Keluargaku

Keluargaku

Minggu, 21 Agustus 2011

Baik

Senin, 15 Agustus 2011 Tiga dewa yang lelah bertemu dengan Wong, penjual air, di tepi kota. Mereka sudah beberapa lama berada di bumi untuk menemukan seorang yang baik hati tapi tak kunjung dapat. Mereka sudah menurunkan firman kebaikan, namun yang mereka temui selama ini hanyalah kekejian, sifat tamak, culas, dan mementingkan-diri.

Lakon Bertolt Brecht, Der gute Mensch von Sezuan, yang ditulis di masa buruk, 1938-1943, dimulai dengan pembuka yang mirip dongeng itu; dunia begitu gelap dan keras hingga realisme membutuhkan parabel. Tak berarti Brecht—waktu itu meninggalkan tanah airnya, Jerman, dan hidup di pengasingan menghindari kaum Nazi—hendak menyingkirkan kita dari hidup dan pelbagai tanda tanyanya. "Orang Baik dari Sezuan" memasukkan kita ke dalam pertanyaan yang bahkan bergema di Indonesia kini: masih adakah orang baik? Bagaimana ia bisa bertahan?


Syahdan, Wong mengantar para dewa itu mencari tempat menginap, tapi tak ada penduduk yang mau menerima. Kecuali Shen Te, seorang pelacur. Ia membatalkan niatnya menemui langganan. Ia lebih baik menolong ketiga tamu asing itu.

Dewa-dewa itu merasa mereka telah menemukan yang mereka cari. Mereka nyatakan Shen Te sebagai orang baik. Tak cuma itu: mereka juga memberinya uang agar bisa membeli satu kedai tembakau. Dengan itu juga mereka ingin melihat, sejauh mana Shen Te bisa merawat kebaikan hatinya dalam keadaan tak lagi miskin.

Shen Te memang baik hati—meskipun orang akan melihatnya sebagai perempuan yang naïf. Ia mengalah terus-menerus kepada keserakahan, kedengkian, kecemburuan, dan kelicikan orang. Kedai tembakaunya dengan segera jadi sasaran permintaan, tuntutan, rongrongan. Ia sendiri diporot orang yang disangkanya telah jadi kekasihnya: Yang Sun, pilot pesawat pos yang menganggur. Di sebuah taman ia ketemu lelaki itu yang mencoba bunuh diri karena putus asa. Ia menolongnya. Shen Te jatuh cinta. Ia bersedia memberikan 500 dolar perak ketika Yang Sun memerlukannya agar mendapat pekerjaan lagi.


Makin lama, perempuan itu makin terpojok. Pada titik puncaknya, ke kedai tembakau yang hampir bangkrut itu muncul Shui Ta. Laki-laki ini mengaku sepupu Shen Te. Ia datang menggantikannya—Shen Te sedang ke luar kota, katanya. Ia pun mengurus kedai. Shui Ta berhasil. Diusirnya semua orang yang menumpang di sana. Kedai tembakau itu jadi tertib.

Pada akhirnya Shui Ta lebih lama tinggal, dan lebih lama pula berperan. Selama itu Shen Te tak juga tampak.

Watak lelaki itu berlawanan dengan sifat sepupunya. Shui Ta keras, tega hati, dan bisa bengis kepada orang lain, juga yang sedang dalam kesulitan. Orang membencinya. Tapi di bawah manajemennya, kedai tembakau itu berkembang. Dari sana lahir sebuah pabrik.

Yang menarik dari lakon Brecht ini ialah bahwa ternyata Shui Ta adalah Shen Te sendiri, yang menyamar sebagai lelaki. Ini diketahui ketika ia didakwa telah membunuh sepupunya dan mengambil alih miliknya. Di depan hakim, yang terdiri atas para dewa yang dulu menemuinya, Shen Te tampil sebagai sebuah pertanyaan: bisakah orang baik tak hancur lebur di tengah masyarakat yang telah jadi getir dan busuk?

"Bagaimana bisa baik jika semua begitu mahal?" tanya Shen Te. "Perbuatan baik, itu berarti hancur jadi puing!" ujar Shui Ta.


Dewa-dewa mengajarkan apa yang baik, tapi tak hendak melindungi orang yang menjalankan ajaran itu.

Malah kebaikan, dalam pengalaman Shen Te, mirip sebuah hukuman. Orang yang keji justru bebas dari hukuman macam itu. Mengapa demikian para dewa tak menjawab—juga Brecht. Dengan "teater epik"-nya, ia letakkan kewajiban menjawab pertanyaan itu kepada para penonton.

Sekilas Der gute Mensch von Sezuan terasa ditulis untuk menampar muka orang yang lembut hati—yang berarti juga lemah hati. Saya ragu bila lakon ini membenarkan kebakhilan seorang kapitalis seperti Shui Ta. Brecht seorang Marxis yang yakin. Mungkin ia lebih menggugat para dewa yang gagal. Ketika kita menilai manusia demikian keji, kita secara tersirat menuduh para dewa sia-sia.

Atau kita jadi seorang tokoh lakon lain: Alceste, dalam karya Moliere, Le Misanthrope. Orang ini merasa diri paling jujur dan menuntut orang harus jujur. "Di mana-mana yang kutemukan hanya mulut manis yang palsu, ketidakadilan, kepentingan-diri, sikap culas, dan penipuan."

Alceste berniat tak punya hubungan lagi dengan manusia. Seperti Sodom dan Gomorrah, seperti kota tempat Shen Te tinggal, masyarakatnya bagi Alceste tak cukup punya orang baik buat memulihkan harapannya kepada manusia. Maka tempat itu, lingkungan itu, harus ditinggalkan.


Tapi Le Misanthrope yang dipentaskan pertama kali pada 1666 di sebuah teater yang terhormat di Paris tak punya akhir yang tak enak. Setidaknya Alceste tak bunuh diri dan tak menggugat Tuhan. Moliere tak berbicara bahwa masyarakat yang dibenci Alceste harus diubah.

Orang seperti Alceste memang tak hendak mengubah apa pun: manusia tak dilihat sebagai sejarah; manusia akan tetap, sesuai dengan esensinya: busuk.

Dalam hal itu, ia mirip Shen Te + Shui Ta. Tokoh ini bersikap hanya dalam hubungannya dengan dunia yang tak lebih lebar dari kedai tembakau. Shen Te bukan saja terlampau lemah. Kebaikannya hanyalah laku yang secara otomatis lahir—bukan sebagai perlawanan terhadap sinisme. Shui Ta sepenuhnya suara sinisme: ia hanya melihat kekejian sebagai norma di masyarakatnya.

Seperti Brecht, saya tak akan menawarkan jawab yang bisa jadi formula bagi siapa saja. Tapi saya percaya, berhasil atau tidak, perlawanan terhadap sinisme menegaskan bahwa ada yang bernilai dalam hidup, khususnya hidup bersama yang lain. Kita belum pantas membantai atau bunuh diri.


Goenawan Mohamad

Selasa, 09 Agustus 2011

Isak

Senin, 08 Agustus 2011

Sering tak terduga: kemurnian menghendaki kekerasan. Bahkan kematian. Meskipun pada awalnya ini bukan tema kisah Isak, orang dalam cerita ini, yang berjalan naik ke hutan:
"Lelaki itu datang, berjalan ke utara. Seorang yang wungkul dan kuat, dengan jenggot kemerahan yang kaku, dan bekas luka di tangan dan wajahnya… sosok laki-laki dalam kesendirian yang gagah…."
Isak, itulah tokoh novel Markens GrØde Knut Hamsun (terbit 1917, diterjemahkan W.W. Worster menjadi Growth of the Soil). Isak menjauh dari "peradaban"—karena "adab" telah ditentukan oleh abad ke-20. Dengan kata lain, inilah peradaban dengan ekonomi kapitalis yang dilecut loba dan laba, gemuruh mesin yang menggusur apa yang alami, keberisikan suara sumbang karena bunyi-bunyi dari luar yang tak cocok.
Isak masuk hutan: daerah Almenning yang belum dipecah jadi milik yang bisa diperjualbelikan. Ia sampai ke kaki sebuah bukit, tempat kali kecil mengalir dan kelinci meloncat-loncat di antara pakis dan kembang bintang berpucuk tujuh.
Di situ lelaki itu berhenti. Di situ ia menginap. Ia mulai menyiapkan tempat, termasuk membawa tiga ekor kambing. Suatu ketika seorang Lapp pengembara lewat dan melihatnya. "Akan tinggal di sini selamanya?" tanyanya. "Ya," jawab Isak. 

Dari orang-orang Lapp yang lewat itu juga Isak mendapatkan seorang pembantu perempuan yang dibutuhkannya. Namanya Inger. Perempuan ini bersedia hidup dengan lelaki wungkul itu karena ia tak punya banyak pilihan di desanya. Bibirnya mencong, cacat.
Tapi pelan-pelan, Isak mencintainya, meskipun hubungan mereka tak lepas dari kepentingan praktis. Suatu hari Inger datang membawakannya seekor sapi. Merasa berutang, Isak membawakan seekor kuda.
Mereka akhirnya beranak, meskipun dengan tragedi. Inger selalu takut anaknya akan mewarisi cacat tubuhnya, dan ketika itu benar terjadi pada anak ketiga, bayi itu dibunuhnya.
Kemudian perempuan ini beroleh kemahiran menjahit. Ia mulai hidup lepas dan riang. Akhirnya Inger, yang memperbaiki bentuk mulutnya dengan operasi, pada usia sekitar 30 meninggalkan Isak. Bisiknya kepada diri sendiri tentang lelaki gunung itu: "Uh, kamu, tetap saja macam dulu…."
Sebenarnya Isak juga berubah. Ia tak bisa lepas dari abad ke-20 dan "kemajuan". Bersama Geissler, temannya yang terdidik, mahir berbisnis, dan seperti tak terikat pada lokalitas mana pun, Isak mengubah hubungannya dengan tanah: ia memiliki dan menguasainya. Ia jadi tuan tanah Sellanraa, lengkap dengan sistem irigasi. Ia bahkan jadi kaya setelah tanahnya, yang mengandung tembaga, ia jual ke pengusaha Swedia. 

Tapi kemudian hartanya habis dan ia kembali mengolah tanah. Isak menyesali anaknya, Eleseus, yang jadi pedagang, hidup dari komoditas, benda yang cuma dihargai dengan nilai tukar. Isak lebih akrab ke bumi, sesuatu yang tak bergantung pada harga tapi punya makna. "Bumi yang tumbuh…," kata Isak, "adalah satu-satunya sumber, asal dari semuanya."
Asli, murni. Pada dasarnya ia tokoh ideal Knut Hamsun.
Yang asli dan yang murni memang bisa mempesona sebagai sesuatu yang tanpa najis—walau keaslian dan kemurnian sebenarnya tak pernah mungkin. Tapi Hamsun percaya itu sebagaimana ia percaya ke masa sebelum "peradaban", dan sebab itu ia menentang kapitalisme yang membawa mesin dan ketamakan. 

Menjelang akhir novelnya, ia gambarkan Isak sebagai hero:
"Seorang penggarap ladang, jasad dan jiwa; seorang pekerja di tanah yang tanpa jeda. Sesosok hantu yang bangkit dari masa lalu yang menuju ke masa depan… tapi, dengan semua itu, seorang manusia hari ini."
Hamsun tak menyebut, "hantu" itu tak punya masa lalu yang murni, juga bukan makhluk yang tak tersentuh. Sejarah Isak dibangun dari pertemuan dengan orang Lapp, Inger, Geissler, orang Swedia, dan entah apa lagi. Dan sebenarnya tak jelas benarkah Isak di akhir novel itu masih asli seperti bumi.
Tapi Hamsun memegang mithos tentang "asli" dan "murni" dalam hidupnya. Pada 1882 ia berkelana di Amerika Serikat dan melihat orang-orang "Indian". Ia makin yakin, perbedaan ras itu soal yang hakiki. Bukunya tentang "kehidupan budaya Amerika modern" yang terbit pada 1889 menganjurkan agar orang Hitam, makhluk "setengah-monyet" itu, dikembalikan ke Afrika. Tak hanya itu. Dalam majalah Nationalt Tidsskrift 1925 Hamsun menyatakan pentingnya orang Yahudi dipindahkan dari Eropa, agar "ras Putih dapat menghindarkan percampuran darah lebih jauh".
Ia, tentu saja, mengagumi Naziisme. 

Juga sebaliknya. "Pemikir" Nazi terkemuka, Alfred Rosenberg, menganggap Markens GrØde sebagai "epos besar masa kini tentang kemauan bangsa Nordik dalam bentuknya yang primordial dan kekal". Bahkan Hitler mengirimkan ucapan selamat ketika Hamsun mencapai usia 80.
Pada 1921 Hamsun menerima Hadiah Nobel Kesusastraan, terutama karena novel yang kita bicarakan di sini. Medalinya ia kirimkan ke Goebbels, tangan kanan Hitler. Ia bertemu dengan Hitler sendiri tiga tahun sebelum pemimpin besar Nazi itu bunuh diri. Setelah kematian itu, Hamsun masih menulis memuja pahlawannya. Hitler, katanya, "seorang pendekar perang untuk umat manusia, seorang nabi dengan syi’ar baik bagi semua bangsa." 

Hamsun tak peduli bahwa syi’ar tentang kemurnian, keaslian, dan primordialisme dari iman Naziisme akhirnya membinasakan: yang tak murni dan tak asli harus dihabisi.
2011: kita ketemu Anders Behring Breivik, sang pembunuh 77 pemuda. Tak mustahil Hamsun hidup lagi di hatinya. Hanya kini yang harus disingkirkan bukanlah Yahudi, melainkan muslim—sebagai "najis" Eropa.
Kemurnian: alasan yang tua untuk pembunuhan baru.
Goenawan Mohamad

MingguBiasa XX/A - HARI RAYA MARIA DIANGKAT KE SURGA

MingguBiasa XX/A

HARI RAYA MARIA DIANGKAT KE SURGA (Luk 1:39-56; Sabtu petang Luk 11:27-28)

Meskipun sudah dirayakan sejak abad ke-4, baru pada tahun 1950-lah pengangkatan Maria ke surga jiwa dan badan ditegaskan secara resmi sebagai bagian ajaran kepercayaan iman. Sekitar awal abad ke-20 di beberapa kalangan para teolog berkembang aliran berpikir yang pada dasarnya menolak hal-hal yang tak bisa diterangkan dengan akal budi dan pengetahuan pada waktu itu. Pendapat seperti ini meluas pengaruhnya dalam Gereja, juga di kalangan para rohaniwan. Salah satu akibat dari cara berpikir tadi ialah penolakan adanya sisi-sisi keramat dalam kehidupan, termasuk hal-hal yang biasa disebut mukjizat, dan tentu saja tradisi mengenai Maria diangkat ke surga langsung sesudah wafatnya. Tetapi pengalaman pahit dalam dua perang dunia mengajarkan betapa orang sesungguhnya tidak berdaya menghadapi sisi-sisi gelap kemanusiaan sendiri. Berangsur-angsur ketergantungan pada kekuatan ilahi semakin disadari kembali. Dalam hubungan ini penegasan kepercayaan Maria diangkat ke surga jiwa dan badan itu menjadi pernyataan resmi iman Gereja dalam menerima kenyataan mukjizat yang terjadi pada Maria.

MARIA DIANGKAT KE SURGA
Merayakan peristiwa Maria diangkat ke surga dapat menjadi ungkapan kepercayaan akan masa depan kemanusiaan sendiri. Pada satu saat nanti umat manusia seluruhnya akan kembali berada bersama dengan Tuhan di surga. Hal ini sering digambarkan bakal terjadi lewat "pemurnian" dengan pelbagai cara seperti halnya tempat penantian, pengadilan terakhir yang memisahkan orang baik dari orang jahat, atau pembersihan jiwa kedosaan. Inti pemikirannya sama, yakni satu ketika nanti kita akan pulih menjadi warga Firdaus kembali dan masuk ke sana. Dan kita percaya bahwa itu dapat terjadi karena salah satu dari kemanusiaan, yakni Maria, sudah ada di sana dan kini ia melantarkan doa-doa permohonan dari yang biasa hingga yang amat khusus kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Kita acap kali menyadari bahwa Tuhan lebih mendengarkan kita - berkat Maria - daripada kita mendengarkanNya. Maria tahu jalan-jalan menyampaikan doa kita kepada Yang Mahakuasa.

Diceritakan dalam Kitab Kejadian, manusia dan istrinya diusir dari Firdaus karena melanggar larangan memakan buah pengetahuan baik dan buruk. Ini dosa. Dosa membuat kemanusiaan merosot. Sebelumnya mereka akrab dengan dunia ilahi, dapat bercakap-cakap dengan Tuhan. Manusia merasa aman di hadapanNya. Tapi begitu mereka sadar telah melanggar larangannya mereka takut bertemu denganNya dan menyembunyikan diri. Rasa saling percaya rusak dan tidak lagi mereka dapat berdiam di Firdaus. Tuhan mengusir mereka dan bahkan menempatkan malaikat penjaga berpedang api agar mereka tak bisa mendekat ke pohon kehidupan. Manusia kini harus berjerih payah mencari makan agar hidup terus. Istrinya harus menderita tiap kali mau menjadi ibu. Dan penggoda mereka, ular, dikutuk jalan melata. Tapi juga dikatakan seorang keturunan perempuan yang diperdayakannya itu nanti akan meremukkan kepalanya. Ini semuanya ada dalam Kitab Kejadian 3.

Mari kita bayangkan kelanjutan yang tidak diceritakan dalam Alkitab, tapi bisa kita rasa-rasakan. Setelah mengusir manusia dari Firdaus, Tuhan pun menghela nafas. Dan semua penghuni surga pun tertunduk diam. Seluruh Firdaus seperti berkabung. Dan memang suasana ini membuat Tuhan merasa kesepian. Suatu hari Ia mengambil keputusan untuk turun ke dunia mencari manusia yang sudah diusirNya. Ia mengubah diri menjadi suara batin yang ada dalam diri manusia. Dengan demikian, manusia diam-diam dituntunNya melangkah, mungkin dengan jatuh bangun, pada jalan kembali ke Firdaus, lewat jalan lain yang tidak dijaga malaikat berpedang api. Begitulah Ia berharap satu ketika nanti manusia akan bisa berada kembali di surga mengusir suasana murung untuk selama-lamanya.

Hari ini dirayakan kembalinya satu dari keturunan yang telah terusir dari Firdaus tadi. Bukan itu saja. Dirayakan pulihnya suasana gembira di surga. Dirayakan kebesaran Tuhan yang dapat membawa kembali kemanusiaan ke sana. Dirayakan pula kemampuan manusia untuk bekerja sama dengan Tuhan. Dirayakan seorang yang hidup tulus mengikuti suara batin, yang membiarkan diri dituntun suara batin. Dan lebih dari itu. Kandungan suara batinnya itu menjadi darah daging juga - menjadi manusia. Manusia pertama yang bangkit dari kematian dan naik ke surga. Yesus dan dia yang kini mengisi surga dengan kegembiraan. Dia itulah yang menuntun manusia kembali ke sana. Sebagai Guru. Sebagai Gembala yang baik. Sebagai Penyelamat. Tak mengherankan yang pernah membawanya masuk ke dunia ini dengan sendirinya ikut terbawa kembali ke surga. Dia itu Maria, ibu Yesus.

MAGNIFICAT!
Bacaan Injil pada perayaan ini (Luk 1:39-56) memuat dua bagian, yakni kisah Maria mengunjungi Elisabet (ay. 39-45) dan Kidung Pujian "Magnificat" (ay. 46-55) yang berakhir dengan ay. 56 sebagai penutup kisah. Bagian pertama mengisahkan dua orang perempuan yang mendapati diri beruntung. Elisabet yang termasuk kaum yang kena aib karena tidak mengandung sampai usia senja kini akan melahirkan Yohanes Pembaptis. Dan dia yang masih ada dalam rahim itu melonjak kegirangan mendengar salam yang diucapkan Maria yang datang berkunjung. Maria sendiri harus melewati hari-hari tak enak memikirkan bagaimana menjelaskan keadaan dirinya kepada Yusuf, tunangannya. Ia bertanya kepada malaikat yang datang kepadanya, bagaimana mungkin semuanya terjadi. Jawab malaikat menunjuk pada peran Roh Kudus. Begitulah kisah yang disampaikan kepada kita oleh Lukas. Dan kelanjutannya kita ketahui. Maria membiarkan Roh Kudus bekerja dalam dirinya. Itu dia Tuhan yang mengubah diri menjadi suara hati manusia. Dan suara hatinya itu jugalah yang membuatnya berkata "Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu!"
Roh yang sama itu juga yang membuat Maria mengungkapkan pujian yang dibacakan hari ini. Kidung itu mulai pada ay. 46 dengan pujian bagi Tuhan yang turun untuk menyelamatkan. Ia membuat hidup ini berarti. Ia membuat penderitaan bermakna. Kemudian dalam ay. 48 terungkap pengakuan bahwa Tuhan menyayangi orang-orang yang kecil sehingga mereka menjadi besar di mata orang. Tak perlu kita tafsirkan ini sebagai teologi pembalikan nasib orang miskin jadi kaya dan orang kaya jadi melarat. Ayat itu mewartakan kebesaran Tuhan yang tidak takut berdekatan dengan orang kecil, bukan karena tindakan ini romantik, ideal, melainkan karena orang kecil itu dapat memberinya naungan dan mengurangi kesepiannya! Orang sederhana biasanya ingat Tuhan dan itu cukup membuatNya menemukan kembali secercah kegembiraan yang telah hilang dari surga dulu. Ini teologi sehari-hari.
Ayat-ayat selanjutnya, yakni 49-55, berupa pembacaan kembali sejarah terjadinya umat Israel. Ditekankan tindakan-tindakan hebat Tuhan yang membela orang-orang yang dikasihiNya di hadapan pihak-pihak yang mau menindas mereka. Puji-pujian yang terungkap dalam Magnificat ini senada dengan ungkapan kegembiraan dan kepercayaan akan perlindungan ilahi seperti terdapat dalam Kidung Hana dalam 1Sam 2:1-10.

Sering ada anggapan bahwa penderitaan, kemelaratan, ketidakberuntungan, aib, semuanya ini dikenakan sebagai hukuman bagi kesalahan. Juga dianggap bahwa hukuman bisa juga diturunkan kepada keturunan orang yang bersalah. Dosa menurun, hukuman berkelanjutan. Dalam Kidung Magnificat pendapat seperti ini tidak diikuti. Malah ditegaskan bahwa Tuhan membela orang yang percaya kepadanya yang meminta pertolongan dariNya. Bagaimana dengan orang yang hidupnya beruntung, menikmati kelebihan, tidak kurang suatu apa? Apakah mereka itu akan dikenai malapetaka? Kiranya bukan itulah yang dimaksud. Orang-orang yang beruntung dihimbau agar mengambil sikap seperti Tuhan sendiri, yakni memperhatikan mereka yang kurang beruntung. Sama sekali bertolak belakang bila orang membiarkan kekayaan, kedudukan, kepintaran membuat sesama yang kurang beruntung menjadi terpojok atau kurang mendapat kesempatan untuk maju. Inilah yang kiranya hendak disampaikan dalam ay. 52-53 yang mengatakan bahwa orang congkak hati akan diceraiberaikan, orang berkedudukan akan direndahkan, orang kaya akan disuruh pergi dengan tangan hampa. Kidung Magnificat mengajak orang-orang yang merasa beruntung diberkati oleh Tuhan dengan kelebihan bukan untuk menikmatinya melainkan untuk memungkinkan sesama ikut beruntung. Di sini tidak ditawarkan sebuah teologi penjungkirbalikan nasib, melainkan pelurusan hakikat kehidupan sendiri.
Kepercayaan akan kebesaran Tuhan tidak bisa diterapkan begitu saja untuk memerangi ketimpangan sosial yang mengakibatkan adanya ketidakadilan yang melembaga. Namun demikian, kepercayaan ini dapat membuat manusia makin peka dan mencari jalan memperbaiki kemanusiaan sendiri. Keterbukaan kepada dimensi ilahi akan membuat orang makin lurus.

MEMELIHARA FIRMAN ALLAH
Dalam bacaan Injil dalam Misa Vigilia (Luk 11:27-28) disebutkan ada seorang perempuan yang menyebut bahagia ibu yang melahirkan Yesus (Luk 11:27). Yesus menambahkan, "Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya." Kata Indonesia "memelihara" ini dengan tepat mengutarakan kembali ungkapan aslinya yang memuat pengertian menjaga, menelateni, membesarkan. Agak disentuh teologi sabda seperti diutarakan dalam pembukaan Injil Yohanes. Yang menarik ialah adanya penekanan pada kegiatan pihak manusia. Dikatakan manusia memelihara sabda Allah. Berarti sabda itu juga bisa berkembang dalam diri manusia dan bahkan menjadi bagian kehidupannya. Maria ialah salah satu yang menjalankannya. Seperti diutarakan dalam Luk 1:38 "Terjadilah padaku menurut perkataanmu itu", sabda Allah yang dibawakan malaikat kepadanya menjadi kehidupan karena diterimanya dan dikandungnya. Dan Maria melahirkannya tadi dalam ujud manusia. Kata-kata Yesus yang diteruskan dalam Luk 11:28 tadi memperjelas apa artinya berbahagia karena bisa melahirkan dan membesarkannya. Maria berbahagia karena ia mendengarkan firman Allah serta memeliharanya.

Salam hangat,
A. Gianto

Selasa, 02 Agustus 2011

Kebakhilan

Senin, 01 Agustus 2011

Ia tak gila. Atau ia bagian dari patologi yang tak tersendiri. Anders Behring Breivik, memakai seragam polisi, membidik dengan tepat anak-anak muda yang sedang berkemah di Pulau Utoeya. Sebanyak 68 orang terbunuh di pulau di Danau Tyrifjorden, 38 kilometer dari Oslo, itu pekan lalu. Delapan lain mati karena ledakan bom. Breivik ditangkap. Pengacaranya membelanya dengan mengatakan: orang ini sakit jiwa.

Pada kesan pertama, orang Norwegia itu memang ganjil. Kekerasan dengan darah dingin di sebuah negeri tempat pemberian Hadiah Nobel Perdamaian? Gerakan sayap Kanan? Begitu kuatkah gerakan itu di bagian dunia yang pernah dianggap tauladan sosialis-demokrat ini?


Tapi zaman berubah. Sosialisme, dan bersama paham ini semangat yang lebih toleran, tengah surut di Skandinavia. Juga di seluruh Eropa. Tembakan Breivik yang membunuh para kader Partai Buruh itu berbareng dengan keruwetan jiwa yang setengah tersembunyi di masyarakatnya. Sinting atau tidak, apa yang dilakukannya sebuah isyarat: kita tengah memasuki zaman kebakhilan. Eropalah yang memulainya.

Breivik tak sendirian, meskipun tak semua orang yang sepaham akan mau membunuhi sejumlah pemuda yang kesalahannya hanya karena mereka pendukung Partai Buruh. Bagi Breivik, Partai Buruh harus dihabisi; partai inilah yang dengan mudah membiarkan kaum imigran, terutama yang muslim, masuk ke Norwegia.

Breivik dulu anggota Partai Kemajuan Norwegia, Fremskrittspartiet. Partai ini tak jauh pandangannya dari sang pembantai, meskipun pemimpinnya, Siv Jensen, menyatakan merasa sedih bahwa bekas anggotanya bertindak demikian. Yang menegaskan bahwa Breivik tak sendirian: Partai Kemajuan kini berada dalam posisi yang naik.


Di bagian Eropa lain, seorang tokoh politik sayap Kanan Italia, Francesco Speroni—yang pernah duduk dalam kabinet Berlusconi yang berkuasa—menyebut gagasan Breivik bertujuan "membela peradaban Barat". Eropa sedang terancam oleh Islam, kata mereka, Eropa sedang berubah jadi "Eurabia"….

Kecemasan itu adalah ekspresi kebakhilan—yang membuat pandangan Kanan kembali jadi antitesis gerakan Kiri. Inti pandangan ala Breivik dan Speroni adalah eksklusivisme. Bagi mereka, pelbagai hal di dalam hidup—lapangan kerja, bantuan sosial, peradaban Barat—adalah milik eksklusif.

Eksklusivisme atau kebakhilan menampik orang lain ikut dalam ruang dan waktu, di sebuah wilayah yang batasnya mereka tentukan dan tutup sepihak.

Batas itu mereka beri dasar agama; mereka menyebutnya "Kristen". Seperti halnya di sementara kalangan Islam, mereka anggap kebenaran dan Tuhan milik eksklusif mereka. Batas itu mereka beri wilayah: "Eropa". Dan waktu mereka adalah waktu yang "dulu"—artinya terbatas, bukan waktu yang berlanjut dan membawa perubahan.


Itu sebabnya mereka konservatif. Konservatisme juga eksklusivisme. Bila pemikiran Breivik hendak mengembalikan perempuan ke status yang lebih rendah ketimbang yang telah berlaku sejak akhir abad ke-20, itu juga menunjukkan bahwa konservatisme itu bergabung dengan kebakhilan: bagi mereka, hak-hak tertentu hanya hak kaum lelaki. Orang harus kembali seperti dulu, kata mereka. Yang tak mereka sebut, "dulu" itu adalah "dulu" dalam ingatan yang eksklusif. Ingatan pihak lain, misalnya ingatan kaum perempuan, tak boleh ikut.

Dibandingkan dengan itu semua, kaum Kiri punya tradisi anti-kebakhilan. Tradisi itu bisa ditarik ke gagasan komunisme awal. Dalam The Idea of Communism (editor: Slavoj Zizek dan Costas Douzinas), Jean-Luc Nancy menyebut "the Diggers" di Inggris abad ke-16, yang menganggap tanah sebagai "common treasure" atau harta bersama. Dari sini pula kata "commonwealth" lahir dan dibawa oleh Republik pertama.

Dalam semangat commonwealth, kekayaan bukanlah semata-mata milik eksklusif. Sosialisme menegaskan sah dan adilnya redistribusi sumber-sumber material dan intelektual. Dan untuk beberapa dasawarsa, sosialisme didengar.


Tapi sejarah sosial dan ekonomi Eropa tak membiarkan itu berlanjut. Kini sosialisme yang ingin adil pada gilirannya dituduh tak berlaku adil. Agenda partai-partai sosialis adalah membagikan dana yang ditakik, dalam bentuk pajak, dari hasil jerih payah orang. Hasil itu dibagikan kepada orang miskin, yang umumnya tak punya kerja dan sebab itu dianggap tak berjerih payah. Para penerima subsidi—sebagian besar orang yang datang sebagai imigran—dengan mudah dianggap parasit. Para pembayar pajak marah. Mereka mulai menentang agenda sosialis. Tak mengherankan bila partai-partai Kanan merebut posisi. Kebakhilan bergema.

Yang paling mencolok di Belgia. Partai Kepentingan Vlaams dan Partai Aliansi Vlaams Baru berteriak bukan saja untuk membatasi masuknya imigran dari Dunia Ketiga. Mereka juga berjuang agar orang berbahasa Vlaams, sebagai "suku" tersendiri, memisahkan diri dari Kerajaan Belgia. Tapi bukan soal bahasa yang memicunya. Pada dasarnya yang diutarakan adalah sikap menolak membiayai. Mereka tak mau membiarkan uang pajak mereka dipakai untuk subsidi bagi orang-orang yang berbahasa Prancis di Belgia Selatan yang lebih miskin. Dengan kata lain, persoalan yang dihadapi Belgia bukanlah taal, "bahasa", melainkan betaal, "bayar".


Kebakhilan macam itu kini mudah mendapatkan legitimasi. Pada mulanya adalah milik—yang jadi bagian kerja kelas borjuis yang mengubah sejarah. Tak semua menyenangkan. "Kaum borjuis itu seperti babi," kata sebaris lagu Jacques Brel, penyanyi Belgia termasyhur itu. Tak terlalu tepat: babi tak ditandai oleh sikap eksklusif. Dari babi tak akan muncul kebakhilan yang agresif—kebakhilan kaum Kanan baru.

Goenawan Mohamad

Senin, 01 Agustus 2011

31 kalimat motivasi

~31 kalimat motivasi di pagi hari untuk 31 hari~

ini kalimat2 yang emang bagus banget untuk dibaca, dan digunakan untuk penyemangat diri...
1. saya berharga.
saya berharga di mata saya dan orang lain, saya adalah orang berharga dengan banyak potensi dan kemampuan.
saya mempunyai banyak kekurangan dan memilih menghargai diri saya berikut segala kekurangannya.
2. saya bisa karna saya berpikir saya bisa.
saya diprogramkan untuk berhasil, dan saya yakin saya adalah pemenang. hampir segala sesuatu dapat saya
kerjakan dan percaya diri saya tanpa batas.
3. saya orang yang penuh daya upaya.
saya orang yang penuh daya upaya, tidak takut mengambi resiko dan peluang. saya penuh semangat, lebih baik
mencoba walau gagal daripada tidak melakukan apa2.
4. kata kesukaan saya adalah "mungkin"
saya percaya pada sesuatu yang mungkin, saya melihat kemungkinan
dimana2. saya melihat hal yang baik di setiap situasi dan setiap orang.
5. hari ini adalah hidup baru.
sebagai orang yang berharga di mata Tuhan, diri sendiri dan orang lain
segala kekhawatiran, keraguan,dan berbagai hal negatif dalanm diri saya
sudah BERLALU.
6. saya orang yang penuh antusias.
antusiasme saya menular kepada orang lain.
7. saya selalu berkata positif.
kata2 saya selalu membangkitkan diri saya sendiri, saya memiliki kekuatan,
kemampuan dan kualitas unggul.
8. saya bahagia.
saya berbahagia dan munyukai kehidupan yang baik. meskipun menghadapi
tantangan dan badai kehidupan.
9. saya ulet.
saya terus maju dan ulet hingga saya berhasil. apapun yang terjadi.
10. hari ini pikiran saya positif.
saya membekali pikiran saya dengan segala yang positif.
membaca, mendengar semua yang positif adalah kesukaan saya dan saya
pantas untuk ini.
11. tidak ada orang sempurna.
saya menerima segala kekurangan saya. saya memperbaiki apa yang bisa
saya perbaiki dan menerima apa yang ada diluar kontrol saya.
saya menerima diri saya apa adanya.
12. saya berkomitmen.
saya penuh dedikasi, saya menolak untuk biasa2 saja dan saya bekomitmen
hingga saya berhasil.
13. saya hidup berdasarkan prinsip berlian.
dalam diri saya terdapat sifat2 berlian. saya unik, berharga, disukai orang,
membawa terang, kehangatan dan warna bagi orang banyak.
14. saya berpikir besar.
imajinasi saya tanpa batas dan saya akan dapat mencapai lebih dari apa
yang saya impikan sebelumnya.
15. saya adalah magnet.
saya menarik perhatian orang lain dan saya berpengaruh.
saya belajar dari orang lain dan orang lain belajar dari saya.
16. saya magnet uang.
segala sesuatu yang saya inginkan sedang berjalan menuju diri saya
dengan sendirinya.
17. segala kesulitan akan berlalu.
segala problem mempunyai batas waktu dan tidak permanen.
saya adalah pemenang atas probem saya.
18. saya berhasil.
saya berhasil karna saya sukses dalam perjalanan bukan tujuan.
19. saya tidak emosional.
saya membuang emosi negaif seperti kasihan pada diri sendiri, takut,marah,
benci, iri hati,dan depresi.
20. hari ini mungkin hari terakhir saya.
oleh karna itu saya selalu manjalani hari dengan baik, saya selalu
mengutamakan hal penting dan bukan hal yang mendesak.
21. saya membuat keputusan.
keputusan saya adalah apa yang saya inginkan dalam hidup saya dan saya
bertanggung jawab akan itu.
22. fokus saya adalah sukses.
sukses bagi saya adalah suatu sikap bukannya tindakan.
23. saya murah hati.
saya telah menerima banyak dalam hidup oleh karena itu saya juga bembagi
kepada sesama.
24. tidak pernah ada problem
yang ada hanyalah kekurangan ide, saya berorientasi kepada solusi dan
penuh ide kreatif dan cmerlang.
25. saya berinvestasi pada diri sendiri.
perkembangan diri adalah yang terpenting dalam hidup saya.
26. saya orang berguna.
terlepas dari apapun perkataan orang tentang saya, tuhan menciptakan
saya dengan sangat mengagumkan. oleh karna itu saya tidak frustasi untuk
sekedar mendapat pengakuan dari orang lain.
27. hadiah kepada diri sendiri.
atas semua yang telah saya raih, saya harus memberikan reward kepada
diri saya sendiri.
28. pilihan saya ya.
ya, karna saya orang yang optimis, saya memilih sisi terang dan positif.
29. saya tidak keberatan membayar harga.
saya berkorban untuk meraih mimpi saya, saya bersedia bersakit2 dahulu
bersenang2 kemudian.
30. setiap hari saya mendapat berkat.
saya menghitung berkat saya setiap hari untuk menyadari betapa
beruntungnya saya, oleh karna itu saya bersyukur setiap hari karna berkat
tuhan berlimpah kepada saya.
31. saya tidak mempermasalahkan hal yang sepele.
hidup, problem dan tantangan saya lihat secara proporsional, karna saya
orang yang penuh semangat dan percaya diri.