Keluargaku

Keluargaku

Kamis, 15 September 2011

11/9

Senin, 12 September 2011
Sudah sepuluh tahun lewat. 11 September 2001. Tapi saya ingat: malam itu, sembilan jam setelah dua pesawat itu ditabrakkan ke Menara Kembar di New York dan seluruh dunia terguncang, saya berdiri di tepi Bleecker Street, Greenwich Village.


Saya bersama Komponis Tony Prabowo. Kami terdampar di New York. Berdua dalam perjalanan ke sebuah kota kecil di California untuk menyiapkan revisi opera kami Kali, kami tak bisa bergerak oleh kejadian 11 September itu: tak ada pesawat boleh terbang dari kota ini, masuk ke kota ini.

New York jadi aneh. Malam itu, tak tahu apa yang harus dilakukan, kami berjalan ke arah selatan. Tak ada kereta subway. Tak ada taksi. Hari tambah gelap, ketika, didorong oleh separuh iseng dan separuh ingin tahu, kami menyusuri Mercer Street, ke Wall Street, di mana Menara Kembar masih dalam api dan asap yang menggagahinya.


Cahaya listrik hilang di wilayah itu. Beberapa belas meter dari Duane Street kami lihat lampu-lampu sorot besar di antara bayangan hitam gedung-gedung. Sejumlah prajurit bersenjata bersiaga, di antara asap dan abu yang membuat kabut. Bagian kota ini seperti dalam keadaan perang.

Di dekat stasiun metro Chambers Street yang ditutup, seorang tentara menghentikan kami. 'Anda tak bisa terus. Dilarang masuk ke wilayah ini'.

Dengan setengah kecewa kami kembali, berjalan dalam senyap yang hampir mutlak. Hanya ada satu bar kecil di pojok Worth Street yang buka. Kami masuk. Ada empat orang lelaki di sana. Berbisik-bisik. Kami minum. Praktis terdiam.

Berubahkah New York? Dua malam berikutnya, kami menyusuri jalan-jalan Manhattan. Di beberapa pojok tampak deretan lilin dipasang. Ada potret-potret dilekatkan dan sederet ucapan yang dituliskan seperti doa - untuk mereka yang tak kembali dari Menara Kembar, yang hilang, mungkin hangus atau hancur.

Beberapa belas jam setelah 11/9, New York tampak jadi mizbah. Di altar itu orang mempersembahkan segalanya untuk harapan dalam kecemasan. Ada sesuatu yang tak terduga dan tak bisa dipahami yang menghantam kota perkasa ini. Hidup sehari-hari yang kemarin banal tiba-tiba direngkuh oleh yang sublim - yang tak terperikan, yang ngeri, yang nyeri.


Dari suasana itu Tony Prabowo membuat sebuah komposisi yang ia sebut 'Psalms', untuk piano dan orkes kamar.

Tapi musik yang menangkap suasana itu bukanlah tandingan retorika yang menerjemahkan 11 September 2001. Dengan segera New York diubah dari mezbah jadi podium, dari mana kata-kata memberi nama dan dalih. Juga dusta.

Nama itu: '11/9'. Derrida memakai kata fait date untuk penamaan itu: orang menyebut sebuah tanggal dalam sejarah yang menandai sebuah kejadian yang rasanya tak terbandingkan. Tapi, seperti diingatkan Derrida, kata 'rasanya' itu sebenarnya tak sepenuhnya spontan: perasaan tentang tanggal itu, tentang nama itu, juga dibentuk dan diedarkan melalui media, melalui seperangkat 'mesin tekno-sosio-politis'. Dengan nama itu pelbagai peristiwa, pelbagai sebab-musabab dan pelbagai sikap diringkus jadi satu - dan jadilah ia sebuah penanda yang maknanya ditentukan oleh suara yang paling keras dan, di hari-hari itu, paling sempit.

Dengan nama itu pula, dari Gedung Putih, sejumlah setasiun televisi dan kantor-kantor media, merumuskan sebuah citra yang hendak membuat kejadian yang tak terperi itu jadi sesuatu yang bisa dipahami. 'Amerika sedang diserang!', begitulah yang terdengar berkali-kali -- dengan keterangan bahwa ini serangan kedua ke wilayah Amerika setelah bom-bom Jepang menghantam Pearl Harbor pada 1941.


Retorika Amerika pasca-11/9 berhasil memberi bentuk kepada carut-marut perasaan cemas, bingung, marah yang berkecamuk itu. Teror itu dijinakkan ke dalam sebuah kerangka penjelasan, hingga rasa waswas jadi sesuatu yang bisa dikuasai akal. Retorika itu juga menghadirkan Amerika Serikat sebagai satu kesatuan yang harmonis, tubuh yang tak terdiri dari konflik. Retorika itu juga menampilkan Amerika Sertikat sebagai sesuatu yang tak tercemar oleh sejarah kebijakan luar negeri yang membuat orang, di bagian dunia lain, begitu benci dan begitu nekat hingga menabrakkan dua pesawat terbang ke Menara Kembar hari itu.

Retorika pasca-11/9 adalah sebuah dalih. Kemudian dusta. Sebab '11/9' tak sebanding dengan serangan Jepang di Pearl Harbour 1945. Yang bisa dibandingkan sebenarnya sebuah aksi teror di kota Oklahoma, 19 April 1995. Di sana bom diledakkan di sebuah gedung pemerintah pusat; 168 orang tewas (termasuk 16 bocah di bawah umur 6 tahun) dan 324 gedung hancur atau rusak. Tapi teror ini tak disebut dalam retorika pasca-11/9 karena ia dilakukan orang Amerika sendiri, Timothy McVeigh dan kawan-kawannya. Para penentang pemerintah federal Amerika ini adalah indikasi bahwa negeri itu bukanlah sebuah keutuhan. Sementara itu, para teroris 11/9 (sebagaimana pesawat-pesawat Jepang di Pearl Harbor) adalah 'orang luar' yang dengan ancamannya justru membentuk citra tentang Amerika Serikat sebagai kubu yang tak retak.

Beberapa hari setelah 11/9, bendera garis-dan-bintang dipasang di mana-mana. Ia bahkan satu-satunya yang dikibarkan di Rockefeller Plaza di 50th Street; bendera negara-negara dunia yang sebelumnya terpasang di sana telah dicopot. Amerika Serikat telah mengambil-alih posisi korban, juga suasana berkabung dan kecemasan yang universal, jadi miliknya sendiri. Dengan kata lain: sebuah pengucapan nasionalisme yang tak baru.


Maka aneh bila orang menandaskan, 11/9 telah mengubah dunia. Apa yang berubah? Al-Qaedah tetap tak mengalahkan Amerika dan perang Amerika yang menyusul setelah itu tetap sebuah kekerasan imperial yang lama. Sajak Robinson Jeffers di akhir 1930-an tetap bersuara tajam di abad ke-21: 'Never weep, let them play/ Old violence is not too old to beget new values.'


Goenawan Mohamad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar