Keluargaku

Keluargaku

Sabtu, 10 Desember 2011

Pekik
Senin, 05 Desember 2011

Ia selintas mirip Ho Chi Minh yang menyamar jadi buruh perkebunan tebu. Kurus. Misainya memanjang tapi tak rimbun. Rambutnya yang lurus rada kacau, gondrong tapi tak berjela. Keriputnya kentara di kulit wajahnya yang gelap terjemur matahari, tapi otot itu tampak masih liat. Matanya sipit, dengan tilikan tajam (lewat kacamata) yang jail. Atau jenaka.
Djoko Pekik, 70 sekian tahun, masih bisa menertawakan nasib dan dirinya. Saya rasa pelukis ini, dengan sikap ironis, sedang berbahagia.

Dan itu sebuah cerita tersendiri.
Siang itu saya berdiri di sebelahnya, di tepi Kali Be¬dhog yang mengalir tipis dan lirih di kiri rumahnya. Serumpun bambu tinggi menaungi petak tanah itu, sebagaimana ratusan pohon meneduhkan tanahnya di Desa Sembungan itu. Tenteram. Tadi, ketika kami duduk di bangku, menghadapi gelas kopi manis dan piring pisang rebus, ia serius bertanya: apa sebenarnya nasib baginya? Saya tiba-tiba teringat sebaris sajak saya sendiri: "Tuhan, kenapa kita bisa bahagia?"
Pada tahun 1965, Djoko Pekik ditangkap, bersama ribuan orang yang dianggap mendukung PKI. Bersama sederet pelukis lain, anggota grup Bumi Tarung yang aktif di Yogya, juga hampir semua anggota Lekra, ia disekap. Pekik dikurung di Benteng Vredeburg, bangunan buatan VOC ketika mempertahankan cengkeramannya di wilayah Mataram.

Entah berapa ratus orang ditahan di sana. Bisa saya bayangkan betapa padatnya benteng itu. Hampir tiap hari ada tahanan yang mati, dan tak cuma satu: karena sakit, kelaparan, penyiksaan. Pekik teringat ketika pagi hari para tahanan dijemur, disuruh duduk mencangkung dan menatap ke tanah berjam-jam—sementara ada tentara yang naik dan berjalan menginjak-injak deretan kepala mereka, menendangkan sepatu, memukulkan popor bedil.

Trauma merasuk ke dalam diri Pekik sejak itu; ia gemetar tiap melihat warna hijau, warna seragam militer. Setelah 1972, setelah ia lepas dari tahanan dan punya rumah sendiri, ia lawan traumanya dengan cara seorang pelukis: ia cat semua dinding rumahnya dengan warna hijau. Trauma itu pun hilang.
"Saya ini orang yang beruntung," katanya. Di antara kebrutalan yang disaksikan dan dialaminya, dalam penjara ia masih ketemu tentara yang menunjukkan kebaikan-kebaikan kecil: mengajarinya mengecat topi baja dan kopelrim, membiarkannya makan di dapur sampai hampir mati kekenyangan, tak menyiksanya ketika ia dipergoki lepas sebentar untuk beli gula jawa di pasar dekat Benteng Vredeburg.

Tapi nasib baiknya yang terbesar datang karena Bung Karno. Sekitar awal 1966 Bung Karno, yang tahu penyekapan besar-besaran yang terjadi tapi tak cukup kuasa untuk melepaskan mereka (waktu itu, Soeharto, bukan Sukarno, yang praktis mengendalikan keadaan), diam-diam memanggil Overste Mus Subagyo. Perwira polisi militer yang berkuasa di Yogya ini kemudian bercerita kepada Pekik: Bung Karno berpesan agar para seniman yang ditahan tak dihabisi. "Menghasilkan seniman itu lebih susah dari menghasilkan insinyur, Mus," kata Bung Karno menurut cerita Mus Subagyo kepada Pekik.

Mus Subagyo—kabarnya perwira yang ikut menangkap Ketua PKI D.N. Aidit—menghormati Bung Karno sungguh-sungguh, dan ia tahu Bung Karno benar. Ia laksanakan pesan itu.
Djoko Pekik salah seorang yang diam-diam diselamatkannya. Pelukis itu (waktu itu ia bukan apa-apa) diberi ruangan tersendiri di sebuah rumah di luar Vredeburg. Ia tetap dikurung, tapi punya kesempatan berkarya. Pekik sempat membuat sebuah patung. Ia tampaknya tak pernah melupakan jasa perwira polisi militer itu.

Pada 1969, dalam umur 30, di tahanan, Pekik menikahi Tini Purwaningsih. Perempuan manis yang lebih muda 12 tahun ini dikenalnya ketika ia masih kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia di Gampingan. Tini dulu tinggal di belakang sekolah itu. Pasti ada yang mengikat hati gadis Katolik ini hingga ia mau bersuamikan seorang tahanan "Gestapu", lelaki dari keluarga tani Dusun Kedungwaru di Grobogan yang tak punya apa-apa. Apa pun yang menjadikannya, pernikahan mereka panjang dan tenang. Delapan anak lahir, yang sulung ketika Pekik masih dalam status tahanan.

Ketika ia akhirnya bebas, ia mencari nafkah dengan jadi penjahit. Sesekali melukis dengan bahan seadanya. Hidup amat-amat sulit. Ia berjualan kain dengan naik sepeda ke tempat-tempat jauh. Tapi akhirnya ia "ditemukan": karya-karya cat minyaknya yang sempat ia buat mengejutkan para peminat seni rupa. Salah satunya, Ketika Keretaku Tak Berhenti Lama, dipilih untuk ikut dibawa ke Amerika buat pameran seni Indonesia besar-besaran di tahun 1991.

Hidup Pekik berubah. Ia jadi dikenal, ia jadi makmur. Ia membeli tanah yang luas di Kelurahan Bangunjiwo di Kecamatan Kasihan, Bantul. Saya lihat ada seperangkat gamelan yang dimainkan para niyaga, konon tiap Jumat Kliwon. Teman lamanya, juga teman baru, hampir tiap kali bertandang.
Tapi ia tak lupa, lebih dengan rasa sedih ketimbang sakit hati, bagaimana di hari-hari awal kebebasannya ia tetap disisihkan, juga oleh sesama seniman. Saya kira Reformasi 1998 yang memberinya lebih banyak momen bersyukur tanpa mengucapkannya.

Apa sebenarnya arti nasib?
Siang itu saya berdiri di sebelahnya, memandangi Kali Bedhog yang mengalir lirih. Pekik sedang merencanakan pameran yang unik: membawa karya beberapa pelukis di atas rakit, bersama arus. Ketika ia minta bantuan untuk membersihkan sungai itu, tak disangkanya komandan militer setempat mengirim 150 prajurit. Kemudian datang bekerja beberapa puluh polisi.
"Saya orang yang beruntung," kata Djoko Pekik.

Juga Indonesia, tanah airnya, negeri yang beruntung: teror, trauma, dendam, permusuhan lama, akhirnya bisa juga dilarung, dibawa arus waktu. Entah ke mana.

Goenawan Mohamad