Keluargaku

Keluargaku

Rabu, 21 September 2011

Guantánamo

Senin, 19 September 2011
Ada sepatah kata yang agaknya dicoba dilupakan Obama—kata yang dicoba dilontarkan jauh-jauh tapi bergetar seperti lembing yang tertancap di tempat lain: "Guantánamo".

Nama itu tak lagi menandai sebuah wilayah. Ia menunjuk ke serangkai ketakjelasan.

Hanya setahun setelah "11/9"—setelah Kota New York diguncang dua pesawat teroris yang menghancurkan Menara Kembar dan membunuh hampir 3.000 orang sekaligus—Amerika Serikat menyerbu Afganistan. Sejumlah orang tertangkap.


Dari Afganistan mereka diterbangkan jauh ke pantai Teluk Guantánamo, wilayah tenggara Kuba yang sejak 1903 disewa AS untuk pangkalan angkatan laut. Pemerintah Kuba yang sekarang menganggap perjanjian itu tak berlaku, tapi Castro tak bisa mengubah keadaan. Anehnya, pemerintah AS sendiri yang kemudian menentukan tempat itu di luar yurisdiksi hukumnya.

Akhirnya "Guantánamo" adalah wilayah yang tak jelas statusnya untuk tahanan yang tak jelas statusnya—orang-orang yang dianggap bukan "tawanan perang" yang berhak diperlakukan dengan ketentuan Konvensi Jenewa.

Dalam ketakjelasan itu pemerintah Bush mengelak dari hukum internasional. Sekaligus ia menunjukkan, sebagaimana ketika menyerbu Irak tanpa mengindahkan PBB, bahwa Amerika Serikat adalah sebuah perkecualian. Negeri lain di muka bumi harus menaati hukum antarbangsa, tapi AS tidak.

Syahdan, di satu sudut Washington Square, satu hari setelah "11/9", saya melihat sederet kalimat terpasang, konon dikutip dari Nelson Mandela. Kata-kata itu seakan-akan memperingatkan agar AS, dalam amarah dan kepedihan, tak terjerumus: "Rasa takut kita yang terdalam bukanlah karena kita tak memadai. Rasa takut kita yang terdalam adalah karena kita kuat, lebih kuat dari yang bisa dibayangkan. Terang-benderang kitalah yang menakutkan kita, bukan kegelapan kita."


Tapi apa mau dikata. Itu cuma kalimat di pojok taman New York. Sejak "11/9", AS merasa jadi korban; ia merasa membawa terang-benderang, bukan kegelapan. Dan ia sadar ia sangat kuat.

Dengan itulah ia memang terjerumus.

"Guantánamo" jadi kata yang terpaut erat dengan kesewenang-wenangan: di sana ditahan ratusan orang yang belum terbukti bersalah untuk waktu yang tak ditentukan. "Guantánamo" juga terpaut dengan penyiksaan.

Satu fragmen penuturan Abu Zubaydah yang ditangkap tentara Amerika dalam satu serbuan di Faisalabad, Pakistan, 28 Maret 2002: "Saya dikeluarkan dari sel saya dan salah seorang interogator membungkus leher saya dengan sehelai handuk, dan dengan itu mereka mengayunkan tubuh saya dan membenturkannya berulang kali ke tembok keras kamar…."


Orang Palestina berumur 31 itu diduga orang penting dalam Al-Qaidah, meskipun belum pernah terbukti. Dalam The New York Review of Books 13 Oktober 2011, dengan tajam dan masygul Mark Danner menulis bagaimana Amerika telah masuk ke state of exception, keadaan luar biasa yang memperkenankan pelanggaran konstitusi dan hak-hak asasi. Yang ditanggungkan Abu Zubaydah adalah contohnya.

Tapi state of exception itu sebenarnya bukan benar-benar keadaan "luar biasa". Penyiksaan atas Abu Zubay­dah adalah satu "de-nasionalisasi" (atau "internasionalisasi") kekejaman: seorang tersangka bisa diperkosa hak-haknya dengan cara mengirimnya ke luar wilayah nasional. Guantánamo dinyatakan berada di luar yurisdiksi hukum Amerika. Para tahanan dikirim ke negeri-negeri lain yang mau bekerja sama, ke bui-bui rahasia nun di Polandia, Maroko, Lithuania, Pakistan, Rumania, juga mungkin Libya. Di sana mereka bisa disiksa untuk "mengaku".


Dengan itu Amerika mengukuhkan keburukan berabad-abad: kesewenang-wenangan terhadap orang yang dianggap musuh adalah hal yang wajar, di mana saja, dulu dan kini. Artinya Amerika tak berada di pihak yang ingin mengubah dunia jadi lebih baik: ia termasuk suara yang yakin tak ada harapan. Presiden Obama, yang mendapat Hadiah Nobel Perdamaian dan pernah berjanji menutup kamp Guantánamo, ternyata seakan-akan melupakannya.

Atau mungkin juga ini peneguhan pandangan yang percaya bahwa semua keputusan tentang baik dan buruk tak memerlukan ingatan panjang, sebab tak ada yang kekal. Yang baik dan yang buruk adalah hasil keputusan politik. "De-nasionalisasi" kekejaman justru menunjukkan bahwa di mana-mana tak ada dasar yang universal yang menentukan apa yang sewenang-wenang dan yang tidak. Kita harus mengakui contingency sebagai kondisi satu-satunya ketika kita coba tentukan nilai-nilai kita: semua bergantung pada konteks; tak ada yang pasti.


Agaknya di sini bergaung pragmatisme yang dikukuhkan Richard Rorty. Bagi Rorty, filsafat, yang hendak menentukan apa yang benar dan yang baik, seyogianya ditinggalkan. Metafisika, yang berpretensi mengetahui apa yang universal, sebenarnya hanya melihat dari luar, dari atas, kejadian. Sebab itu lebih baik sastra ketimbang filsafat. Kata Rorty, lebih baik "menyajikan kisah-kisah yang memberi inspirasi tentang episoda atau tokoh dalam masa lalu bangsa—episoda dan tokoh yang jadi panutan sebuah negeri".

Tapi dengan itu ia menangkis tesisnya sendiri: bukankah "episoda" atau "tokoh" tauladan itu dipilih dengan dasar yang kukuh tentang apa yang baik? Bukan nilai yang hanya lahir dari satu ruang dan waktu?

Ada yang mencatat, pembangkangan di Dunia Arab kini terpaut juga dengan kata "Guantánamo". Di sana banyak orang Arab dianiaya. Akhirnya "Guantánamo" jadi lembing yang bisa ditusukkan siapa saja, di mana saja—dan sebab itu membangkitkan amarah orang-orang di negeri lain, tentang kesewenang-wenangan penguasa mereka.

Pada saat seperti itu, "Guantánamo" punya gema yang mungkin tak disangka Obama.


Goenawan Mohamad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar