Keluargaku

Keluargaku

Selasa, 29 November 2011

Tintin

Senin, 28 November 2011
Saya menemukan Tintin pertama kali di sebuah rumah di dusun Marly-le-Roi, beberapa kilometer dari Paris, tempat saya berlibur bila kuliah jeda. Itu tahun 1965. Pada suatu malam, saya lihat setumpuk buku cerita bergambar di sudut kamar. Saya memungutnya. Saya pun tak berhenti membacanya—dan tertawa berkali-kali: humor adalah pemikat awal (dan akhir) komik ini.

Yang punya rumah dari ruang makan mendengar saya tertawa sendirian. "Kasihan kamu," katanya. "Baru sekarang kamu kenal Tintin."


Tentu saja ia benar. Ia orang Belgia; ia dibesarkan dengan cerita bergambar itu; saya orang Indonesia, dari sebuah masa ketika bacaan dari "Barat" hampir mustahil masuk. Tapi sebetulnya tak jadi soal kapan dan bagaimana seseorang mengenal tokoh fiktif ciptaan Georges Prosper Remi ini. Sejak 1929, sejak Remi, dengan nama Hergé ("R.G."), memuatnya tiap pekan di halaman Le Petit Vingtième, sampai 2011, ketika Steven Spielberg membuat The Adventures of Tintin, tiap hari orang menemukan Tintin. Dengan senang hati.

Sebenarnya jagoan ini tak akan memikat, andai ia tampil sendiri di luar cerita. Ia tak tinggi, tak tegap. Parasnya klimis; pipi itu tampak lunak seperti kue sus. Kulitnya putih susu. Dengan rambut pirang yang berjambul, dengan pakaian yang sesopan siswa sekolah Minggu, Tintin tampak bersih sampai ke ulu hati. Ia tak pernah mencoba mengganggu. Ia sopan. Ia datar. Ia membosankan.

"Every hero becomes a bore at last," kata Ralph Waldo Emerson.


Pahlawan, tokoh cerita yang dipaparkan untuk memenangkan niat baik, umumnya diletakkan dalam kategori manusia luar biasa—tapi dengan norma kebajikan yang biasa. Superman: ia, yang hidup dalam imajinasi Amerika sejak tahun 1930-an, seorang makhluk ajaib dan sekaligus imigran dari planet lain. Tapi ia sebenarnya menegakkan nilai-nilai yang tecermin dari cara Clark Kent berperilaku sehari-hari: seorang warga mayoritas yang merasa utuh bila mengenakan jas dan dasi. Ia orang yang tak akan menggebrak sekitarnya. Ia pahlawan karena ia meneguhkan apa yang bisa membuat tenteram orang ramai.

Seperti Clark Kent, Tintin tak tampak asing. Lagi pula ia bukan imigran. Lahir untuk mengisi lembaran anak muda dari koran Le Vingtième Siècle—sebuah surat kabar Katolik Belgia yang konservatif—Tintin sejenis santo sehari-hari: orang amat baik yang tak datang dari pengorbanan yang ekstrem. Umurnya mungkin 20-an. Saya tak tahu latar belakang keluarganya, tapi pasti bukan pembangkang konformitas warga Brussel yang lama. Ia bukan pemuda nakal. Tak akan ada adegan Tintin minum-minum di bar di antara perkelahian. Tak akan ada ciuman bernafsu. Dalam Tintin, pahlawan ditampilkan sebagai selibat, tubuh yang tanpa seks—karena seks, seperti difatwakan Gereja, adalah najis.

Itu sebabnya ia tak memikat—terutama di zaman ini, ketika para santo tak disalibkan, melainkan ditertawakan.


Namun ada yang berharga dari Tintin: ia mengajak kita sejenak lepas dari zaman yang penuh sinisme ini. Memang, sikapnya yang lurus bisa membuat tertawa mereka yang tak percaya bahwa masih ada kesatria yang tanpa pamrih. Tapi ada tertawa lain yang terdengar. Kisah petualangannya menimbulkan gelak, tapi gelak yang tak ganas, gelak yang justru membuat kita akrab dengan orang lain, betapapun menggelikannya orang itu.

Tintin dikenang bukan sebagai kisah keberanian. Yang tak terlupakan adalah apa yang nakal dari Milou alias Snowy, anjingnya yang bandel, apa yang konyol dari Thompson & Thomson, dua agen rahasia yang bodoh itu, dan apa yang meledak-ledak dari Haddock, si pemabuk yang ribut.

Demikianlah sang pahlawan yang membosankan memberi ruang bagi sosok yang tak seperti dirinya: orang-orang yang mengasyikkan.

Itu sebabnya gambar Hergé terdiri atas dua lapis. Lapis pertama tanpa detail yang "realistis": wajah Tintin yang datar. Lapis kedua: latar yang rinci dan ramai tentang sebuah tempat, katakanlah di Rusia atau di India.

Di lapis pertama kita temukan Tintin yang rapi seperti dalam formula. Di lapis kedua: kocak yang gila-gilaan. Di sini Haddock melontarkan lebih dari 200 jenis sumpah serapah; atau kita dengar suara sopran yang bikin pusing dari Bianca Castafiore; atau interupsi yang menjengkelkan dari agen asuransi Séraphin Lampion (alias Jolyon Wagg).


Begitulah, dalam Tintin humor tumbuh dari sikap membuka diri terhadap yang beda: mereka yang menggelikan, yang tak kita kagumi, tapi kita sayangi. Tak aneh bila cerita ini bisa mempertalikan manusia lewat 80 bahasa.

Tapi tak dengan sendirinya. Tintin juga punya sejarah myopia Eropa. Petualangan di Kongo (terbit pada 1930) mencerminkan Hergé yang memandang bangsa Afrika sebagai makhluk asing yang ditundukkannya. Mereka mirip monyet hitam yang malas dan bodoh. Di satu ade­gan seorang perempuan Kongo berterima kasih dan menyembah Tintin—dan Milou, anjingnya, dengan pongah berkata, "Kita paling top, kan?"

Hergé kemudian menyesal dengan karya itu. Ia berubah.


Pada usia 27, ia ketemu Chang, seorang mahasiswa Cina yang belajar di Brussel. Mereka bersahabat. Ketika pada 1958 lahir petualangan Tintin di Tibet, ikatan batinnya dengan orang asing muncul: dengan tekad luar biasa, Tintin menyelamatkan Chang, sahabat kecilnya yang disekap oleh yeti, hewan misterius di Himalaya itu. Dalam proses itu, para rahib Buddha menyumbangkan ilmu gaib mereka.

Chang pun selamat, dan yeti itu ternyata bukan makhluk jahat. Ia memandang Chang pergi meninggalkannya. Sayu, tapi rela. Ia seakan-akan saksi: dengan cinta yang besar, makhluk yang aneh itu, manusia, bisa berhasil, tapi bukan menang.


Goenawan Mohamad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar