendapat nafkah bagi hari itu? Apa mereka harus melewatkan malam hari dengan perut kosong? Apa rasa keadilan yang seperti ini tidak muncul?

Sering terdengar, urusan mereka sendirilah bila tidak berhasil mendapat nafkah penyambung hidup. Tetapi hidup dalam Kerajaan Surga tidak demikian. Di situ tersedia kesempatan yang sama baiknya bagi siapa saja. Inilah yang dalam perumpamaan tadi digambarkan dengan tindakan pemilik kebun keluar menawarkan pekerjaan bagi mereka yang kedapatan masih menganggur pada jam sembilan, tengah hari, tiga sore dan bahkan sejam sebelum waktu kerja usai. Mereka yang masih menunggu rezeki tidak ditinggalkan sendirian. Inilah keadilan yang diberlakukan dalam Kerajaan Surga.
Yesus pernah mengajarkan agar kita berdoa kepada Bapa yang ada di surga, mohon diberi "rezeki pada hari ini", maksudnya, nafkah penyambung hari ke hari. Apa yang kita rasakan kita bila kita ada dalam keadaan mereka yang belum mendapatkannya? Orang-orang ini tidak bakal dilupakan.

PERIHAL KERAJAAN SURGA
Kawan-kawan ingat, perumpamaan ini diceritakan Yesus dengan maksud untuk menjelaskan perihal Kerajaan Surga. Ia sudah sering mengajarkan bagaimana kehidupan kita di bumi ini bisa menjadi ruang leluasa bagi kehadiran Yang Mahakuasa. Oleh karena itulah saya menyampaikannya kembali dengan ungkapan Kerajaan Surga. Akan lebih mudah terbayang adanya wahana, ruang batin.
Mark dan Luc lebih suka menyebutnya Kerajaan Allah. Intinya sama, tetapi kedua rekan itu lebih menggarisbawahi yang hadir di dalam ruang batin itu, yakni Allah sendiri. Saya sendiri lebih menyoroti diri kita sebagai ruang tadi. Pemikiran saya ini ada latar belakangnya. Mari kita tengok kembali kisah penciptaan, khususnya yang terjadi pada hari kedua (Kej 1:6-8). Bukankah pada hari kedua itu Allah menjadikan langit? Dan yang dinamaiNya langit itu berperan memisahkan air yang di bawah dan air yang di atas. Karena itulah mulai ada ruang bagi ciptaan-ciptaan berikutnya, yakni daratan, laut, tumbuh-tumbuhan, hewan sampai kepada manusia.

Boleh saya sebutkan, dalam bahasa Ibrani (dan Aram, dan Yunani), kata untuk langit yang kita bicarakan itu sama dengan kata bagi surga, yakni "syamaim" (Aram "syemaya", Yunani "ouranos"). Berkat "syamaim" yang diciptakan tadi, berkat surga, maka bumi beserta isinya, dan khususnya manusia, kiini terlindung. Jadi surgalah yang membendung kekuatan-kekuatan gelap serta kekacauan yang ada di seputar ciptaan yang dilambangkan dengan air-air. Jadi Pencipta menghendaki wahana kehidupan ini sejak awal dilingkupi oleh surga. Bila gagasan Kitab Kejadian di atas diikuti, maka ciptaan bersama isinya tentunya juga dimaksud agar semakin menjadi tempat kehadiranNya. Oleh karena itu, Kerajaan Surga boleh dibayangkan sebagai wahana yang luas tak berbatas yang semakin terisi siapa saya yang ingin masuk berlindung di dalamnya. Yang datang terlebih dahulu atau yang sudah lama menunggu dan baru masuk belakangan akan mendapatkan tempat.
Yesus datang mewartakan bahwa Kerajaan Surga benar-benar sudah ada di dekat. Ia mengajak orang banyak bertobat - ber-metanoia - yang artinya bukan semata-mata kapok dari berbuat jahat dan banting setir, melainkan berwawasan luas melampaui yang sudah-sudah, maksudnya, tidak mengurung diri dalam pandangan-pandangan sendiri, tetapi mulai berpikir jauh ke depan meluangkan diri bagi kehadiran ilahi.

PENERAPAN
Dalam masyarakat kami dulu ada gagasan bahwa semua tindakan di bumi ini cepat atau lambat akan mendapat ganjaran sepadan di sini atau di akhirat, begitu pula kejahatan akan mendapat hukuman setimpal. Semacam balasan dari atas sana dengan menggunakan cara-cara seperti yang ada di dunia. Pendapat ini katanya ada juga dalam masyarakat anda. Kata para ahli, alam pikiran seperti ini ada di mana-mana. Memang ajaran ini menjadi pengontrol perilaku individu. Tapi bila hanya itu, orang akan bertanya-tanya, bagaimana dengan orang yang tidak dapat berbuat banyak? Apa hanya sedikit ganjarannya nanti? Jadi nanti di akhirat ada tingkat-tingkat menurut ukuran yang kita kenal sekarang? Dengan perumpamaan hari ini Yesus mengajak orang menyadari bahwa Kerajaan Surga itu berkembang dengan kemurahan hati Allah dan bukanlah dengan prinsip ganjaran bagi perbuatan di bumi.

Apakah perumpamaan itu memuat sindiran bagi kita manusia yang cenderung bertabiat mau mengambil lebih? Yang mudah iri bila melihat orang lain beruntung? Ah, tak usah kita pakai Injil untuk menyindir. Dan bukan itulah maksud Injil. Yesus kiranya juga tidak bertujuan menyampaikan kritik moral sosial yang perlu kita perkhotbahkan. Tujuannya ialah mengabarkan cara hidup dalam Kerajaan Surga. Pikir punya pikir memang perlakuan istimewa bagi yang masuk kerja belakangan itu termasuk warta mengenai Kerajaan Surga. Kemurahan ilahi juga tidak dapat diukur dengan banyak sedikitnya kerja. Bila diukur dengan cara itu akan tidak klop dan Kerajaan Surga akan menjadi perkara jual beli jasa. Lha nanti akan bermunculan spekulannya, berikut calo-calonya, akan berkembang korupsi dan kolusi!

Ada catatan penting. Orang-orang yang bekerja sejam itu mendapat upah karena juga bekerja sungguh-sungguh. Sedinar itu tidak dihadiahkan begitu saja. Seandainya mereka hanya enak-enak nongkrong di kebun, apa akan mendapat upah? (Ingat orang yang diberi satu talenta tetapi malah menguburkannya! Ia akhirnya tak dapat apa-apa, malah talenta itu diambil daripadanya. Ingat Mat 25:14-30, terutama ay. 24 dst. ) Upah tetap imbalan bagi usaha dan kerja yang nyata. Dan kerja penuh, tidak separo-separo. Yang bekerja hanya sejam itu juga bekerja penuh. Kan tak bisa lebih. Satu jam kemudian sudah tutup hari. Yang datang jam enam pagi ukurannya ya sehari penuh.

Kawan-kawan, Kerajaan Surga itu ditawarkan kepada orang yang berada dalam keadaan yang berbeda-beda. Ada yang sudah menunggu lama tapi tak kunjung mendapatkannya. Kalau dilihat dari sudut pandang ini, boleh jadi kita bisa lebih memahami kenapa pemilik kebun itu bermurah hati. Dan juga kita-kita yang boleh jadi merasa patut mendapat lebih akan merasa tidak perlu menuntut. Apakah kita tidak malah senang ada makin banyak orang yang diajak bekerja? Paling tidak pekerjaan kita bisa jadi ringan! Dan bagaimana bila yang datang terakhir itu justru kita sendiri?

Salam,
Matt

Selasa, 06 September 2011

Injil Minggu Biasa XXIV/A 11 Sept 2011 (Mat 18: 18:21-35)

Rekan-rekan!
Injil Minggu Biasa XXIV tahun A (Mat 18:21-35) kembali berbicara mengenai pengampunan. Kali ini Petrus bertanya sampai berapa kalikah pengampunan bisa diberikan. Pada dasarnya jawaban Yesus hendak mengatakan, tak usah menghitung-hitung, lakukan terus saja. Kemudian ia menceritakan perumpamaan untuk menjelaskan mengapa sikap pengampun perlu ditumbuhkan (ay. 23-35). Pembaca setapak demi setapak dituntun agar menyadari mengapa sikap mengampuni dengan ikhlas itu wajar. Tapi juga yang wajar inilah yang akan membuat Kerajaan Surga semakin nyata.

SAMPAI TUJUH PULUH KALI TUJUH KALI
GUS: Matt, apa sih maksud "7 kali" dan "70 kali 7 kali" dalam pembicaraan antara Petrus dan Yesus?
MATT: Itu gaya berungkap orang Yahudi dulu. Ingat Kej 4:24? Membunuh nyawa Kain akan mendatangkan balasan "tujuh kali lipat", tetapi kejahatan terhadap nyawa Lamekh, keturunan Kain, bakal dibalas bahkan sampai tujuh puluh tujuh kali lipat.
GUS: Kain kan bersalah membunuh Habel, adiknya, karena dengki.
MATT: Benar. Tetapi ia kan ditandai Allah agar nyawanya tidak diganggu-gugat. Yang membunuhnya untuk membalas dendam akan kena hukuman balas sampai tujuh kali lipat (Kej 4:15), maksudnya sampai penuh. Lamekh juga membunuh orang yang melukainya (Kej 4:23), katakan saja untuk membela diri, bukan karena dengki seperti Kain. Dan siapa membalas dendam dengan mengakhiri nyawa Lamekh akan terkena hukuman yang tak terperi besarnya - tujuh puluh tujuh kali lipat - tanpa batas.
GUS: Jadi orang Perjanjian Lama mulai sadar bahwa kebiasaan balas dendam tidak boleh dilanjut-lanjutkan, dan bila dilakukan malah akan memperburuk keadaan.
MATT: Persis. Kembali ke pertanyaan Petrus. Kata-katanya menggemakan upaya membatasi sikap balas dendam tadi. Bila seorang saudara menyalahi untuk pertama kalinya, ditolerir saja dah, begitu juga untuk kedua kalinya, dan seterusnya sampai ketujuh kalinya. Tapi sesudah tujuh kali dianggap kelewat batas dan tak perlu diampuni lagi! Amat longgar, walau masih tetap ada batasnya. Tetapi Yesus hendak mengatakan semua itu tak cukup. Orang mesti berani mengampuni sampai "tujuh puluh kali tujuh kali", artinya, tak berbatas. Malah tak usah memikirkan sampai mana. Sikap pengampun jadi sikap hidup.
GUS: Kalau begitu, pengampunan tak berbatas itu kutub lain dari gagasan yang mendasari ancaman balasan hukuman yang tak berbatas seperti dalam seruan Lamekh tadi.
MATT: Tapi sebenarnya pusat perhatian Injil lebih dalam daripada mengampuni tanpa batas tok. Kan sudah diandaikan para murid punya sikap itu.
GUS: Lho lalu apa?
MATT: Begini, sikap pengampun memungkinkan Kerajaan Surga menjadi nyata di muka bumi ini. Itu tujuan Mat 18:23-35.
GUS: Dalam Sabda Bahagia antara lain disebutkan, orang yang berbelaskasihan itu orang bahagia, karena mereka sendiri akan memperoleh belas kasihan (Mat 5:7). Katanya begitulah cara hidup di dalam Kerajaan Surga. Bolehkah disebutkan, di muka bumi Kerajaan ini baru terasa betul nyata bila ada sikap belas kasihan satu sama lain?
MATT: Benar. Kerajaan Surga memang sudah datang, tapi baru bertumbuh dan betul-betul bisa disebut membahagiakan bila yang mempercayainya juga ikut mengusahakannya. Yesus memahami sikap pengampun bukan sebagai kelonggaran hati atau kebaikan semata-mata, melainkan sebagai upaya ikut memungkinkan agar Kerajaan Surga menjadi kenyataan, bukan angan-angan belaka.
GUS: Doa Bapa Kami (Mat 6:9-13) berawal dengan seruan pujian bagi nama Allah Yang Mahakuasa sebagai Bapa dan diteruskan dengan permohonan agar KerajaanNya datang dan kehendakNya terlaksana dan permintaan agar diberi kekuatan cukup untuk hidup dari hari ke hari.
MATT: Dan baru setelah itu, dalam Mat 6:12, disampaikan permohonan agar kesalahan "kami" diampuni "seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami". Jelas kan? Ukuran bagi dikabulkan tidaknya permintaan ampun tadi ialah kesediaan mengampuni saudara yang kita rasa menyalahi kita.
GUS: Rasa-rasanya Yesus hendak menggugah kesadaran bahwa pengampunan hanya mungkin bila disertai kesediaan seperti terungkap dalam doa Bapa Kami tadi.

MAKNA PERUMPAMAAN
Petikan hari ini juga memuat sebuah perumpamaan (ay. 23-35). Pada bagian pertama (ay. 23-27) digambarkan kebesaran raja yang pengampun terhadap hambanya yang tak dapat membayar hutangnya yang amat besar - 10.000 talenta. Dalam keadaan biasa hamba itu mesti dijual untuk menebus hutangnya, begitu juga anak dan istrinya serta seluruh harta miliknya. Tetapi ia meminta kelonggaran. Ia mohon agar raja bersabar. Dan sang raja tergerak hatinya dan malah menghapus hutang yang besar itu. Raja itu sanggup merugi karena mau sungguh-sungguh menunjukkan belas kasih terhadap hamba yang kesempitan itu.
Siapakah raja itu? Mungkin kita cepat-cepat menganggapnya ibarat bagi Allah yang berbelas kasih. Tapi pemahaman ini tidak amat jitu. Matius sendiri memberi isyarat bahwa bukan itulah maksudnya. Pada awal perumpamaan itu, disebutkan Kerajaan Surga itu seumpama "seorang raja" (ay. 23). Dalam teks Matius dipakai ungkapan "anthropos basileus", harfiahnya, "manusia yang berkedudukan sebagai raja" dan juga "raja yang tetap manusiawi". Memang boleh dimengerti bahwa ungkapan itu mencerminkan gaya bahasa Semit dan "manusia" di situ berarti "seorang", tak penting siapa. Bagaimanapun juga, hendak ditonjolkan bahwa tokoh ybs. itu orang, manusia seperti orang lain, sesama yang saudara, walau beda kedudukannya.
Gagasan di atas bisa diterapkan kepada siapa saja yang mempunyai kuasa atas orang lain. Jadi yang hendak ditampilkan ialah kebesaran orang yang berkedudukan. Makin tinggi kedudukannya makin patutlah ia menunjukkan kemurahan hati terhadap yang dibawahinya. Kan pada dasarnya sama-sama manusia. Makin beruntung makin boleh diharapkan sanggup merugi, sanggup kehilangan sebagian miliknya, sebesar apapun, agar membuat orang bisa ikut merasakan keberuntungan. Ini keluhurannya. Berapa yang dilepaskannya? Amat besar. Satu talenta nilainya antara 6.000 hingga 10.000 dinar. Dan satu dinar ialah upah buruh harian sehari. Maka sepuluh ribu talenta itu jumlah yang amat besar. Makin beruntung orang makin diharapkan dapat menyelami keadaan orang yang sedang bernasib malang. Cara berpikir demikian ditonjolkan. Mengapa? Kiranya memang ada kesadaran bahwa setinggi apapun, sekaya apapun, orang tetap sesama bagi orang lain. Tapi juga semalang apapun, seterpuruk apapun keadaan sosialnya, orang tetap bisa mengharapkan bantuan dari saudara yang lebih beruntung. Inilah yang bakal membuat Kerajaan Surga menjadi kenyataan di dunia ini juga. Ini spiritualitas Matius, ini ajaran rohani Injilnya.
Ringkasnya, bagian pertama perumpamaan itu dimaksud untuk menunjukkan bahwa Kerajaan Surga dibangun atas dasar kesediaan mereka yang berkelebihan untuk berbagi dengan yang kurang beruntung. Dimensi horisontal Kerajaan Surga digarisbawahi dengan jelas.
Pada bagian kedua muncul gambaran yang berkontras. Hamba yang dihapus hutangnya itu tidak mau meneruskan berbelaskasihan yang dialaminya kepada rekannya yang berhutang kepadanya seratus dinar saja. Jadi hanya seperseratus dari hutangnya sendiri. Permintaan rekannya tak digubris. Bisa dicatat, tindakan bersujud dan permintaan kelonggaran rekan ini (ay. 29) sama dengan yang diucapkannya sendiri di hadapan raja majikannya tadi (ay. 26). Tetapi ia tetap tidak mau berbagi keberuntungan. Rekannya dijebloskannya ke penjara. Ada ironi. Tadi atasan bersikap longgar. Kini rekan sekerja kok malah berlaku kejam!

Dalam ay. 31 ada hal yang menarik. Rekan-rekan sekerja lain yang menyaksikan perlakuan kejam tadi menjadi sedih dan melaporkan kejadian itu kepada raja sang majikan hamba yang hutangnya dihapus tadi. Para rekan ini bukan hanya sekadar tambahan cerita. Mereka berperan sebagai suara hati yang masih peka akan keadilan, peka akan kewajiban moral. Dan kepekaan ini menjadi keberanian bersuara mengungkapkan ketidakberesan. Tapi hamba yang kejam tak mau melihat semua ini. Ia tak mau bertindak seperti tuannya. Akhirnya ia sendiri tersiksa sampai ia melunasi hutangnya yang amat besar itu. Apa kesalahannya? Ia menolak menjadi saudara bagi rekan sekerjanya. Dan lebih dari itu, ia juga menolak menjadi saudara bagi tuannya sendiri.

ARAH KE DALAM DAN KE LUAR
Perumpamaan itu berakhir dengan perkataan berikut (ay. 35): "Demikianlah juga yang akan diperbuat oleh Bapaku yang ada di surga terhadap kamu bila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu." Terasa gema permintaan ampun dalam Bapa Kami dan Sabda Bahagia. Keikhlasan mengampuni kiranya menjadi tolok ukur integritas murid-murid Yesus. Dan juga menjadi cara hidup para pengikutnya.
Petrus bertanya tentang mengampuni "saudara" - dan tidak dipakai kata "sesama". Begitu pula perkataan Yesus di atas. Seperti disinggung minggu lalu, "saudara" memang juga sesama, tapi lebih bersangkutan dengan upaya membangun umat dari dalam daripada menggarap kehidupan di masyarakat luas. Tidak semua hal digariskan Injil walau semangatnya bisa berlaku umum. Tetapi diamnya Injil itu menjadi ajakan agar umat mencari jalan bersama dengan unsur-unsur lain di masyarakat luas dalam upaya membuat kemanusiaan semakin pantas.

Salam,
A. Gianto