Keluargaku

Keluargaku

Minggu, 21 Agustus 2011

Baik

Senin, 15 Agustus 2011 Tiga dewa yang lelah bertemu dengan Wong, penjual air, di tepi kota. Mereka sudah beberapa lama berada di bumi untuk menemukan seorang yang baik hati tapi tak kunjung dapat. Mereka sudah menurunkan firman kebaikan, namun yang mereka temui selama ini hanyalah kekejian, sifat tamak, culas, dan mementingkan-diri.

Lakon Bertolt Brecht, Der gute Mensch von Sezuan, yang ditulis di masa buruk, 1938-1943, dimulai dengan pembuka yang mirip dongeng itu; dunia begitu gelap dan keras hingga realisme membutuhkan parabel. Tak berarti Brecht—waktu itu meninggalkan tanah airnya, Jerman, dan hidup di pengasingan menghindari kaum Nazi—hendak menyingkirkan kita dari hidup dan pelbagai tanda tanyanya. "Orang Baik dari Sezuan" memasukkan kita ke dalam pertanyaan yang bahkan bergema di Indonesia kini: masih adakah orang baik? Bagaimana ia bisa bertahan?


Syahdan, Wong mengantar para dewa itu mencari tempat menginap, tapi tak ada penduduk yang mau menerima. Kecuali Shen Te, seorang pelacur. Ia membatalkan niatnya menemui langganan. Ia lebih baik menolong ketiga tamu asing itu.

Dewa-dewa itu merasa mereka telah menemukan yang mereka cari. Mereka nyatakan Shen Te sebagai orang baik. Tak cuma itu: mereka juga memberinya uang agar bisa membeli satu kedai tembakau. Dengan itu juga mereka ingin melihat, sejauh mana Shen Te bisa merawat kebaikan hatinya dalam keadaan tak lagi miskin.

Shen Te memang baik hati—meskipun orang akan melihatnya sebagai perempuan yang naïf. Ia mengalah terus-menerus kepada keserakahan, kedengkian, kecemburuan, dan kelicikan orang. Kedai tembakaunya dengan segera jadi sasaran permintaan, tuntutan, rongrongan. Ia sendiri diporot orang yang disangkanya telah jadi kekasihnya: Yang Sun, pilot pesawat pos yang menganggur. Di sebuah taman ia ketemu lelaki itu yang mencoba bunuh diri karena putus asa. Ia menolongnya. Shen Te jatuh cinta. Ia bersedia memberikan 500 dolar perak ketika Yang Sun memerlukannya agar mendapat pekerjaan lagi.


Makin lama, perempuan itu makin terpojok. Pada titik puncaknya, ke kedai tembakau yang hampir bangkrut itu muncul Shui Ta. Laki-laki ini mengaku sepupu Shen Te. Ia datang menggantikannya—Shen Te sedang ke luar kota, katanya. Ia pun mengurus kedai. Shui Ta berhasil. Diusirnya semua orang yang menumpang di sana. Kedai tembakau itu jadi tertib.

Pada akhirnya Shui Ta lebih lama tinggal, dan lebih lama pula berperan. Selama itu Shen Te tak juga tampak.

Watak lelaki itu berlawanan dengan sifat sepupunya. Shui Ta keras, tega hati, dan bisa bengis kepada orang lain, juga yang sedang dalam kesulitan. Orang membencinya. Tapi di bawah manajemennya, kedai tembakau itu berkembang. Dari sana lahir sebuah pabrik.

Yang menarik dari lakon Brecht ini ialah bahwa ternyata Shui Ta adalah Shen Te sendiri, yang menyamar sebagai lelaki. Ini diketahui ketika ia didakwa telah membunuh sepupunya dan mengambil alih miliknya. Di depan hakim, yang terdiri atas para dewa yang dulu menemuinya, Shen Te tampil sebagai sebuah pertanyaan: bisakah orang baik tak hancur lebur di tengah masyarakat yang telah jadi getir dan busuk?

"Bagaimana bisa baik jika semua begitu mahal?" tanya Shen Te. "Perbuatan baik, itu berarti hancur jadi puing!" ujar Shui Ta.


Dewa-dewa mengajarkan apa yang baik, tapi tak hendak melindungi orang yang menjalankan ajaran itu.

Malah kebaikan, dalam pengalaman Shen Te, mirip sebuah hukuman. Orang yang keji justru bebas dari hukuman macam itu. Mengapa demikian para dewa tak menjawab—juga Brecht. Dengan "teater epik"-nya, ia letakkan kewajiban menjawab pertanyaan itu kepada para penonton.

Sekilas Der gute Mensch von Sezuan terasa ditulis untuk menampar muka orang yang lembut hati—yang berarti juga lemah hati. Saya ragu bila lakon ini membenarkan kebakhilan seorang kapitalis seperti Shui Ta. Brecht seorang Marxis yang yakin. Mungkin ia lebih menggugat para dewa yang gagal. Ketika kita menilai manusia demikian keji, kita secara tersirat menuduh para dewa sia-sia.

Atau kita jadi seorang tokoh lakon lain: Alceste, dalam karya Moliere, Le Misanthrope. Orang ini merasa diri paling jujur dan menuntut orang harus jujur. "Di mana-mana yang kutemukan hanya mulut manis yang palsu, ketidakadilan, kepentingan-diri, sikap culas, dan penipuan."

Alceste berniat tak punya hubungan lagi dengan manusia. Seperti Sodom dan Gomorrah, seperti kota tempat Shen Te tinggal, masyarakatnya bagi Alceste tak cukup punya orang baik buat memulihkan harapannya kepada manusia. Maka tempat itu, lingkungan itu, harus ditinggalkan.


Tapi Le Misanthrope yang dipentaskan pertama kali pada 1666 di sebuah teater yang terhormat di Paris tak punya akhir yang tak enak. Setidaknya Alceste tak bunuh diri dan tak menggugat Tuhan. Moliere tak berbicara bahwa masyarakat yang dibenci Alceste harus diubah.

Orang seperti Alceste memang tak hendak mengubah apa pun: manusia tak dilihat sebagai sejarah; manusia akan tetap, sesuai dengan esensinya: busuk.

Dalam hal itu, ia mirip Shen Te + Shui Ta. Tokoh ini bersikap hanya dalam hubungannya dengan dunia yang tak lebih lebar dari kedai tembakau. Shen Te bukan saja terlampau lemah. Kebaikannya hanyalah laku yang secara otomatis lahir—bukan sebagai perlawanan terhadap sinisme. Shui Ta sepenuhnya suara sinisme: ia hanya melihat kekejian sebagai norma di masyarakatnya.

Seperti Brecht, saya tak akan menawarkan jawab yang bisa jadi formula bagi siapa saja. Tapi saya percaya, berhasil atau tidak, perlawanan terhadap sinisme menegaskan bahwa ada yang bernilai dalam hidup, khususnya hidup bersama yang lain. Kita belum pantas membantai atau bunuh diri.


Goenawan Mohamad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar