Santo Petrus Krisologus, Uskup dan Pujangga Gereja
Seorang yang dengan tekun dan sungguh-sungguh mengejar cita-cita akan
memperoleh hasil yang melebihi harapan dan keinginannya. Prinsip ini
terlihat dan terlaksana dalam diri Santo Petrus Kristologus, yang
dijuluki "Si Mulut Emas". Ketika masih muda belia, ia sudah menjabat
sebagai Uskup di Ravenna. Pada masa itu, cara hidup kafir yang
merajalela di antara umat di keuskupannya meruapakan suatu masalah
berat yang harus ditanganinya. Untuk itu, senjata ampuh satu-satunya
ialah "khotbah-khotbahnya yang menyentuh hati umat". Dan Petrus
Kristologus berhasil dalam memanfaatkan senjata ini. Khotbah-khotbahnya
yang pendek dan menyentuh hati umat berhasil mempertobatkan banyak
umat.
Dalam
khotbah-khotbahnya ia menekankan pentingnya penghayatan dan penerapan
asas-asas moral Kristiani dan ajaran resmi Gereja tentang iman akan
Yesus Kristus. Hal ini sangat cocok dengan keadaan umat di Ravenna yang
dilanda praktek kekafiran. Penyajian yang sangat bagus dan otentik
membuat khotbah-khotbahnya sangat bermutu. Tigabelas abad kemudian, Paus Benediktus XIII
(1724-1730) mengangkat dia menjadi seorang Pujangga Gereja.
Semangatnya yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya
demi perkembangan iman umat, , membuat dia menjadi orang tersohor di
kalangan Bapa-bapa Gereja, baik karena caranya mengajar maupun caranya
memimpin umat. Ia amat bijaksana dan memandang keahliannya sebagai
karunia Tuhan yang harus diabdikan bagi kepentingan perkembangan
Gereja.
Petrus Krisologus pun terkenal sebagai seorang uskup penentang ajaran
sesat yang disebarkan Eutiches. Eutiches menyebarkan ajaran sesat yang
menyangkal kemanusiaan Kristus. Untuk kemanjuan ajarannya, ia tidak
segan-segan meminta dukungan Gereja dari Petrus Kristologus selaku
Uskup Ravenna. Tetapi Uskup Kristologus yang terkenal ramah itu
menjawabnya dengan bijaksana dan ramah: "Demi perdamaian dan iman, kita
sebaiknya menyebarkan ajaran iman dengan persetujuaan Sri Paus selaku
'Pimpinan Tertinggi Gereja'. Oleh karena itu, ia menolak gagasan
Eutiches dan sebaliknya mendesak dia untuk mengakui dan mengimani
rahasia "Penjelmaan Kristus" dan semua kebenaran iman yang diajarkan
oleh Gereja.
Semangat imannya yang begitu besar disertai cinta
kasihnya yang meluap-luap membuat "Si Mulut Emas" ini meraih hasil karya
yang melebihi cita-cita dan impiannya. Beberapa lama sebelum wafatnya,
ia pulang ke tanah kelahirannya Imola dan disana ia wafat dengan
tenang pada abad tahun ke 450.
Santo Yustinus de Yakobis, Uskup dan Pengaku Iman
Yustinus lahir di San Fele, Italia pada tanggal 9 Oktober 1800. Dari
empatbelas orang bersaudara, Yustinus adalah anak ketujuh dalam
keluarganya. Ketika masih kecil, ia tinggal di Napoli. Kemudian pada
umur 18 tahun, ia masuk Kongregasi Misi di tempat asalnya.
Ia benar-benar menghayati panggilannya dengan
konsekuen. Menurut kesan kawan-kawannya, ia adalah seorang biarawan
yang dicintai Tuhan dan sesama manusia, karena sifat-sifatnya yang
menyenangkan banyak orang: rendah hati, ramah dan suka bergaul dengan
siapa saja. Setelah ditabhiskan menjadi imam, ia bekerja diantara
orang-orang miskin dan melarat di luar kota. Ia membantu mendirikan
pusat Kongregasi baru di Napoli dan kemudian diangkat sebagai superior
di Lecce. Ia dikenal luas oleh banyak orang karena tindakan-tindakannya
di luar acara rutin sehari-hari. Ia memelihara dan merawat para
penderita wabah kolera di Napoli tanpa mengenal lelah dan menghiraukan
kesehatannya sendiri. Karena itu semua orang sangat menghormati dan
mencintai dia.
Pada tahun 1839 ia diutus sebagai Prefek dan Vikaris Apostolik ke
Etiopia, sebuah daerah misi baru di benua Afrika. Di sana selama dua
tahun, ia memusatkan perhatiannya pada usaha mengenal segala sesuatu
menyangkut negeri itu: rakyatnya, bahasanya dan adat istiadatnya.
Dengan sifat-sifatnya yang baik dan cara hidupnya yang menarik, ia
berhasil menghilangkan kecurigaan rakyat setempat. Kata-katanya yang
menawan dan lembut memberi kesan pada hati banyak orang bahwa
kehadirannya di tengah mereka adalah sebagai sahabat dan pelayan bagi
mereka.
Meskipun ia berhasil sekali dalam tugasnya, namun ia sama sekali tidak
terlepas dari banyak kesulitan seperti semua orang lain yang
memperjuangkan keluhuran hidup. Tidak sedikit pemuka rakyat iri hati
dan membenci dia. Kesulitan besar datang tatkala William Massaia
diangkat sebagai Uskup Etiopia. Salama, seorang pemuka Gereja Optik
melancarkan kampanye anti Gereja Katolik. Oleh pemimpin setempat,
Kolose-kolose Katolik ditutup dan agama Katolik dihalang-halangi
perkembangannya. Uskup William Massaia diusir pulang ke Aden. Sebelum
berangkat, Uskup Massaia dengan diam-diam mengangkat Yustinus de
Yakobis sebagai uskup di Massawa. Sebagai uskup, Yakobis menabiskan 20
orang imam asal Etiopia untuk melayani umat Katolik yang berjumlah 5000
orang dan membuka kembali kolose-kolose.
Pada tahun 1860, Kadaref Kassa menjadi raja. Ia segera mendesak Salama
untuk kembali melancarkan pengejaran terhadap semua orang beragama
Katolik. Uskup Yakobis sendiri ditangkap dan dipenjarakan selama
beberapa bulan.
Uskup Yakobis menghabiskan masa hidupnya di sepanjang
pantai Laut Merah. Dalam perjalanannya menuju ke Halai, ia jatuh sakit
karena keletihan dan kurang makan. Ia meninggal dunia pada tanggal 31
Juli 1860 di lembah Alghedien.
Santo Abdon dan Senen, Martir
Kedua orang kudus abad ke-3 ini berasal dari Persia. Mereka adalah
tawanan perang dan budak belian yang sudah menganut agama Kristen.
Kemartiran mereka bermula dari usaha mereka menguburkan jenazah-jenazah
para kaum beriman yang dibunuh oleh orang kafir. Mereka ditangkap dan
dibawa ke Roma. Di sana mereka dipaksa untuk mempersembahkan kurban
kepada dewa-dewi Romawi. Dengan tegas mereka menolak melakukan
perbuatan berhala ini karena tak ingin mengkhianati imannya sendiri.
Karena itu mereka dianiaya dan dipenggal kepalanya. Jenazah mereka
dimakamkan oleh diakon Kuirinus di rumahnya. Kemudian pad atahun 833,
tulang-tulang mereka dipindahkan oleh Paus Gregorius IV (827-844) ke dalam gereja Santo Markus di Roma.
Santa Yulita dari Kaesarea, Martir dan Pengaku Iman
Yulita berasal dari Kapadokia. Ia memiliki ladang dan ternak, harta kekayaan lainnya dan banyak budak belian. Di antara penduduk setempat, Yulita tergolong wanita kaya raya. Banyak orang mengadakan hubungan dagang dengannya. Pada suatu ketika, dia terlibat dalam suatu pertikaian bisnis dengan seorang pemuka masyarakat. Dia dihadapkan ke pengadilan umum namun berhasil mengalahkan orang itu. Karena itu ia menjadi musuh bebuyutan orang itu.
Untuk membalas kekalahannya di depan pengadilan, orang itu melaporkan kepada penguasa setempat bahwa Yulita adalah seorang penganut agama Kristen. Oleh laporan ini, hakim segera memanggil Yulita dan memaksannya untuk mempersembahkan kurban bakaran kepada dewa Zeus.
Yulita berani menentang. Dengan tegas ia berkata: "Ladangku dan kekayaannku boleh diambil dan dirusakkan. Tetapi sekali-kali aku tidak akan meninggalkan imanku. Aku tidak akan pernah menghina Tuhanku yang telah menciptakan aku. Aku tahu bahwa aku akan memperoleh semuanya itu kembali di surga."
Tanpa banyak berpikir hakim itu menyuruh para algojo membakar hidup-hidup Yulita di depan umum. Peristiwa naas ini terjadi kira-kira pada tahun 303.
Yulita berasal dari Kapadokia. Ia memiliki ladang dan ternak, harta kekayaan lainnya dan banyak budak belian. Di antara penduduk setempat, Yulita tergolong wanita kaya raya. Banyak orang mengadakan hubungan dagang dengannya. Pada suatu ketika, dia terlibat dalam suatu pertikaian bisnis dengan seorang pemuka masyarakat. Dia dihadapkan ke pengadilan umum namun berhasil mengalahkan orang itu. Karena itu ia menjadi musuh bebuyutan orang itu.
Untuk membalas kekalahannya di depan pengadilan, orang itu melaporkan kepada penguasa setempat bahwa Yulita adalah seorang penganut agama Kristen. Oleh laporan ini, hakim segera memanggil Yulita dan memaksannya untuk mempersembahkan kurban bakaran kepada dewa Zeus.
Yulita berani menentang. Dengan tegas ia berkata: "Ladangku dan kekayaannku boleh diambil dan dirusakkan. Tetapi sekali-kali aku tidak akan meninggalkan imanku. Aku tidak akan pernah menghina Tuhanku yang telah menciptakan aku. Aku tahu bahwa aku akan memperoleh semuanya itu kembali di surga."
Tanpa banyak berpikir hakim itu menyuruh para algojo membakar hidup-hidup Yulita di depan umum. Peristiwa naas ini terjadi kira-kira pada tahun 303.
(Yesaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar