Keluargaku

Keluargaku

Jumat, 15 April 2011

Otobiografi ROSIHAN ANWAR


Rosihan Anwar Pergi Mendadak

Sabam Siagian

Rosihan Anwar, wartawan super-senior Indonesia, meninggal mendadak pada Kamis pagi, 14 April 2011, di Rumah Sakit MMC Jakarta. Tanggal 10 Mei nanti dia akan merayakan ulang tahunnya ke-89.
Meskipun pernah secara guyon saya ucapkan ketika merayakan ulang tahunnya ke-88, 10 Mei 2010, di Hotel Santika Jakarta: ” Old journalists never die, they keep on writing ...”—kita tentunya sadar bahwa umur manusia ada batasnya.
Setelah operasi jantung yang dijalani Bung Rosihan di Rumah Sakit Harapan Kita tanggal 24 Maret lalu, ia secara perlahan berangsur pulih. Hampir setiap hari saya jenguk dia. ”Bagaimana Bung, kata pengantarmu telah selesai?”
Beberapa hari sebelum masuk rumah sakit, Bung Rosihan sempat menyelesaikan naskah yang dia sudah janjikan: menceritakan kisah percintaannya dengan Zuraida Sanawi—istrinya tercinta— ketika tahun-tahun revolusi (1945-1949) dan pernikahan mereka selama berpuluh tahun mengatasi berbagai kesulitan, antara lain diberedelnya koran Pedoman pada tahun 1961 dan untuk selamanya pada 1974.

”Belahan Jiwa”
Pusing juga memikirkan pendekatan apa dan bagaimana yang perlu diterapkan sehingga sambutan saya (untuk buku tersebut) agar tidak sekadar bernada sentimental. Begitu banyak cerita percintaan diterbitkan dalam berbagai bentuk.
Apa yang khas tentang percintaan antara pemuda Rosihan Anwar dan pemudi Zuraida sejak mereka berkenalan pada tahun 1943, ketika mereka sama-sama bekerja di koran Asia Raya di Jakarta? Yang khas adalah setting -nya bahwa hubungan mereka mekar ketika memuncaknya revolusi Indonesia, dan kemudian menikah di Yogyakarta, ibu kota perjuangan, pada 1947. Ida mengungsi di Yogya sebagai penyiar siaran bahasa Inggris, The Voice of Free Indonesia , karena nada suaranya menarik dan paham bahasa Inggris.
Rosihan Anwar di Jakarta sebagai wartawan harian Merdeka . Setiap malam ia setel gelombang radio mendengar siaran dari Yogyakarta dan mendengar suara kekasihnya Zuraida: ”This is the Voice of Free Indonesia.” Adakah cerita yang menandingi tingkat romantika sekaligus bersifat politis seperti cerita Rosihan-Zuraida itu?
Karena itu, dalam kata sambutan pada buku Belahan Jiwa yang akan diterbitkan oleh penerbit Kompas-Gramedia, saya membandingkannya dengan karya besar Boris Pasternak, Doctor Zhivago , suatu cerita cinta kasih penuh derita dalam setting revolusi Rusia yang jauh lebih dahsyat dan lebih mengerikan dibandingkan dengan revolusi Indonesia.
Adalah manusiawi kalau para sahabat Rosihan Anwar mengharapkan bahwa dia masih sempat merayakan ulang tahunnya ke-89 dan masih sempat hadir dalam peluncuran buku Belahan Jiwa . Pasti dia akan puas dan bangga. Bagaimanakah kita akan mengenang Rosihan Anwar, wartawan super-senior Indonesia ini, yang sampai minggu-minggu terakhir hidupnya masih tetap produktif?
Pertama-tama, agaknya sulit dicari sosok wartawan/redaktur yang memiliki pendidikan yang cocok (sebagai siswa sekolah menengah atas berbahasa Belanda sebelum Jepang menduduki Jawa pada 1942, ia menguasai bahasa Inggris, Jerman, dan Perancis), memori yang kuat, daya pantau yang tajam, pandangan yang kritis mendekati sarkastis, dan kemahiran menulis secara cepat, gaya sederhana dalam bahasa Indonesia yang serba rapi.
Fikri Jufri yang bertahun-tahun jadi pemimpin redaksi mingguan berita Tempo, tahun 1967, pernah bekerja di harian Pedoman dengan Rosihan Anwar sebagai pemimpin redaksi. Ia masih ingat betapa Bung Rosihan, setelah agak termenung, menulis tajuk rencana secara nonstop kira-kira dalam 20 menit dengan penutup yang kena sasaran.

Sumber inspirasi
Aspek-aspek apa lagi dari profil Rosihan Anwar yang ingin saya lihat diwarisi generasi muda wartawan Indonesia?
Persatuan Wartawan Indonesia, sebagai keputusan Hari Pers Nasional di Palembang pada 9 Februari 2010, memutuskan untuk menyelenggarakan program singkat kewartawanan di berbagai ibu kota provinsi guna menanggapi keluhan mengenai rendahnya kualitas jurnalistik Indonesia. Saya diminta sebagai pengajar mata pelajaran Hubungan Media dan Pemerintah. Setengah jam terakhir dari alokasi waktu dua kali dua jam, saya sisihkan bicara tentang profil Rosihan Anwar.
Biografi singkat yang telah dipersiapkan dibagi-bagikan. Kemudian saya tekankan aspek-aspek dari profilnya yang perlu diteladani para wartawan muda: cermat mengikuti peristiwa, rekam tanpa emosi berlebihan, jangan kacaukan fakta dan tulis dalam gaya bahasa yang rapi dan padat. ”Dan, kalau kalian memang mau tetap menekuni bidang jurnalistik ini sampai hari tuamu, tetaplah menulis.”
Sekolah Jurnalisme Indonesia dengan program padat selama dua minggu telah diselenggarakan di Palembang (tiga angkatan), Semarang, Bandung, dan Samarinda. Tiap kali saya sajikan profil Rosihan Anwar supaya moga-moga dia jadi panutan dan sumber inspirasi.
Kesetiaan pada profesi kewartawanan dan ketekunan menulis adalah warisan berharga yang ditinggalkan almarhum Rosihan Anwar. Kita yang beruntung sempat mengenalnya wajib meneruskannya kepada generasi muda wartawan Indonesia.
Terima kasih Bung RA atas jasa Anda.

Sabam Siagian Redaktur Senior Harian The Jakarta Post


TAJUK RENCANA

Menyuarakan Hati Nurani   (15-4-2011)
Sebagai corong hati nurani masyarakatnya, wajar dan seha- harusnya media bicara. Menulis dan menayangkan kekurangan adalah jati diri cara kerja media.
Maka, ketika seolah-olah kritik media mendapati pintu terpalang, keadaan itu perlu disikapi secara cerdas. Terus melakukan kritik dengan cara, gaya, dan pintu masuk lain. Ketuk terus, ya memang! Dan, pada saat yang sama, terus mencari kiat yang tepat tanpa melanggar kode etik.
Taruhlah contoh kasus rencana pembangunan gedung baru DPR. DPR bergeming atas kritik masyarakat dan media. DPR bersikukuh melanjutkan pembangunan, entah karena kepalang basah sudah mengucurkan dana, entah sudah melupakan nurani bersih. Perkembangan berikutnya, Ketua DPR diadukan kepada Badan Kehormatan DPR. Kasus rencana gedung DPR berikut epilog yang terus bergulir menegaskan perlunya kerja sama media dengan lembaga lain. Media bukan lembaga swadaya masyarakat, sebaliknya dalam merealisasikan suara hati nurani senantiasa perlu partner. Media tak bisa bekerja sendirian.
Beragam jenis peranan media, tetapi rasanya menyuarakan hati nurani merupakan inti peran media. Menerjemahkan peran dalam dunia yang berubah cepat, dalam kondisi jungkir balik perkembangan masyarakat, menuntut keteguhan. Seorang wartawan tidak lagi cukup terampil, tetapi juga punya hati dan lentur dalam meniti buih perkembangan masyarakat.
Kewartawanan Rosihan Anwar yang meninggalkan kita boleh disebut sebagai teladan. Teladan ketekunan, kesetiaan pada hati nurani, seorang pekerja otak (kognitaritat) yang penuh empati pada persoalan masyarakatnya. Dia mendekati segala persoalan dengan kacamata hati dan jiwa penghargaan manusia dan kemanusiaan.
Ketekunan mencatat data dan persoalan, menyampaikannya kembali dalam bingkai pemaknaan, membuat tulisannya sarat pesan. Ia kembangkan profesi wartawan sebagai panggilan hidup, tak sekadar pekerjaan atau karier.
Dengan jiwa itulah, pada usia senja hampir 89 tahun, menjadi wartawan sejak usia 20 tahun, bahkan pada saat-saat akhir menjelang kepergiannya, ia masih membaca naskah akhir buku memoarnya bersama almarhumah istri Ida Sanawi yang direncanakan terbit 10 Mei 2011.
Memungut contoh kasus matinya nurani DPR dan kepergian wartawan besar Rosihan Anwar, maksud kita mengangkat kembali peranan strategis profesi jurnalistik. Sengaja tak mengutip kalimat bijak ahli komunikasi, catatan ini hanya ingin mengingatkan kembali pentingnya kerja sama dunia jurnalistik dengan lembaga lain.
Dalam kondisi serba cepat berubah dan serba digital, tetaplah informasi yang terpenting. Informasi menjadi bermakna ketika ditempatkan dengan manusia dan kemanusiaannya sebagai batu penjuru dan batu sendi.
Rosihan Anwar plus-minus tetap menyorongkan keteladanan, tidak saja dalam hal lengkapnya perjalanan hidup sebagai wartawan tiga zaman, tetapi terutama dalam hal memaknai profesi jurnalistik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar