Keluargaku

Keluargaku

Jumat, 12 Desember 2014

Injil Minggu Adven III




KESAKSIAN YOHANES
Rekan-rekan yang budiman!

Seperti hari Minggu yang lalu, kali ini Injil Minggu Adven III/B ( Yoh 1:6-8;19-28) juga  hampir seluruhnya berbicara mengenai Yohanes Pembaptis. Tapi yang sekarang ditonjolkan ialah kesaksiannya. Pertama-tama ia ditampilkan sebagai yang diutus Yang Maha Kuasa untuk menjadi saksi bagi sang “terang” walaupun ia bukan terang itu sendiri (ay. 6-8). Kemudian kepada orang-orang yang datang kepadanya Yohanes menegaskan bahwa dirinya bukan Mesias, bukan Elia, bukan nabi, melainkan orang yang berseru-seru di padang gurun menghimbau agar jalan bagi Tuhan diluruskan (ay. 19-23). Ia membaptis dengan air untuk membantu orang mengungkapkan niatan untuk hidup bersih menyongsong dia yang akan datang. Yohanes juga tegas-tegas menyatakan dirinya tak pantas melepas tali sandal dia yang bakal datang ini (ay. 27). Seperti diuraikan Minggu lalu, ungkapan ini berarti Yohanes merasa tidak patut menjalankan urusan yang menjadi hak dia yang akan datang itu.

MENUMBUHKAN HARAPAN
Yohanes Pembaptis memang sudah sedemikian dikenal sebelum orang mulai mendengar tentang Yesus. Banyak orang datang kepadanya karena warta serta tindakannya amat komunikatif bagi orang-orang pada zaman itu. Maklum, suasana di tanah suci waktu itu terasa semakin tak menentu. Zaman edan. Ada krisis identitas nasional. Ajaran nenek moyang bahwa mereka bangsa terpilih makin menjauh dari kenyataan sehari-hari. Juga tak banyak hasilnya usaha menyegarkan kembali kepercayaan itu. Kata-kata para nabi terdengar makin lirih, makin jauh. Sepi. Orang makin kecewa, apatis. Orang merasa semakin menjadi mangsa kekuatan-kekuatan yang menghimpit cita-cita mereka sebagai umat Tuhan. Harapan satu-satunya yang masih memberi mereka pandangan ke depan ialah Mesias yang bakal datang. Yang Terurapi, utusan Yang Maha Kuasa akan datang untuk memimpin mereka. Kedatangannya juga akan mengakhiri zaman ini dan mengawali era baru. Itulah saatnya bangsa terpilih akan dipimpin sang Mesias baru ini ke dalam Tanah Terjanji surgawi. Mereka yang tidak ada bersama mereka akan binasa bersamaan dengan kiamat. Begitulah ringkasnya alam pikiran yang kerap pula disebut “mesianisme apokaliptik”.
Ada orang-orang yang mulai menjalani hidup bertapa menyepi di padang gurun. Beberapa tulisan dari masa itu menyebut mereka kaum Esseni. Banyak dari mereka yang hidup di pertapaan sekitar Laut Mati. Salah satu di antaranya ialah komunitas Qumran yang dikenal kembali dari penemuan arkeologi sejak tahun 1947. Mereka hidup menantikan Mesias dan mengusahakan diri agar siap menghadapi bagi peristiwa besar yang bakal datang itu. Yohanes Pembaptis ada dalam gerakan kerohanian ini walau ia tidak memutuskan hubungan dengan dunia luar. Ia malah membantu banyak orang agar semakin dapat memusatkan perhatian kepada yang mereka nanti-nantikan itu.

MENANTIKAN SANG MESIAS
Dalam tradisi Perjanjian Lama ada kepercayaan bahwa nabi besar Elia, yang dalam 2Raj 2:1-18 diceritakan diangkat naik ke surga, akan datang kembali. Ada pula anggapan, seperti tercermin dalam Mal 4:5, bahwa kedatangan Elia kembali nanti itu menandai akhir zaman yang diawali oleh Mesias segera tiba. Dalam Mrk 1:6 dan Mat 3:4, Yohanes digambarkan berpakaian jubah bulu dan ikat pinggang kulit, mirip dengan cara berpakaian Elia yang disebutkan 2Raj 1:8. Memang Yohanes Pembaptis sering dianggap Elia yang kini telah kembali ke dunia. Pandangan ini kiranya hidup di dalam umat Injil Sinoptik (Mrk, Mat dan Luk). Injil Yohanes lain. Di situ sang Pembaptis justru menyangkal pendapat bahwa dirinya ialah Elia yang datang kembali (Yoh 1:21)

Sudut pandang yang berbeda ini menggambarkan dinamika perkembangan gagasan mengenai akhir zaman. Pada mulanya memang besar anggapan bahwa akhir zaman segera akan tiba. Kemudian semakin disadari bahwa peristiwa itu baru akan terjadi jauh di masa depan. Yang penting ialah masa kini ini. Perkembangan selanjutnya ialah tidak lagi menghitung-hitung kapan akhir zaman itu tiba. Dalam Injil Yohanes, gagasan yang menyibukkan perhatian orang itu dikatakan sudah terjadi. Era baru dengan kehadiran terang ilahi di dunia inilah zaman akhir jagat. Tidak lagi perlu memikirkan kapan, di mana, dan bagaimana. Sudah hadir dan kini sedang membuat kegelapan tersingkir. Yang perlu ialah menerimanya. Inilah pandangan Injil Yohanes.
Yohanes Pembaptis ditampilkan dalam Injil Yohanes lebih sebagai tokoh yang memberikan “martyria”, yaitu kesaksian mengenai siapa Yesus itu. Injil ini tidak memakai sebutan “Pembaptis” baginya, karena yang ditonjolkan ialah perannya memberi kesaksian mengenai siapa Yesus itu.

“MARTYRIA” YOHANES
Apa “martyria” atau kesaksian Yohanes? Tokoh yang dikenal banyak orang itu disebut sebagai yang datang diutus Tuhan untuk memberi kesaksian akan terang yang sudah bersinar dalam kegelapan. Ditandaskan bahwa ia bukan terang itu sendiri. Dari penjelasan di muka mengenai latar belakang zaman itu, maka amat berartilah penegasan bahwa ada “terang bercahaya dalam kegelapan, dan kegelapan tidak menguasainya” (Yoh 1:5) Apakah orang-orang langsung menerimanya dan mempercayainya? Bacaan hari ini mulai dengan kedua ayat berikutnya. Yohanes diutus untuk menjadi saksi bagi terang itu agar dengan demikian orang mulai percaya kepada terang itu sendiri. Dan dalam bagian kedua Injil hari ini (Yoh 1:18-28) dijelaskan lebih lanjut kesaksiannya itu.
Pertama-tama ada serangkaian pernyataan negatif. Yohanes bersaksi bahwa (1) ia bukan Mesias, yaitu orang yang resmi diutus Tuhan kepada umatNya untuk menuntun mereka kembali kepadaNya, (2) ia bukan juga Elia, artinya ia bukan menjadi pertanda bahwa akhir zaman sudah di ambang pintu. Ia menyatakan diri bukan pula sebagai nabi yang pada waktu itu dipercaya sebagai orang yang menyadarkan orang bahwa akhir zaman akan segera terjadi.

Dengan penyangkalan itu ia membuat orang mulai kritis terhadap harapan-harapan saleh yang sudah menjadi gaya berpikir pada masa itu. Apakah harapan seperti itu sebetulnya bukan hanya impian yang menjauhkan orang dari kenyataan? Kecenderungan untuk melarikan diri ke dalam janji-janji dan rasa aman yang diberi warna agama memang ada di mana-mana di sepanjang zaman, terutama di masa-masa sulit. Orang-orang berdatangan menemui Yohanes belum tentu dengan maksud untuk belajar darinya. Banyak yang datang kepadanya untuk mendengarkan harapan-harapan mereka sendiri. Tetapi sang Pembaptis tidak meninabobokan mereka.

Kemudian Yohanes bersaksi mengenai yang dilakukannya. Ia itu suara orang yang berseru-seru di padang gurun, tempat dulu umat Perjanjian Lama hidup dalam bimbingan Tuhan sendiri, tetapi yang kini terasa tidak lagi banyak artinya. Hubungan dengan Tuhan terasa sudah amat renggang. Tetapi justru dalam keadaan itu terdengar Yohanes yang berseru “Luruskanlah jalan Tuhan!” Seperti dalam Yes 40:3, seruan itu bukan ditujukan kepada manusia, melainkan kepada kekuatan-kekuatan surga – tersirat amatan bahwa manusia sudah terlalu kering, sudah tak lagi peka. Dan siapa yang bakal bisa melawan kekuatan-kekuatan itu? Mereka sendiri akan bertindak menyiapkan kedatangan Tuhan. Yang diharapkan dari manusia ialah membiarkan diri dibimbing. Dan Yohanes mengajak orang menghidupi iman ini, bukan membuai diri dengan harapan-harapan saleh akan kedatangan seorang Mesias menurut idealisme mereka sendiri.
Yohanes juga menjelaskan kepada orang-orang yang bertanya mengapa ia membaptis. Ia berkata, yang mereka harap-harapkan itu sudah datang. Terang sudah bersinar, hanya perlu mengenalinya! Itulah puncak kesaksiannya.

  “MARTYRIA” KAUM BERIMAN DI INDONESIA
Tema pokok dalam Injil Minggu ini ialah kesaksian Yohanes Pembaptis akan siapa yang bakal datang itu, yakni yang sudah ada di tengah-tengah umat yang tidak mereka kenal. Dia itu cahaya yang telah menerangi jalan-jalan baru. Yohanes mempersaksikan bahwa terang itu bersinar, sehingga orang percaya dan dapat memperoleh hidup dari terang itu sendiri. Berbagi hidup dengan terang itu sendiri. Kaum beriman dapat semakin belajar dari cara Yohanes bersaksi. Ia menyadarkan betapa pentingnya mengenali terang kehidupan agar supaya tidak hidup dirundung kegelapan. Kesaksian Yohanes dapat menjernihkan batin serta memberi kekuatan baru. Batin kita dipenuhi dengan macam-macam pengharapan dan niatan. Juga dengan pelbagai gambaran mengenai tokoh-tokoh besar. Pimpinan Gereja, pendiri tarekat, santo pelindung, pembimbing rohani…. Semua tokoh panutan ini akan semakin mendekatkan ke inti kehidupan batin bila dihayati sebagai “martyria” atau kesaksian seperti yang dijalankan Yohanes. Ada gunanya mendalami perutusan mereka sebagai perutusan Yohanes: mempersaksikan bahwa terang sudah menyinari kegelapan.
Kesaksian seperti ini dapat juga menjadi “martyria” kaum beriman – Gereja – di Indonesia:  dalam ikutserta membangun keadaban baru untuk tidak membiarkan kesetujuan-kesetujuan dasar dalam hidup bermasyarakat di negeri ini menjadi kabur, mengajak semua orang yang berkehendak baik membangun wahana terang yang baru bagi kehidupan bersama. Itulah “martyria” bagi kaum beriman kini dan di sini.

DARI BACAAN KEDUA (1Tes 5:16-24)
Ayat 16-22 memuat seruan Paulus agar umat di Tesalonika tetap bersuka cita, tekun dalam doa, bersyukur dalam keadaan apapun. Waktu itu orang berpendapat bahwa akhir zaman akan segera terjadi dan para murid dan pengikut berusaha agar siap dan layak untuk itu. Inilah konteks surat Paulus kali ini. Sekaligus Paulus mengarahkan perhatian umat ke masa kini mereka. Umat diajaknya menumbuhkan kepekaan akan Roh yang menggerakkan batin. Ini semua bakal menjauhkan orang dari “segala jenis kejahatan”. Pernyataan ini bukan sekadar nasihat agar menjauhi yang tak baik. Dalam ungkapan Paulus, bentuk perintah seperti itu menjadi cara untuk mengatakan hasil ketekunan menjalani hidup dalam bimbingan Roh. Dengan kata lain, menjaga diri agar tidak kehilangan kegembiraan hidup, menemukan arti doa dan syukur dalam keberuntungan maupun kesukaran, tetap terbuka bagi Dia yang menggerakkan batin – semua ini akan menjauhkan orang dari “segala yang jahat”. Yang jahat bukanlah semata-mata perkara hukum atau moral belaka melainkan kenyataan rapuhnya kehidupan manusia dan besarnya kekuatan-kekuatan yang mengancamnya. Sering tidak begitu langsung terlihat, tetapi ada kekuatan dalam masyarakat yang justru membawanya ke kemerosotan. Ada arah-arah yang melawan keadaban, ada arus-arus yang membuat kemanusiaan menjadi timpang – yang diketahui bila diperiksa dengan kepekaan rohani. Ajakan Paulus masih bisa menyapa orang sekarang, juga di Indonesia kini. Dan Gereja di Indonesia boleh merasa disapa oleh Paulus sendiri.

Dalam ayat 23-24 terungkap kepercayaan akan Yang Maha Kuasa yang menjaga kemanusiaan dari kecenderungan-kecenderungan yang membuat kemanusiaan timpang dan cacat. Paulus mengungkapkan kemanusiaan dalam cara pandang waktu itu: sebagai yang memiliki ujud rohani (“roh” – pneuma ) dan berkekuatan hidup (“jiwa” – psyche ) dalam badan yang nyata (“tubuh” – sooma). Berarti juga kemanusiaan ini bisa cacat – dimatikan – dihilangkan kekuatannya – sehingga punah kerohaniannya dan menjadi barang kasar belaka. Inilah yang amat menakutkan. Hanya kekuatan ilahi sendiri sajalah yang dapat menolong. Mereka yang kurang membiarkan diri disertai kekuatan ini akan menjadi mangsa daya-daya maut tadi. Dalam ayat 23-24 terungkap kepercayaan akan Yang Maha Kuasa yang menjaga kemanusiaan dari kecenderungan-kecenderungan yang membuat kemanusiaan timpang dan cacat. Paulus mengungkapkan kemanusiaan dalam cara pandang waktu itu: sebagai yang memiliki ujud rohani (“roh” – pneuma ) dan berkekuatan hidup (“jiwa” – psyche ) dalam badan yang nyata (“tubuh” – sooma). Berarti juga kemanusiaan ini bisa cacat – dimatikan – dihilangkan kekuatannya – sehingga punah kerohaniannya dan menjadi barang kasar belaka. Inilah yang amat menakutkan. Hanya kekuatan ilahi sendiri sajalah yang dapat menolong. Mereka yang kurang membiarkan diri disertai kekuatan ini akan menjadi mangsa daya-daya maut tadi.

Salam dari Refter Kanisius,

A. Gianto

Jumat, 05 Desember 2014

Injil Minggu Adven II (7 Des 2014)



Ulasan Injil Minggu Adven II 

Rekan-rekan yang baik!
Injil Minggu Adven II ini – Mrk 1:1-8 – hampir seluruhnya membicarakan Yohanes Pembaptis. Ia itu tokoh yang sudah sejak lama dinubuatkan sebagai utusan yang mempersiapkan jalan bagi Tuhan. Seluruh daerah Yudea dan semua penduduk Yerusalem mendatanginya di padang gurun minta dibaptis olehnya sebagai tanda bertobat demi pengampunan dosa. Ia juga tampil di mata orang sebagai seorang nabi. Semua uraian mengenai Yohanes Pembaptis kiranya dimaksud untuk semakin menyoroti siapa yang akan datang nanti, yakni Yesus. Dia ini tokoh yang jauh lebih besar yang diumumkan oleh Yohanes sendiri. Marilah kita lihat cara Markus mengutarakan hal ini. Di bawah ditambahkan pula ulasan mengenai bacaan kedua yakni 2Ptr 3:8-14.

INJIL “DARI” DAN “TENTANG” YESUS KRISTUS
Dalam Mrk 1:1, kata “Injil” sebenarnya dipakai dengan makna ganda. Makna biasa kata itu ialah berita yang melegakan, berita yang menggembirakan, kebalikan dari berita yang membuat orang sedih, tegang dan kusut pikirannya. Markus kiranya bermaksud menunjukkan bagaimana Yesus membuat pikiran dan hati banyak orang serasa “plong”, lepas dari ganjalan-ganjalan. Akan diceritakannya bagaimana Yesus ini menyembuhkan orang sakit, mengusir kekuatan jahat, mengajar siapa Allah itu, memilih murid, dan oleh karena semua itu diikuti banyak orang. Itulah cara Markus memperkenalkan Yesus. Tindakan serta ajarannya menjawab pertanyaan-pertanyaan serta keinginan dasar yang ada dalam diri orang pada waktu itu tapi juga pada zaman dan tempat lain.

Namun kata “Injil” bagi para pengikut Yesus pada zaman Markus menulis juga sudah mulai dipakai juga dalam arti “kabar baik” mengenai diri Yesus. Diberitakan di kalangan para pengikut Yesus bahwa ia yang tadinya disalibkan, wafat, dan dimakamkan itu kini sudah bangkit dari kematian dan kini hidup dan akan datang lagi dalam kemuliaannya pada akhir zaman. Kabar baik inilah yang membuat para murid pertama dapat terus menghidupi kepercayaan mereka dan mewartakannya kepada banyak orang lain yang mau bergabung dengan mereka. Jadi kalimat pertama Injil Markus itu menunjuk pada dua hal sekaligus, yakni bagaimana asal mulanya “berita yang melegakan” yang dibawakan Yesus serta “berita yang menggembirakan” mengenai dirinya. Pembaca diajak mendalami kedua-duanya.

Yesus ditampilkan dengan gelar Kristus dan Anak Allah. Yang pertama berarti Yang Diurapi, yakni Mesias, tokoh yang resmi diangkat Yang Maha Kuasa sendiri untuk mengerjakan urusan-Nya di dunia ini. Orang Yahudi pada masa itu amat mengharapkan datangnya tokoh ini. Ia juga disebut sebagai yang amat dekat dan akrab dengan keilahian sendiri, dalam bahasa Kitab Suci, “Anak Allah”. Maksudnya, ia mengerti yang dikehendaki oleh Allah dan patuh menjalankannya. Kini tokoh ini membawakan kabar yang melegakan orang banyak. Berita mengenai kedatangan tokoh ini sendiri juga menjadi kabar yang membuat lega orang pula. Jadi yang disampaikan dalam kalimat pertama Injil Markus itu ialah Berita Baik mengenai dia (Injil dalam kedua makna tadi) yang resmi mendapat tugas membawa kembali kemanusiaan kepada Yang Ilahi (Kristus) sebagai orang yang amat dekat dengan Yang Ilahi sendiri (Anak Allah).”
Tentu saja orang akan bertanya-tanya bagaimana Yesus bisa sehebat itu. Ayat-ayat berikutnya, yakni ay. 2-8, memberi penjelasan dengan menampilkan seorang tokoh lain yang waktu itu sudah amat dikenal, yakni Yohanes Pembaptis.

MEMPERSIAPKAN JALAN
Yohanes Pembaptis bukan sebarang tokoh. Pertama-tama, dalam ingatan orang zaman itu, dia ialah tokoh suci yang mempesona orang banyak. Mereka datang meminta nasihat, mencari kejernihan batin di tempat ia tinggal, yakni di padang gurun. Mereka datang kepadanya minta dibaptis (ay. 4-5) dan dengan tindakan itu orang mengungkapkan diri bertobat dan siap mendapat pengampunan dosa. Kedua, dalam bayangan orang pada masa itu, Yohanes juga tampil seperti seorang nabi (ay. 6). Dan ketiga dan yang terutama, Yohanes itu diutus oleh Tuhan sendiri untuk “mendahului” serta “mempersiapkan jalan” (ay. 2b; hasil paduan Kel 23:20 dan Mal 3:1). Seolah-olah belum cukup, maka menyusul kutipan dari Yes 40:3 yang mempertegas siapa utusan ini. Dia adalah orang yang berseru-seru di padang gurun meminta agar yang mendengar mempersiapkan jalan bagi Tuhan dan meluruskannya bagi-Nya. Apa yang dimaksud akan dikupas lebih lanjut di bawah.

Tokoh yang sedemikian mengesan ini ternyata malah memberitakan kedatangan orang yang lebih berkuasa (ay. 7). Tentu orang-orang bertanya-tanya siapa itu. Pembaca dulu pun sudah tahu, yang dimaksud ialah Yesus sendiri. Tetapi dalam kisah ini orang-orang yang mendengarkan kata-kata itu belum menggagas siapa yang sedang dibicarakan sang Pembaptis. Rasa ingin tahu orang banyak makin besar. Ia menambahkan bahwa membungkuk untuk melepaskan tali sandal orang yang sedang diwartakannya itu saja ia merasa dirinya kurang pantas (ay. 8). Siapa gerangan tokoh yang lebih besar daripadanya?

Ungkapan membungkuk melepaskan tali sepatu tidak hanya berarti penghormatan kepada orang yang dihadapi. Ada pula arti yuridisnya. Marilah kita tengok Rut 4:7 yang menjelaskan kebiasaan di masa lampau: “Beginilah kebiasaan dahulu di Israel dalam hal menebus dan menukar: setiap kali orang hendak menguatkan sebuah perkara, maka yang seorang menanggalkan kasutnya sebelah dan memberikannya kepada yang lain. Demikianlah caranya orang mengesahkan perkara di Israel.” Di dalam kitab Rut, tanah milik keluarga Naomi dan menantunya, Rut hanya bisa dijual kepada sanak dekat yang menurut hukum adat berhak membelinya. Namun orang ini resmi melepaskan haknya sehingga Boas bebas membeli tanah janda dan menantu itu dan mengurus mereka. Sanak dekat tadi melepas kasutnya (Rut 4:8) sebagai tanda pelepasan haknya. Kembali ke kata-kata Yohanes. Dengan latar belakang kebiasaan tadi, maka kata-katanya bukan sekedar basa-basi melainkan pengakuan bahwa dirinya tidak layak menindakkan hal yang membuat Yesus melepaskan haknya. Apa yang dimaksud dengan hak Yesus? Tak lain tak bukan ialah membawakan baptisan dalam Roh Kudus dan mendekatkan kembali keilahian kepada manusia. Yohanes Pembaptis hendak mengatakan dalam bahwa yang dijalankannya ialah membaptis dengan air – itulah yang bisa dilakukannya untuk menyadarkan orang banyak. Namun untuk sungguh membawakan yang di atas sana kepada manusia? Ah itu hak dia yang lebih berkuasa yang bakal datang, yang akan membaptis dengan Roh Kudus. Orang banyak yang mendengar pernyataan itu dengan segera akan semakin bertanya-tanya siapakah dia yang dibicarakan ini? Perhatian pembaca Injil akan beralih dari Yohanes Pembaptis kepada dia yang diwartakannya.

SUARA DI PADANG GURUN
Kutipan dari Yes 40:3 dalam Mrk 1:3 menjadi makin besar artinya bila ikut disimak konteksnya dalam tulisan Yesaya sendiri, yaitu Yes 40:1-2 yang ikut diperdengarkan dalam bacaan pertama hari ini: “Hiburkanlah, hiburkanlah umat-Ku, demikian firman Allah-mu….” Begitulah sang nabi menyampaikan perintah yang difirmankan Allah kepada kekuatan-kekuatan surgawi menghibur umat Israel yang waktu itu berada dalam pembuangan di Babilonia. Umat tak perlu berkecil hati, yang terburuk sudah lewat. Yang perlu kini ialah melihat ke depan, kembali pulang ke negeri sendiri, melewati padang gurun. Seperti ketika Allah menuntun nenek moyang mereka keluar dari Mesir lewat padang gurun dulu, kini Allah yang sama akan memimpin umat-Nya kembali.

Dalam Yes 40:3 sang nabi menyebut diri sebagai suara yang berseru-seru menyampaikan kepada kekuatan-kekuatan tadi agar mereka juga mempersiapkan jalan, meluruskan lorong-lorongnya, meratakannya bagi perjalanan-Nya bersama umat. Itulah gagasan dasar dalam bacaan pertama sebagaimana ada dalam Kitab Yesaya. Bagi Markus, suara yang berseru-seru itu ialah Yohanes Pembaptis. Dengan demikian Yohanes ditampilkan Markus sebagai nabi yang mengenali suara ilahi dan kehendak-Nya dan berani menyerukannya kepada balatentara surgawi tadi. Orang-orang berdatangan kepadanya di padang gurun mencari petunjuknya. Yohanes berseru, sekali lagi dalam pemikiran Markus, kepada kekuatan-kekuatan surgawi untuk menyiapkan jalan bagi mereka ini agar nanti dapat kembali lewat jalan yang lebar, lurus, rata bersama dengan dia yang kini akan menuntun mereka kembali….yaitu yang diumumkan kedatangannya. Dia yang jauh lebih besar.
Markus memperkenalkan Yesus lewat tokoh yang dalam anggapan umum dapat mengenali gerak gerik ilahi dan tetap membiarkannya bertindak menurut kehendak-Nya. Dia itulah Yohanes Pembaptis. Kisah ini kisah bagi hidup batin, bukan cerita tentang seorang yang membaptis di padang gurun. Bila ditangkap dalam arti itu maka kesaksiannya membantu orang pada zaman lain. Yohanes Pembaptis ada dalam diri tiap orang yang dengan tulus menantikan Yang Ilahi datang membimbing hidup orang beriman.
DARI SURAT PETRUS (2Ptr 3:8-14)

Salah satu hal yang paling menarik dalam Perjanjian Baru ialah rujukan ke tulisan lain yang ada dalam kumpulan ini. Namun rujukan seperti itu walau jelas bagi penerima dulu sering susah dilacak oleh pembaca zaman ini. Begitu pula dalam 2 Ptr 3:15 Petrus merujuk kepada surat Paulus bagi kalangan umat yang sama. Tapi surat Paulus yang mana tidak bisa dipastikan. Yang bisa diketahui ialah kesulitan memahami Paulus sehingga ada  orang yang menyalahtafsirkannya karena kebebalan atau karena iman yang kurang teguh dan terperosok sendiri. Paulus memang mengajarkan kemerdekaan iman ialah terbebas dari “hukum” lama sehingga dapat menjadi pewaris surga karena memang orang telah ditebus oleh Yesus Kristus. Inilah salah satu dari bagian inti pewartaan Paulus. Namun di kalangan tertentu boleh jadi disalah mengerti sebagai ajaran untuk berbebas merdeka dari semua aturan agama yang turun temurun dijalani. Ini malah menimbulkan perpecahan di kalangan umat. Ada yang beranggapan bahwa hukum-hukum lama tetap berlaku untuk menjamin hidup abadi, ada yang mengatakan bongkar semua karena sekarang pokoknya cintakasih. Ada yang menumbuhkan gaya hidup menurut roh dan mau meyakinkan orang lain bahwa inilah yang terpenting. Begitu seterusnya

Dalam kaitan inilah surat Petrus kali ini mengajak umat agar tetap berupaya menjaga diri agar nanti pada akhir zaman dapat tampil di hadapan Tuhan dengan “tak bercacat, tanpa noda”. Inilah yang membuat orang cocok untuk hidup di tempat-Nya. Tak usah hitung menghitung kapan akhir zaman itu datang, karena Tuhan tak bisa dibatasi dengan perhitungan manusia. Justru karena belum jelas akhir zaman segera tiba, maka masa ini sebaiknya disadari sebagai kesempatan menikmati kesabaran-Nya yang memungkinkan orang dapat bersiap-siap akan menerima kedatangan-Nya nanti, sekali lagi dengan “tanpa cacat dan tanpa noda”. Inilah bahasa upacara persembahan kepada-Nya. Umat diajak agar melihat diri sebagai persembahan yang layak, tak bercacat, artinya utuh, dan tanpa noda, artinya bersih sehingga cocok baginya. Persembahan yang tidak demikian malah bakal menyinggung dan tidak terterima.

Dikenakan pada zaman kini. Bacaan kedua kali ini dapat membantu umat untuk melihat ke mana arah yang sesungguhnya yang sebaiknya dituju. Membawa diri sehingga semakin layak mendekat ke kehadiran ilahi sendiri. Sebuah ajakan untuk membuat wajah manusia semakin sesuai dengan kebesarannya. Sekaligus ajakan agar peka akan apa-apa yang menjadi “cacat” dan “noda” kemanusiaan: kemelaratan, ketakadilan, perbedaan yang tak kurang memberi keleluasaan untuk berkembang, serta mekanisme yang melanggengkan ketimpangan termasuk sikap-sikap beragama yang mengurung diri dalam kesalehan semu atau kutub lainnya, aktivisme lapangan yang makin lama makin menciutkan ruang batin. Masa Adven dapat menjadi masa meninjau mana arah-arah yang mesti diluruskan, mana jalan-jalan yang bisa dirintis untuk membuat kemanusiaan makin layak.

Salam hangat,
A. Gianto

Senin, 24 November 2014

Ulasan Eksegetis Injil dan Bacaan kedua Minggu Adven I/B (30 Nop 2014)


Mrk 13:33-37 dan 1Kor 1:3-9

Kini dan di Sini

Rekan-rekan yang budiman!
Masa Adven menjadi persiapan mendalami makna perayaan tahunan kelahiran sang Penyelamat pada hari Natal. Dia yang lahir dalam kesederhanaan di Betlehem itu sama dengan dia yang akan datang pada akhir zaman dengan segala kemuliaannya nanti. Bacaan Injil Adven I tahun B (Mrk 13:33-37) mengajarkan kewaspadaan agar tidak kehilangan arah ke masa depan ini. Nanti dalam Injil Minggu Adven II dan III, perhatian pada “akhir zaman” berkaitan dengan warta Yohanes Pembaptis. Ia mewartakan baptisan sebagai ungkapan tobat dari pihak manusia; ia juga mempersaksikan baptisan dalam Roh yang dibawakan Yesus. Penekanan pada kesaksian akan karya ilahi ini juga ada dalam Injil Minggu Adven IV yang menampilkan orang-orang yang terdekat dengan Yesus, yakni Maria dan Yusuf. Mereka ini orang-orang pertama yang dengan sederhana dan tulus membiarkan Roh bekerja dalam diri mereka. Dan kita semua, kini dan di sini, dapat ikut menikmati buah keberanian mereka.
Di bawah akan ditambahkan sekadar uraian mengenai bacaan kedua, yakni 1Kor 1:3-9.

Waspada
Mrk 13:33-37 sebetulnya memuat dua perumpamaan Yesus mengenai kewaspadaan yang diringkas dan disatukan oleh Markus. Yang pertama terdapat dalam ay. 34, “Keadaannya sama seperti seorang yang bepergian, yang meninggalkan rumahnya dan menyerahkan tanggung jawab kepada hamba-hambanya, masing-masing dengan tugasnya, dan memerintahkan penjaga pintu supaya berjaga-jaga.” Pokok perhatian perumpamaan ini terletak pada kesetiaan. Perumpamaan yang kedua tersirat dalam ay. 35: “Maka berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu kapan tuan rumah itu pulang, menjelang malam, atau tengah malam, atau larut malam, atau pagi-pagi buta.” Di sini yang ditonjolkan ialah sikap waspada.
Para pembaca Markus pada zaman dulu mengerti bahwa tuan rumah yang pulang pada malam hari (ay. 35) tidak sama dengan orang yang tadi diceritakan pergi jauh dan mempercayakan miliknya kepada para hambanya (ay. 34). Bukan kebiasaan orang yang merantau untuk kembali pada saat yang tak terduga-duga pada malam hari. Tuan rumah yang disebut dalam ay. 35 itu hanya pergi ke sebuah perjamuan nikah – seperti diberitakan dalam Luk 12:36 – dan akan pulang malam itu juga walau tidak diketahui jam berapa persisnya. Bahwasanya ada dua perumpamaan juga terlihat dari pengolahan terpisah baik di dalam Injil Matius maupun Lukas.

Matius menggarap kembali perumpamaan yang pertama dalam perumpamaan tentang talenta dalam Mat 25:14 dst. Perumpamaan tentang mina dalam Luk 19:11-27 juga ke arah itu walaupun tidak sejelas Matius. Di lain pihak perumpamaan yang kedua dalam Injil Markus tadi lebih terolah dalam Luk 12:36-38. Lukas menaruhnya di dalam rangkaian pengajaran khusus kepada para murid. Mat 24:43b sebenarnya hanya berupa saduran ringkas perumpamaan yang kedua dengan mengalihkan peran hamba-hamba yang mesti berjaga-jaga dengan sikap seorang tuan rumah yang menjaga rumahnya terhadap pencuri yang tak diketahui kapan datangnya.

Setia dalam Tanggungjawab
Seperti dalam perumpamaan pertama, yakni Mrk 13:34, perumpamaan talenta dalam versi Matius mulai pada Mat 25:14 yang menyebutkan bahwa orang yang meninggalkan rumahnya itu mempercayakan miliknya kepada para hambanya. Markus berhenti di sini dan sisanya dikembangkan oleh pendengarnya. Maka seperti ditemukan dalam Matius, masing-masing hamba disebutkan mendapat sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dengan kata lain, tanggung jawabnya sebanding dengan besarnya tugas tiap orang. Mereka masing-masing diharapkan akan menjalankan pekerjaan yang diberikan pemilik dengan sebaik-baiknya sehingga urusannya tidak terbengkalai walaupun ia tidak ada di tempat. Memang satu ketika ia akan kembali dan memeriksa jalannya urusan yang dipercayakannya tadi. Akan jelas siapa dari para hamba itu yang sungguh dapat dipercaya dan siapa yang sebenarnya tidak layak diserahi urusan. Kesetiaan digambarkan bukan dengan perasaan atau niatan saja, melainkan dengan usaha dan perbuatan nyata. Mereka yang sungguh setia ialah yang berhasil mengembalikan dua kali lipat, maksudnya, berhasil mengembangkan sama dengan besarnya kepercayaan yang telah diberikan tuannya. Mereka akan dijadikan orang merdeka – bukan lagi hamba – dan tetap boleh tinggal di rumah itu. Itulah cara Matius mengembangkan perumpamaan yang dirumuskan Markus dengan amat singkat dalam Mrk 13:34.

Apa warta Mrk 13:34? Seperti ditafsirkan oleh Matius yang kiranya memakai bahan Markus ini, orang diminta agar waspada, selalu siap sedia, dan berani mengembangkan apa saja yang diberikan kepadanya. Tidak dibenarkan sikap merendah dan tak berani berinisiatif karena takut, seperti hamba yang mendapat satu talenta yang malah menyembunyikannya. Ia tidak dapat mempertanggungjawabkan kepercayaan yang telah diberikan kepadanya. Tenggang waktu menunggu pulangnya sang majikan menjadi kesempatan membangun masa depan tapi bisa juga berarti hilangnya masa depan itu. Membangun masa depan dengan sikap percaya ialah cara menerima kebaikan ilahi yang paling bertanggungjawab. Itulah rahmat dalam kehidupan nyata.

Kesempatan Emas
Mari kita lihat bagaimana Lukas menggarap perumpamaan yang kedua. Diceritakannya tentang seorang tuan rumah yang bepergian ke jamuan nikah pada malam hari dan akan pulang malam itu juga. Harapannya, bila pulang ia akan mendapati hamba-hambanya masih bangun. Hamba-hamba yang didapati berjaga ketika tuannya pulang disebut “berbahagia” dalam Luk 12:37. Tuan itu akan meminta mereka duduk dan ia sendiri akan melayani mereka. Ia akan menghidangkan oleh-oleh dan “berkah” yang dibawanya pulang dari pesta tadi. Jelas tuan tadi memikirkan hamba-hambanya. Bagi orang zaman itu, dan boleh juga zaman kita sekarang, keramahan dan sikap tuan rumah tadi mengherankan. Mana ada majikan yang melayani! Memang tak jarang kita pulang larut malam membawa sesuatu bagi mereka yang bekerja kepada kita, tetapi melayani mereka makan…? Pembaca ayat Lukas itu akan bertanya-tanya demikian. Tetapi ini cara Lukas mengatakan bahwa sang tuan rumah kini tidak lagi menganggap mereka hamba. Perlakuannya mengundang mereka duduk dan menghidangkan makanan itu perlakuan kepada anggota keluarga sendiri. Jadi dalam perumpamaan itu hendak dikatakan bahwa mereka yang didapati berjaga-jaga dan membukakan pintu bagi tuan rumah itu kini menjadi anggota keluarga!

Dalam tafsiran Lukas di atas, nasihat berjaga-jaga agar tidak ketiduran dalam Mrk 13:35 tampil sebagai warta gembira. Ujung pangkalnya ialah kebaikan tuan rumah yang kini memperlakukan hamba-hamba sebagai anggota keluarga sendiri. Adakah yang lebih besar yang dapat diinginkan seorang hamba? Adakah hal lebih membuat orang menyesal bila kesempatan ini berlalu begitu saja karena ketiduran? Dan warta ini tidak hanya ditujukan kepada para murid, tetapi juga seperti disebut dalam ay. 37, diajarkan Yesus kepada semua orang.

Penglaman Batin Empat Waktu
GUS: Mark, biasanya kau hemat kata, tapi dalam ay. 35 kok malah kausebutkan satu demi satu keempat waktu “ronda”: malam hari, tengah malam, larut malam, dan pagi-pagi buta. Luc dan Matt tidak ikut menyebutnya.

MARK: Ehm! [Lalu pandangannya kembali ke masa silam.] Memang itu dariku sendiri. Gus, tahu kan, saat-saat akhir hidup Yesus diingat dalam empat waktu itu: (1) …setelah hari malam, Mrk 14:17, ia mengadakan perjamuan terakhir ..” lalu (2) menjelang tengah malam ia ditangkap di Getsemani dan langsung di sidangkan di Mahkamah Agama Mrk 14:53; setelah itu (3) sebelum ayam berkokok kedua kalinya, Mrk 14:72, Petrus, orang kepercayaannya, menyangkalnya untuk ketiga kalinya; dan akhirnya (4) – pagi-pagi benar – seperti dalam Mrk 15:1, ia dibawa ke hadapan Pilatus untuk diadili dan akhirnya dihukum mati di salib.

GUS: [Dalam hati, “Mark ngelamun nih!”] Maksudmu?
MARK: Ada di antara para pengikut Yesus dulu yang menantikan kedatangannya kembali seperti hamba-hamba menunggu tuannya pulang pesta sambil berharap nanti bisa mendapat berkah, seperti tafsirmu di atas yang mengikuti Luc tadi. [Menatap tajam lalu menghela nafas.] Tapi kerap itu hanya lamunan!
GUS: [Terhenyak, kok ia tahu yang saya katakan dalam hati tadi.] Jadi sebaiknya melakukan “berjaga-jaga” itu dalam ujud ikut menjalani waktu demi waktu malam harinya Yesus dan menarik hikmat dari kisah itu?
MARK: Saat kedatangan itu hanya Bapa-lah yang tahu (Mrk 13:32). Tapi kita bisa mendapatkan kebijaksanaan memahami siapa dia yang bakal datang pada saat yang tak terduga-duga itu.
GUS: Dan kebijaksanaan itu diperoleh bila kita menyertainya pada saat-saat hidupnya paling sulit seperti ketika mesti berpisah dengan yang murid-muridnya, ditolak kaum tua-tua, disangkal orang terdekat, dihukum mati. Begitukah?

MARK: Itulah maksudnya berjaga-jaga empat waktu tadi.
Bincang-bincang ini makin membuat jelas bahwa masa Adven ialah kesempatan berjaga-jaga agar dapat menyertai Yesus dalam empat waktu tadi. Semua ini terjadi padanya karena ia bersedia menjadi silih bagi seluruh umat manusia. Maka memperingati kelahirannya nanti juga berarti merayakan kedatangan penebus. Ketika hendak saya pastikan hal itu dengan Mark, ia sudah pergi. Kini hanya tulisannyalah yang tertinggal di sini.

Dari Bacaan Kedua: Akalbudi dan Kepercayaan  (1kor 1:3-9)
Bacaan kedua dipungut dari bagian surat pertama Paulus kepada umat di Korintus yang mengungkapkan rasa syukur Paulus akan kebaikan Tuhan yang telah dinikmati umat. Ungkapan seperti ini sudah lumrah dalam gaya surat-menyurat antara sesama kaum terpelajar yang sama aliran kepercayaannya. Namun demikian, lebih dari sekadar basa-basi, Paulus bersyukur bahwa umat telah diperkaya dengan anugerah ilahi dalam ujud segala macam “perkataan dan pengetahuan” yang termuat dalam kesaksian tentang Kristus di kalangan umat.

Orang-orang Korintus yang menjadi pengikut Kristus berasal dari kalangan Yahudi tetapi yang juga berlatar pendidikan Yunani. Mereka ini orang-orang yang terbiasa berpikir mandiri. Bahkan seperti kaum intelektual waktu itu mereka amat menekankan penalaran, juga menyangkut kehidupan iman. Paulus melihat sikap intelek ini sebagai anugerah ilahi. Sedikit demi sedikit Paulus mengajak umat di Korintus untuk memakai kemampuan akalbudi mereka untuk menyelami misteri kehadiran Kristus. Dengan demikian pengetahuan serta kebijaksanaan mereka akan mendapatkan dimensi spiritual pula. Inilah kekayaan batin yang dianjurkan Paulus agar dikembangkan dengan baik. Di kalangan umat memang ada kecenderungan untuk terlalu mementingkan penalaran individual mengenai iman dan cara mempersaksikannya. Dalam kaitan ini Paulus nanti akan menekankan kebersamaan dalam kesaksian iman di kalangan umat.

Satu hal yang ditonjolkan dalam bagian ini ialah ajakan agar umat memahami kesetiaan ilahi yang menguatkan mereka sehingga nanti mereka sampai dengan “tanpa cacat pada hari Tuhan kita Yesus Kristus” (ay. 8). Yang dimaksud ialah hari kebesaran Tuhan dinyatakan dan saat itulah akan jelas siapa yang “tanpa cacat”, yang utuh, dan bisa berada bersamaNya dan siapa yang tidak pantas untuk itu. Mereka yang meluangkan daya akalbudi untuk mengenali kehadiranNya ialah yang disebut utuh, tanpa cacat.
Warta ini masih berlaku bagi zaman ini. Kemanusiaan sebenarnya dapat terus berkembang juga seandainya kepercayaan kurang diberi tempat. Namun perkembangan ini bakal tidak menjadi kekayaan batin bila tidak mengembangkan dimensi kepercayaan. Juga kepercayaan yang kurang teruji dalam kejernihan nalar akan kabur nilainya dan akan tampil kasar lagipula bisa menimbulkan ketegangan. Ajakan Paulus masih berlaku bagi masa kini pula.

Salam A. Gianto

Kamis, 20 November 2014

SP Maria dipersembahkan kepada Allah

“Santa Perawan Maria sudah barang tentu melakukan kehendak Bapa, dan baginya jauh lebih berarti menjadi seorang pengikut Kristus daripada menjadi Bunda-Nya, dan ia lebih diberkati sebagai pengikut-Nya daripada sebagai bunda-Nya. Baginya suatu kebahagiaan untuk mengandung dalam rahimnya seorang Putera yang akan ditaatinya sebagai Tuhan-nya.” ~ St. Agustinus    



Ketika usianya baru tiga tahun, Santa Perawan Maria dibawa oleh kedua orangtuanya, St. Yoakim dan St. Anna, ke Bait Allah di Yerusalem. Seluruh hidup Maria dipersembahkan kepada Allah. Tuhan telah memilih Maria untuk menjadi Bunda dari Putera-Nya, Yesus. Santa Maria gembira dapat mulai melayani Tuhan di Bait Suci. Dan St. Yoakim serta St. Anna juga merasa bahagia dapat mempersembahkan puteri kecilnya yang kudus kepada Tuhan. Mereka percaya bahwa Tuhan telah mengirimkan Maria kepada mereka.


Di Bait Allah, Imam Besar menerima kanak-kanak Maria. Ia akan ditempatkan di antara para gadis yang dipersembahkan bagi kepentingan doa dan pelayanan Bait Suci. Imam Besar mencium serta memberkati kanak-kanak suci itu, ia tahu bahwa Tuhan telah merancangkan suatu hal besar baginya. Kanak-kanak Maria tidak menangis atau pun merengek dan kembali kepada orangtuanya. Ia datang dengan amat girangnya ke altar sehingga semua orang yang ada di Bait Allah jatuh hati kepadanya.

St. Yoakim dan St. Anna pulang kembali ke rumah mereka. Mereka memuliakan Tuhan oleh karena puteri mereka terberkati. Maria tetap tinggal di Bait Allah, di mana ia tumbuh dewasa dalam kekudusan. Maria melewatkan hari-harinya dengan membaca Kitab Suci, berdoa serta melayani para imam di Bait Suci. Ia menenun kain halus serta menjahitnya menjadi baju-baju yang indah. Maria dikasihi oleh para gadis yang lain sebab ia amat lembut hati. Maria berusaha untuk melakukan semua kewajibannya dengan sebaik-baiknya agar dapat menyenangkan hati Tuhan. Maria bertumbuh dalam rahmat Tuhan sehingga semakin nyatalah kemuliaan Tuhan. (Yesaya)

Injil Minggu 23 November 2014



Mat 25:31- 46, Mengapa Kristus disebut Raja 

Rekan-rekan yang budiman!
Digambarkan dalam Mat 25:31-46 bagaimana pada akhir zaman nanti Anak Manusia datang sebagai raja untuk menghakimi semua bangsa. Pahala diberikan kepada mereka yang berbuat baik kepadanya ketika ia lapar, haus, tak ada kenalan, telanjang, sakit, bahkan dipenjara. Mereka yang tak punya kepedulian akan tersingkir. Mereka tidak menyadari bahwa perlakuan kepada salah satu dari saudaranya yang paling hina sama dengan perbuatan terhadapnya sendiri. Bagaimana memahami ajaran Injil yang dibacakan pada hari raya Kristus Raja Semesta Alam tgl. 23 November 2014 ini? Beberapa hal saya bicarakan dengan Matt sendiri. Karena akan berguna bagi rekan-rekan, berikut ini saya kutipkan balasannya. Ia juga ada pesan khusus pada akhir suratnya. Semoga bermanfaat, A. Gianto

[...] Gus, pengajaran Yesus ini kutemukan dalam sumber yang tidak dikenal Mark maupun Luc. Juga Oom Hans tidak menyebutnya. Bahan itu kemudian kutaruh bersama dengan beberapa pembicaraan lain mengenai akhir zaman dalam bab 24-25 dengan penyesuaian di sana sini. Kusisipkan perumpamaan Anak Manusia memisahkan bangsa-bangsa seperti “gembala memisahkan domba dari kambing” (Mat 25:32). Maksudnya, penghakiman itu bukan semena-mena. Ia mengenal mereka sebagai gembala mengenal kawanannya satu per satu. Ia tahu siapa yang membiarkan diri diberkati. Seperti domba-domba, mereka ini akan diberinya tempat aman di sebelah kanannya. Tetapi yang menyukai kekerasan – seperti kambing – akan dijauhkannya.

APABILA ANAK MANUSIA DATANG DALAM KEMULIAANNYA…
Apakah itu ramalan? Sama sekali bukan bila yang dimaksud ialah “pengetahuan gaib tentang masa depan”. Yang hendak disoroti ialah keadaan yang sedang berlangsung kini. Begini, kita biasa memahami masa sekarang sebagai kelanjutan dan akibat peristiwa-peristiwa masa lampau. Nah, dalam petikan ini semuanya digeser ke depan dan dengan demikian dapat menjadi pengarahan dan harapan. Jadi keadaan sekarang ini ialah “masa lampaunya” kejadian “kelak” yang digambarkan dalam petikan ini. Namun pengertian kami mengenai jalannya sejarah tidak seperti mesin, bila begini pasti begitu. Kami justru melihat adanya unsur yang tidak termasuk hukum-hukum perjalanan waktu, yakni kehadiran Yang Ilahi. Kehadiran-Nya bisa memberi arah baru pada sejarah kemanusiaan dengan cara-cara yang tidak kita duga sama sekali. Baru kita sadari setelah terjadi. Dan yang kalian dengarkan hari ini ada dalam arah itu. Kehadiran Yang Ilahi itu dibicarakan dengan memakai gagasan tampilnya “Anak Manusia” dalam kemuliaannya tapi yang tidak langsung dikenali. Orang bertanya “Kapan kami melihatmu…?

“Anak Manusia” di sini berhubungan erat dengan Dan 7:13. Di situ Daniel melihat ada sosok yang “seperti anak manusia” datang mengarah kepada Yang Mahakuasa untuk menerima kuasa atas bumi dan langit. Lihat, kuasa ini diberikan bukan kepada malaikat, atau makhluk ilahi, melainkan kepada tokoh yang memiliki ciri-ciri sebagai manusia itu. Dan tentangnya dikatakan “mengarah” ke Yang Mahakuasa. Inilah kemanusiaan yang terbuka bagi keilahian, tidak menutup diri atau malah mau menyainginya. Semua ini ikut disampaikan dalam pengajaran Yesus dalam petikan Injil hari ini. Anak Manusia tampil sebagai yang kini menduduki tahta kemuliaannya tetapi tetap mengarahkan diri kepada Yang Mahakuasa. Dalam ay. 34 ia malah terang-terangan menyebut-Nya sebagai Bapa yang telah menyiapkan tempat bagi mereka yang diberkati.
Dalam bahasa yang dipakai Yesus, bahasa Aram, ungkapan “anak manusia” itu artinya sama dengan “manusia”, tapi dengan penekanan pada sifatnya sebagai makhluk di hadapan Pencipta. Dalam alam pikiran kami, seluruh umat manusia itu makhluknya Yang Maha Kuasa. Yesus beberapa kali merujuk pada dirinya sendiri sebagai “Anak Manusia”. Hendak dikatakannya, ia tahu tempatnya sebagai manusia di hadapan Pencipta. Hidupnya berasal dari Dia. Karena itu Yesus mengajarkan bahwa Sang Pencipta dapat dipanggil sebagai Bapa. Coba ucapkan doa Bapa Kami – di situ terpeta siapa Dia yang dapat dipanggil Bapa tadi.

Ingat kisah pengakuan Petrus bahwa Yesus itu Mesias – Yang Terurapi – Anak Allah yang hidup (Mat 16:16)? Tetapi kemudian Yesus melarang murid-muridnya memberitahukan kepada siapa pun bahwa ia Mesias (16:20). Ia malah berbicara mengenai penderitaannya bakal ditolak, dibunuh, tetapi akan dibangkitkan pada hari ketiga (16:21). Kata “ia” yang kupakai di situ menjelaskan makna ungkapan aslinya, yakni “Anak Manusia”, yang ada dalam tulisan Mark yang menjadi sumberku (Mrk 8:31). Luc malah eksplisit menampilkannya dalam ujud kutipan langsung (Luk 9:22). Yesus ingin agar murid-muridnya mengerti terlebih dahulu bahwa kemesiasannya itu hanya berarti bila disertai pengakuan diri sebagai makhluk di hadapan Pencipta. Juga baru dengan demikian ia dapat tampil sebagai Mesias yang senasib sepenanggungan dengan  manusia.

SEMUA BANGSA AKAN DIKUMPULKANNYA
Kau bertanya apakah “semua bangsa” dalam Mat 25:32 merujuk kepada seluruh umat manusia, seperti kerap ditafsirkan. Terus terang bukan itulah yang kupikirkan. Kau tahu kan, istilah ini berasal dari tradisi Perjanjian Lama. Di situ “bangsa-bangsa” ialah mereka yang tidak termasuk “umat Allah”, yakni yang bukan orang Yahudi. (Bdk. Mat 24:14, juga 28:19 yang kaubicarakan bagi Pesta Kenaikan Tuhan) Tetapi di kalangan kami timbul pertanyaan yang mengusik batin. Dapatkah “bangsa-bangsa” itu ikut masuk hidup abadi? Atau mereka tak masuk hitungan? Memang kami beruntung karena jadi bangsa terpilih, tapi kami kan tak boleh melupakan orang lain. Lalu bagaimana?

Menurut Yesus, keselamatan “bangsa-bangsa” itu bergantung pada perlakuan mereka kepada sang raja ketika ia lapar, haus, tak ada tumpangan, telanjang, sakit, dipenjara. Tapi ketika mereka bertanya kapan mereka ada kesempatan berbuat demikian terhadap dia, sang raja menjawab, yang kalian perbuat terhadap “salah seorang (saudaraku) yang paling hina ini” (ay. 39 dan 45) sama dengan yang kauperbuat terhadapku. Maksudnya orang yang termasuk kaumnya sang raja, termasuk bangsa terpilih. Yesus tidak menghapus tradisi mengenai bangsa terpilih, tetapi malah mengembangkannya. Jawaban ini genial. Mereka yang di luar lingkungan bangsa terpilih dapat ikut menikmati keselamatan bila mereka menghargai yang paling kecil dari bangsa terpilih tadi.

Penting kalian ketahui, pembicaraan tadi ditujukan terutama kepada kami, pengikut Yesus yang berasal dari lingkungan Yahudi, yang merasa lebih beruntung daripada “bangsa-bangsa”. Mereka sendiri bukanlah pendengar yang dimaksud. Karena itu jangan petikan ini ditafsirkan sebagai imbauan kepada mereka agar berbuat baik kepada orang seperti kami, berikut janji pahala dan ancaman hukuman. Yesus bukan guru yang naif. Sapaannya diarahkan langsung kepada kami yang merasa sudah mengikuti dia. Ia mau berkata, mereka akan ikut selamat bila kalian membiarkan diri menjadi jalan bagi mereka. Hiduplah menurut kehendak Bapa, jadilah “saudaraku” yang sungguh, sehingga orang luar – “bangsa-bangsa” itu –  melihat integritas kalian dan memperlakukan kalian dengan baik.
Tampak betapa manusiawinya ajaran Yesus itu tapi juga betapa luhurnya Anak Manusia yang mengajarkan semua ini. Tak heran ia disebut Raja semesta alam! Inilah corak universal ajarannya. Seperti dikisahkan teman kita Luc, komunitas pengikut Yesus diperkaya dengan ikut sertanya “bangsa-bangsa”, yakni orang-orang seperti Kornelius dan orang-orang yang mendengarkan pewartaan Paul di mana-mana.

SARAN DAN PESAN
Bukan maksudku mengajak kalian memandangi zaman dulu saja. Aku tahu kalian memahami diri sebagai umat Allah yang baru. Begitu kan teologi Gereja kalian? Konsekuensinya, kalian diharapkan berani menjadi “saudara”-nya Yesus, sekecil apapun. Bisakah kalian menerima kenyataan Sabda Bahagia? Kalau ya, teruskan, dan kalian akan menjadi jembatan emas bagi “bangsa-bangsa” di zaman kalian. Terus terang aku sampai hari ini masih gelisah memikirkan apa nanti akan ada yang terpaksa perlu ditempatkan di sebelah kiri dan disuruh enyah. Bila ya, artinya kami gagal membuat pihak-pihak lain melihat bahwa kepercayaan yang kami hayati itu patut mereka tanggapi baik-baik. Kami juga akan merasa kurang mampu menunjukkan diri betul-betul saudara raja tadi. Gus, mintakan pertolongan rekan-rekan, tutuplah kekurangan kami di masa lampau dengan yang bisa kalian buat sekarang. Dan kami akan lebih tenang. Kalian itu sambungan hidup kami!

Ini juga penghabisan kalinya Injil Matius kalian bacakan pada hari Minggu. Gus, terima kasih sudah berusaha menguraikan kisah-kisahku tentang Yesus bagi orang zaman ini. Tidak perlu kita selalu sekata mengenai semua hal. Bila begitu nanti khazanah Injil malah tidak tertimba. Bila dua ahli Kitab saling mengulang, apa yang bisa dituai pendengar? Itu itu juga! Kami dididik berani memasuki liku-liku teks agar semakin diperkaya di dalam interaksi dengan teks. Dan teksnya sendiri akan mekar jadi indah. Bila begitu peneliti teks boleh berkata, dalam bahasa Yunani, “matheteutheis” (Mat 13:52), artinya, “telah memperoleh hikmat pengajaran”. Ah, tak usah menduga-duga apa bunyi kata itu mau mengingatkan nama resmiku, “Maththaios”.
Mulai Minggu depan kalian akan lebih sering mendengarkan Mark. Juga Oom Hans akan kerap datang. Mark itu hemat kata. Ia mengikhtisarkan ceramah-cermah Petrus di Roma bagi pendengar yang semakin ingin tahu siapa Yesus Kristus itu. Luc dan aku sendiri berhutang banyak kepada Mark. Dan juga Oom Hans, meski beliau baru menerbitkan bukunya setelah kami semua selesai menulis! Kalian pasti akan belajar banyak dari mereka berdua. Dan engkau sendiri masih akan menulis tentang mereka kan?
Selamat tinggal! Sampaikan salam kepada rekan-rekan di Internos,
Matt

Salam, A Gianto